Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 8 : Work in Agency!?

JADI, beginilah akhirnya kenapa aku bisa berada di Kantor Agensi Detektif Bersenjata dan duduk tenang di atas sofa dengan disugihi ocha tea yang panas.

Kantor ini sedikit berbeda, memang tempat yang kecil hanya saja terasa nyaman dengan orang-orangnya yang tentunya—harus kukatakan apa, ya?—tidak jelas, mungkin. Begitulah.

Setelah meletakkan syal dan jaket bulu milikku, aku pun duduk ditemani Dazai-san dan Kunikida-san yang sibuk dengan tugasnya mencari informasi lainnya (atau sebenarnya Dazai-san hanya santai-santai saja?).

Aku menatap ke luar jendela lantai empat ini. Salju sudah turun cukup lebat, tumpukkannya pun sudah hampir sampai dengkul kaki tampak di bawah sana, dan yang paling kusuka adalah kerlap-kerlip lampu jalan yang memenuhi kota dengan warnanya yang indah yang semakin ramai saja.

Aku menatap gelas ocha teaku dan mengangkatnya, setelah menyeruputnya untuk satu tegukkan, aku melihat sepucuk batang kecil daun teh hijau di sana. Apa ini artinya pertanda baik akan datang padaku?

Aku meletakkan gelas kecoklatan itu di tempatnya sehingga menimbulkan suara dentingan kecil. Saat kuangkat kepalaku, seorang pria bersurai silver dengan potongan aneh mendekat sembari meletakkan beberapa selebaran di atas meja.

"Kunikida-san, ini informasi yang kau minta. Dan Dazai-san, sepertinya…." Pria itu mengambil salah satu selebaran yang baru saja ia letakkan. "Tersangka utama kasus ini adalah Sang Lingkaran Pendosa itu."

Sebetulnya aku hampir saja menyemburkan teh yang kembali aku cicipi karena enak. Tentu saja aku terkejut! Bagaimana tidak? Tiba-tiba saja namaku disebut di depanku—walaupun faktanya itu bukan namaku—tapi tetap saja ini seperti tuduhan.

Omong-omong, pria ini mengkerutkan wajahnya karena… entah apa, mungkin sedikit takut. Sementara Dazai-san sudah mengambil posisinya duduk di atas sofa sambil menatapku menyelidik. Memangnya kau kira aku yang melakukannya? Begitulah tatapan yang kuberikan pada Dazai-san selepasnya kuseruput kembali ocha tea panas itu.

"Ini tentu saja bukan dia, Atsushi-kun," sergah Dazai-san. Seketika aku merasa dia membelaku. Jujur, aku merasa begitu. "Ini bukan cara dia membunuh."

Gawat. Aku mulai kesal sendiri karena metode membunuhku disama-samakan dengan pembunuh ulung ini. Oh, astaga!

Aku meletakkan kembali gelas kecoklatan itu setelah beberapa detik kutembelkan bibirku pada pinggiran gelasnya—untuk menghangatkan bibirku yang kurasa dingin—hingga dentingan itu kembali tercipta.

"Dazai benar," sahut salah seorang pria lain. Suara bariton yang baru kudengar. Saat pria itu menyembulkan kepalanya dari pemuda bernama Atsushi tadi, aku bertanya-tanya dalam benakku. "Ini bukan caranya membunuh."

Pria itu seperti anak kecil, ia membawa makanan di seluruh tangannya yang sudah penuh sehingga kupikir, memangnya tidak kesulitan membawa snack sebanyak itu? Ditambah nama bicaranya yang terkesan santai dan dengan senyuman.

"Dia Ranpo-san," Dazai-san berbisik padaku.

Sontak aku pun menoleh padanya dan kembali menoleh pada Ranpo-san. Jadi dia yang namanya Ranpo-san. Kupikir dia sudah cukup tua, tapi dari tingkah lakunya ia tampak muda. Aku mengangguk-angguk kecil mengerti.

"Walaupun seperti itu, umurnya sekarang sudah 26 tahun." WOW! Memang sudah tua. Tapi kelakuannya lucu bak anak kecil. Sungguh.

"Omong-omong, Dazai. Kenapa kau membawa wanita anehmu lagi ke sini?" aneh… ya? Harusnya aku merasa tersinggung lantaran diriku sendiri dan di depanku juga diucapkan dengan sangat jujur dan frontal—di bilang aneh.

Tapi memang aku satu-satunya yang aneh disini. Pertama, aku bukan orang dari agensi atau warga sipil ; kedua, aku dari Port Mafia ; ketiga, aku masuk dengan santainya tanpa dipikir bisa saja aku menyerang kantor mereka langsung dan lebih buruknya bahkan mencuri dokumen rahasia mereka.

"Dia—"

"Hajimemashite, watashi [Full Name] desu. Yoroshiku," sapaku sesopan mungkin dan setidak menarik perhatian mereka mungkin.

Aku yakin kalau Dazai-san yang mengenalkanku pada mereka, dia akan seenaknya saja menyebutku sebagai pacarnya (lagi).

Kalau mereka tahu (tentunya selain Dazai-san sendiri) aku dari Port Mafia, mungkin aku sudah ditahan disini. Tapi melihat gelagat mereka semua, sepertinya mereka paling benci berurusan dengan mafia. Apa tidak masalah kalau tiba-tiba aku menyebutkan identitasku sebagai mafiosi?

"Tapi beberapa hari yang lalu dia tidak melakukan tindakan kriminalnya, terlebih bisa saja dia mulai—"

"Tidak, Atsushi-kun. Itu memang bukan Sang Lingkaran Pendosa tapi orang lain," sela Dazai-san.

"Apa aku harus menggunakan kemampuanku untuk mencari pelakunya? Ah, kalian ini payah sekali," timpal Ranpo-san santai dengan seringaiannya.

Jujur, aku tidak merasa kalo Ranpo-san terdengar menyombongkan dirinya. Tapi itu memang cocok untk tipikal dirinya, toh kemampuannya memang luar biasa. Menyimpulkan sesuatu dengan sangat cepat, tepat, dan akurat hanya dengan sedikit informasi yang di dapat dari pengamatan atau database.

"Tapi…."

Dan aku mulai marah lantaran pria ini tetap bersikeras menyalahkan nama Sang Lingkaran Pendosa itu. Memang, apa salahnya dengan nama itu? Memang aku tidak suka dengan nama itu, hanya saja rasanya seperti aku disalahkan dengan tuduhan pembunuhan yang sudah tidak kulakukan hampir tiga bulan terakhir ini karena tidak ada pesanan.

Aku berdecih dan menghela nafas singkat kemudian bergumam, "sepertinya kau harus bertemu langsung, ya, Atsushi-kun."

Dazai-san yang mendengar gumamanku langsung menatapku dan tersenyum miring. Sementara perempatan di dahiku semakin jelas karena pemuda bernama Atsushi itu malah memberikan wajah bodoh yang tidak tahu-menahu soal apapun. Sementara Ranpo-san mulai menatapku tajam—yang kurasa begitu.

"Itu bukan aku," tegasku sambil merucutkan mulutku.

Semuanya spontan menoleh padaku. Kunikida-san menaikkan posisi kacamatanya yang hampir tidak terlihat kalau memang sedikit turun seraya mengucapkan, "akhirnya kau mengaku juga."

"Habisnya dia tetap keras kepala sekali kalau itu bukan aku." Oke, aku disini yang tetap keras kepala untuk membela diriku sendiri.

Ranpo-san tersenyum dan ikut berucap, "yare, yare."

"Kan sudah kukatakan kalau itu bukan dia, karena aku selalu memperhatikan dia," timpal Dazai-san sembari menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.

Atsushi-kun tampak bingung. Kupikir dia orang paling normal disini, ternyata jalan pikirnya cukup lambat. Apa dia masih tidak mengerti kalau aku sudah mengaku sebagai Sang Lingkaran Pendosa itu?

"Itu aku, Atsushi-kun. Yang kau sebut Sang Lingkaran Pendosa."

Hening.

"EEEEEH!?"

Kasus hari ini selesai dengan sangat baik. Ranpo-san memberi tahu detail-detail kasus pembunuhan berantai ini tanpa merasa curiga kalau bisa saja aku menjadi mata-mata dari Port Mafia untuk mengumpulkan informasi—yep, dia pun tahu aku dari Port Mafia. Namun, semuanya tampak acuh. Sekali lagi aku merasa lega karena hal sederhana ini.

Benar sesuai dugaanku. Metode pembunuhan dengan menghancurkan tengkorak kepala manusia dalam keadaan masih hidup ini dilakukan oleh dua orang. Orang pertama Teraoka Yuuji, pemuda yang bekerja sebagai pemotong daging.

Ia melakukan kontak dengan para gadis melalui media sosial—sejenis website kencan online—dan membuatnya bertemu dengan imbalan kalau gadis ini mau ikut dengannya, ia akan memberikannya uang. Namun faktanya, justru setiap gadis yang dibawanya malah dibunuh dengan sadis dan harta berharganya dijarah habis.

Kali ini pun sama. Setelah aku melakukan hacking pada akun yang Teraoka gunakan untuk mengkontak para gadis, aku berhasil menemukan tempat mereka berdua akan janjian—malam ini.

Jadi hari ini, aku dengan Atsushi-kun berjalan di pinggiran kota dengan pakaian tebal untuk melakukan pekerjaan kami—atau lebih tepatnya pekerjaannya—aku? Bisa dibilang aku hanya cukup bosan karena tidak ada tugas. Biasanya aku bahkan bisa mendapatkan tugas hanya melalui ponsel, tapi ponselku hening dan tidak ada panggilan apapun.

Aku berhenti tepat di depan penyebrangan jalan, begitu melihat seorang gadis muda yang tetiba berbicara dengan Teraoka Yuuji, bisa kupastikan dia gadis itu—korban selanjutnya, Arisawa Yuko—gadis itu tampak masih muda, mungkin seumuran denganku dan seorang mahasiswa.

Setelah lampu penyebrangan berganti hijau, aku dan Atsushi-kun kembali berjalan mengekori dua orang itu bersamaan dengan mereka yabg juga mulai melangkahkan kakinya.

Aku melangkah dalam diam dan tetap waspada. Tak jauh di depan kami, Teraoka berbelok dan langsung diikuti Arisawa-san. Namun aku melihat Arisawa-san sempat berbalik dan berteriak tapi Teraoka menariknya paksa dengan membekap mulutnya—terlebih gerakannya cukup cepat.

Mataku terpincing dan daguku mulai turun, sepertinya entah saking cepat atau memang tidak ada yang melihat. Orang-orang yang berjalan di tengah kota bersalju ini tidak peduli.

Saat aku berjalan mendekat dengan Atsushi-kun, suara berdebum seperti melemparkan orang terdengar keras dan aku langsung berlari. Dan saat itu pula, Teraoka membawa Arisawa-san di atas bahunya ke dalam sela-sela kota yang gelap.

Aku tetap mengikutinya dengan menyelinap dan saat aku menyembulkan sedikit kepalaku, kutatap Arisawa-san sudah tidak sadarkan diri dengan kepala yang berdarah. Aku yakin, itu darahnya saat dia dilempar ke tembok tadi.

Aku kembali bersembunyi dan menghela nafas sampai sebuah suara terdengar jelas. Suara besi dan sejenisnya yang saling bersentuhan. Aku memejamkan mataku, mempertajam pendengaranku.

Mataku terbelalak begitu mendengar suara sebuah besi yang berat, tampak tumpul, cukup berat, namun mudah untuk di bawa. Apa itu?!

Aku berpikir-pikir soal senjata itu. Setiap korban kepalanya selalu hancur, penyok, wajahnya tidak bisa diidentifikasi karena rusak parah, bahkan kakinya….

Jangan-jangan—! Palu? Palu yang kuat yang bahkan bisa membunuh sapi dengan satu pukulan?

Aku tertawa getir dan bergumam, "dia memang psikopat."

"To-tolong, ampuni aku. Ja-jangan bunuh a-aku." sebuah suara yang bergetar. Aku kembali menyembulkan sedikit kepalaku. Benar, Arisawa-san sudah sadar.

"Kau sudah bangun?" Teraoka tampak tersenyum terlihat dari samping. Nada suaranya juga terkesan sangat senang. "Kau ingin mati seperti apa?"

"To-tolong a-ampuni aku. A-aku… masih ingin hi-hidup."

Teraoka tidak mengindahkan permohonan Arisawa-san dan malah mencekik gadis muda itu. Sementara sebelah tangannya berusaha meraih-raih senjatamya dalam tas jinjing besar miliknya.

"Kita harus menolongnya!"

"Tenang Atsushi-kun, kalau dia tahu posisi kita, dia justru akan mempercepat pembunuhannya."

"Tapi… kalau begini—"

"Shuu~!" aku menyeringai sembari meletakkan tekunjukku di depan bibir. "Dia tidak akan bisa bergerak lagi."

"Am-ampuni a-AAAAAAA!"

"Sekarang!" aku berseru kencang dan keluar dari posisiku.

Kukeluarkan petir biru dari jari-jemariku, menghentikan gerakan pembunuh itu yang mulai mengayunkan tangannya untuk memukul gadis muda tadi dengan palu.

Suara gadis itu memburu dan Teraoka mulai memaksa tangannya untuk bergerak. Namun tentu saja tidak bisa karena petirku menahannya.

Sebelum Arisawa-san menoleh padaku, aku melemparkan sengatan kecil dan membuatnya pingsan seketika untuk beberapa saat. Atsushi-kun pun mengambil kesempatan itu untuk mengamankan korban dan saat korban dalam posisi aman, aku menghilangkan petirku dari Teraoka.

Aku berjalan santai ke arah Teraoka yang menunduk seraya berucap begitu sampai di depannya, "kau ditahan atas kasus tiga belas pembunuhan berantai, Teraoka Yuuji-san."

Selesai berucap seperti itu, Teraoka bangkit dengan memunggungi diriku. Begitu dia berbalik, dia berlari ke arahku dan….

Setelah bunyi sesuatu yang menancap dengan sangat mulus di tubuh manusia terdengar, gerakan Teraoka terhenti dan darah mulai menetes.

Teraoka berhasil melukaiku.

Tentu saja tidak benar-benar melukaiku. Aku juga mengacungkan tombak petir ke arahnya yang membuatnya menghentikan langkahnya, pisau yang ia acungkan pun hanya mengenai tanganku yang tidak terlindungi apa pun.

"[First Name]-san, jangan bunuh—"

Suara Atsushi-kun tercekat begitu aku menaikkan tombak petirku ke atas dan membelah tubuh Teraoka. Namun, darah yang keluar hanya dari tanganku. Pisau Teraoka pun sudah jatuh di atas tumpukkan salju.

Aku menghela nafas dan berbalik mekihat ke arah Atsushi-kun. "Kemampuan yang tadi kugunakan bukan untuk membunuh, hanya untuk menghentikan gerakan," sahutku.

Aku berjalan ke arah Atsushi-kun sembari memukul pelan bahunya seraya berucap, "tenang saja, ia belum mati dan hanya pingsan. Kau bisa membawanya dengan temanmu yang sedang datang ke sini."

Saat aku berjalan beberapa langkah ke belakang Atsushi-kun, aku merogoh ponselku dalam saku jaket dan saat itu pula aku sadar—alasan kenapa ponselku sangat hening—aku lupa mengganti mode pada ponselku.

Sial!

Dan aku berhasil di buat keringat dingin yang meluncur deras melalui pelipisku saat kulihat tiga misscall dari Nakahara-san dan lima messages darinya pula.

Saat aku membuka pesannya, aku tersenyum miring dan tertawa kaku seraya berucap entah pada siapa, "justru itu yang memang sedang kukerjakan."

Aku berbalik dan melihat Atsushi-kun sebelum akhirnya pergi. "Atsushi-kun, aku ada tugas lain di Port Mafia, jadi aku pergi sekarang." aku kembali berbalik seraya mengangkat sebelah tanganku. "Jaga dua orang itu baik-baik. Ja."

Aku pun berlari di tengah salju yang tebal di pinggiran Kota Yokohama menuju tujuanku berikutnya. Yep, tentang tersangka kasus yang sama….

Pembunuhan berantai yang mengahncurkan tengkorak kepala manusia saat korbannya masih bernafas—alis hidup. Setelah berhasil membekak Teraoka Yuuji, aku beralih ke orang lain.

Maupun Teraoka dan orang ini pun tidak ada hubungan sama sekali, tapi memiliki kesamaan dalam metode pembunuhan yang membuat polisi kalang kabut mencarinya. Mungkin mudah bagi Agensi Detektif Bersenjata untuk menangkap Teraoka, tapi tidak dengan yang satu ini.

Perbedaan kedua antara Teraoka dan orang ini pun adalah metodenya yang sedikit berbeda. Kalau Teraoka membunuh demi menguras harta korbannya. Berbeda dengan orang ini.

Orang ini justru membunuh demi mempuaskan hawa nafsunya. Yep, seorang psikopat sungguhan. Alasan Agensi Detektif Bersenjata tidak bisa menyentuhnya adalah karena pelaku kriminal sendiri bersih dari semua kejahatan yang dilakukannya. Tentunya hal itu mudah baginya yang memiliki uang dan kekuasaan.

Dari kesimpulan yang Ranpo-san katakan, orang ini pula tidak sadar kala dirinya punya kelainan jiwa. Itu juga yang membuatnya bebas dari hukum dengan mudah selain dengan uang dan kekuasaan ayahnya.

Pesan yang disampaikan Nakahara-san adalah bos ingin aku (atau dengan dirinya) membunuh psikopat gila ini, sementara ayahnya sendiri sudah terpojok oleh Port Mafia sendiri. Mungkin kalau membicarakan soal kekuasaan dan politik, Port Mafia memang paling menyeramkan entah bagaimana cara mereka mengambil kuasa itu dengan mudah.

Nafasku memburu-buru kala diriku terus berlari dari tempatku berasal menuju posisi yang memungkinkan adanya si psikopat itu. Ponselku kembali bergetar, aku pun yang sadar segera menghentikan langkahku mendadak.

Saat kutatap layar pada ponselku, sesaat aku membaca ID Call di sana. Dari Nakahara-san. Dan dengan cepat, kuterima panggilan itu.

"Moshi, moshi, Nakahara-san. Ya, aku sudah membaca informasi itu," sahutku cepat padanya di sana.

[Apa kau mendapatkan informasi lain? Ayahnya….] suara Nakahara-san menghilang sesaat. […bunuh diri.]

Aku bersedekap. Tidak kusangka bahkan ayahnya sendiri tidak bisa berkutik lagi, bahkan sampai membunuh dirinya sendiri.

"Aku mendapatkannya dari Agensi Detektif Bersenjata. Orang ini memiliki kelainan jiwa dan mereka sendiri pun tidak bisa membekaknya lantaran ayahnya yabg sempat melindunginya" nada suaraku terdengar rendah.

Sunguh, aku masih terkejut. Setelah ayahnya membayar ratusan ribu yen—seorang pengacara—untuk melindungi anaknya dari jerat hukum, membuat polisi bahkan tidak bisa berkutik, dan menghabiskan seluruh hartanya hanya demi anaknya sendiri.

Entah kenapa rasanya aku sedikit sakit mengetahui hal itu. Aku memejamkan mataku singkat dan berpikir. Tidak mungkin orang ini tidak sadar memiliki kelainan jiwa ; tidak mungkin ayahnya sendiri bahkan sampai membunuh dirinya hanya demi orang ini ; tidak mungkin—

"Apa mungkin…."

[Moshi, moshi, [First Name]? Kau jangan pergi sendirian.]

"Nakahara-san." aku menghela nafas singkat sesaat. "Apa kau tahu posisi pasti dia saat ini."

[Dia masih di pinggir pelabuhan, dekat dengan gudang kargo bagian D nomor 24.]

"Baiklah," ucapku singkat.

[Oi! Kau jangan pergi sendirian! Dia—]

"Nakahara-san, aku akan berbicara dengannya baik-baik, jadi dia akan menyerahkan dirinya ketimbang aku harus membunuhnya."

[Oi! Jangan! Itu—]

"Arigatou. Ja."

Setelah menyela ucapan Nakahara-san barusan, aku langsung melesat pergi ke pelabuhan Yokohama bukan hanya untuk melaksanakan tugasku—

—tapi menyelamatkan korban berikutnya dalam waktu golden time.





















—oOo—

Apa… ya? Mikajeh sedikit bingung dengan bagian ini, kawand 😂 ah, sudahlah. Yang penting selesai 😆 jadi gini, gan 😃 kasus di atas itu kisah nyata 😐 naaah! Kalo ada yang nonton drama Voice pasti tau :v/ tapi, itu sedikit di ubah demi adegan yang mendramatisir, sih 😂 Mikajeh ubah juga kok ini 😗

Jadi gini, lho 😶 saia niatnya mau triple update, tapi karena tadi lagi pergi terus gapunya paketan, yaudah jadinya double update aja 😂

Oke, sekian chapter ini dari Mikajeh '-' udah baca, 'kan? Vote dan krisarnya boleh lah~ 😍 omong-omong, project yang lain dah lengkap ada semua 🙌 silahkan cek di library Mikajeh, jadi gampang nyarinya :3 baca, vote, dan berikan komentar juga yew~ 🙏

Thanks!
Hope you all like it!

—oOo—

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro