Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 4 : What I Feel Right Now...

PERTEMUAN pertama adalah kebetulan. Lalu pertemuan selanjutnya adalah tidak terelakkan. Dan pertemuan yang berlarut-larut adalah takdir. Kalau tidak salah, ada kalimat seperti itu dalam novel yang pernah kubaca.

"Ohayou! [First Name]-chan. Sepertinya ini memang takdir."

Sesaat aku kehilangan kata-kata ketika melihat Dazai-san sudah mengambil tempat duduk yang kosong tepat di depanku. Ia bertanya dengan senyuman semangatnya.

"Ah, maaf jika itu membuatmu terkejut. Tapi selalu bertemu denganmu ditempat seperti ini rasanya benar-benar golden time."

"Golden time?"

Apa ini artinya dia memang sengaja bertemu denganku karena tahu aku akan terus kesini tiga puluh menit sebelum waktu masuk kerja? Omong-omong soal golden time, aku mengartikan kata itu sebagai kala aku mengambil waktu yang tepat saat sampai di kantor Port Mafia. Itu artinya aku sudah merencanakannya dari awal. Apa Dazai-san juga merancanakan hal ini, ya?

Bukan berarti aku berburuk sangka soal Dazai-san, tetapi aku merasa belakangan ini seperti diperhatikan dari kejauhan. Bahkan orang itu seperti mengekori diriku terus. Entah apa tujuannya.

"Ya, tepat pagi hari seperti ini. Aku juga bersantai dulu sebelum waktu aktif bekerja."

Aku hanya membalasnya dengan ber-'oh' ria. Sepertinya memang tidak ada yang aneh walaupun kebetulan yang luar biasanya adalah jalan pikirnya yang sama denganku.

"Omong-omong [First Name]-chan, kau sudah punya pacar?"

"Eh? Pacar?" aku menggeleng dan tersenyum ramah. Tentu saja aku tidak punya, tapi bukan berarti aku tidak pernah berpacaran sebelumnya.

Aku bergidik tanpa kusadari. Wajah Dazai-san sangat dekat! Ada sebuah kekuatan aneh dalam pandangan Dazai-san. Matanya tampak besar dan bergairah, matanya juga mengeluarkan aura bling-bling aneh yang membuatku tambah bergidik lagi. Ditambah lagi pria ini menggenggam sebelah tanganku.

"Ah! Padahal kau itu wanita yang cantik dengan tangan lembut. Tapi belum ada seorang pun yang berhasil menaklukanmu?" Dazai-san berucap dengan nada yang dibuat-buat. Tentu saja hal ini kembali membuatku tertawa karena tingkah konyolnya—terlebih diumurnya yang seperti itu.

"Sepertinya aku, Dazai, masih memiliki kesempatan emas untuk mendapatkan Tuan Putri ini." oke, aku lelah tertawa. Tapi sungguh, tingkah bodohnya itu memang sepertinya sudah tipikal dirinya yang serampangan.

"Tapi, kau tidak membunuh mereka kan, [First Name]-chan?" suara Dazai-san merendah seketika.

Aku menanggapinya dengan tenang dan tersenyum seperti biasa. Tentu saja aku mengetahui maksud dibalik ucapannya itu, dan aku mengerti… dia yang selama ini selalu memperhatikanku. Wajar saja kalau dia bisa memperkirakanku akan kembali ke tempat ini setiap pagi dan berucap seolah jalan pikirku dengannya itu sama.

"Tentu saja tidak, selama mereka tidak mengetahui kemampuanku. Lalu, apa Dazai-san akan menangkapku?"

Dazai-san tersenyum entah apa. "Ya, seharusnya aku sudah menangkapmu dari kemarin," ucap Dazai-san santai.

Dari kemarin? Sesuai dugaanku. Ternyata alasan dia memegang tanganku adalah memastikan sesuatu?

"Tanganmu." Dazai-san menunjuk tanganku yang sedang aku gunakan untuk menopang daguku. "Dari 30 kasus pembunuhan. Semua korbannya dibunuh dengan bagaimana cara mereka membunuh korbannya. Singkatnya, kau membunuh mereka dengan cara mereka sendiri, 'kan?"

Aku tertawa renyah mendengar penjelasannya. WOW! Sejauh itu dia mengumpulkan informasi tentang semua pembunuhan yang kulakukan.

"Kau selalu menemui setiap pembunuh itu ketika sedang melancarkan serangannya, tapi kau berhasil menjatuhkannya dengan mudah. Tato itu… kemampuanmu, 'kan?"

Sepertinya Agensi Detektif Bersenjata memang tidak bisa diremehkan, terlebih anggota mereka semua pemilik kemampuan khusus. Khususnya….

"Dazai-san." Panggilku. Aku tersenyum ramah padanya dan bertanya, "bagaimana denganmu?"

Dazai-san hanya menaikkan kedua alisnya, bingung.

"Tentang kasus keterlibatan 138 pembunuhan, 312 kasus pemerasan, 625 kasus penipuan, dan masih banyak tuntutan kejahatan lainnya yang tercatat dalam buku hitammu."

Aku tersenyum penuh kemenangan. Melihat reaksi Dazai-san yang hanya berdiam diri membeku, kurasa memang benar. Yang aku tidak percaya adalah posisinya sebagai salah satu anggota eksekutif Port Mafia, terlebih namanya tercatat sebagai 'Eksekutif Termuda Sepanjang Sejarah'.

Mungkin aku akan percaya jika ia sedikit seperti Nakahara-san, tapi faktanya mereka berdua malah sangat bertolak belakang. Mereka berdua? Aku sedikit janggal sebenarnya, tapi apa tidak apa kalau aku tanya?

"Sepertinya catatan itu masih berbekas di Port Mafia, ya?" Dazai-san ternyata lebih tenang dari dugaanku. "Aku juga tidak berpikir untuk menangkapmu."

"Oh, begitu, ya…." Aku menyeruput coklat panasku.

Tunggu! Apa baru saja aku membandingkan Dazai-san dengan Nakahara-san?

Dazai-san menempelkan gelasnya ke bibir. Mungkin, bukan untuk menikmati kopi panasnya, hanya menghangatkan bibirnya yang mulai membeku.

Setelah beberapa saat hening, aku bertanya akhirnya, "ano, Dazai-san. Apa kau dulunya partner Nakahara-san?"

Dazai-san terkesiap begitu aku menyebutkan nama 'Nakahara'. Apa dia merasa risih atau apa?

"Apa? Kenapa kau bertanya soal Orang–Bodoh itu?"

Tunggu, apa aku baru saja mendengar ia memanggil Nakahara-san itu 'Orang Bodoh'? Aku tersenyum sebisa mungkin mendengar komentarnya soal pertanyaanku dan tertawa kaku.

"Jangan bilang kau bekerja dengan Mafia–Mungil itu?" raut wajah Dazai-san seketika berkerut tidak suka.

Lucu meligat Dazai-san berucap seperti itu, seolah Nakahara-san benar-benar musuh bebuyutannya dari dulu. Tapi melihat reaksi yang menurutku unik, sepertinya mereka memang dulunya partner, ya?

Tapi tadi panggilan yang keberapa?

Aku hanya mendengus dan tersenyum sambil menampakkan deretan gigi-gigiku.

"Lihat kau, ternyata kau benar-benar bekerja dengannya." Dazai-san mendengus sebal dan menyandarkan punggungnya pada penyandar kursi di belakangnya dan menyilangkan kedua tangannya.

Setelah ia membuang wajahnya ke luar jendela karena sebal. Akhirnya aku lebih memilih berusaha menahan diriku yang sebenarnya tersenyum-senyum seperti orang bodoh karena ucapannya yang terkesan seperti anak kecil.

Aku kembali mebyeruput coklat hangatku dan tetiba Dazai-san memanggil. "[First Name]-chan, sebaiknya kau jangan bekerja dengannya. Si Siput itu akan merepotkanmu nanti!" final Dazai-san. Sepertinya dia benar-benar sudah dipuncak rasa sebalnya.

Dan… itu panggilan Nakahara-san yang ketiga, 'kan?

Aku menggeleng dan tersenyum. "Aku tidak bisa, rasanya seperti aku pergi dari tugasku," ucapku lembut.

Selanjutnya aku hanya membicarakan soal kegiatan akhir tahun nanti. Sebenarnya aku tidak punya kegiatan saat itu, tapi kalau pun aku memang tidak ingin pergi. Mungkin aku lebih memilih tidur nantinya.

Tapi menyenangkan juga berbicara dengan Dazai-san, sungguh. Ia sepertinya sudah punya rencana untuk akhir tahun nanti, berbeda denganku.

"[First Name]-chan, boleh aku meminta sesuatu?"

Aku mengangkat dagu begitu sadar coklat hangatku sudah habis. Tapi, orang ini sepertinya memang tipe yang suka menggoda wanita, ya? Cara dia bertindak dan berbicara padaku seolah ia sudah biasa melakukannya dan menjadikannya kegiatan sehari-hari.

Dazai-san mengeluarkan kertas dari saku jasnya dan memperlihatkannya padaku yang sedikit gugup. Itu adalah dua tiket film.

"Kau tidak ada kegiatan, 'kan? Mau nonton bersama denganku?"

Aku menatap tiket nonton dan Dazai-san bergantian kemudian menghela nafas pelan. Aku mengangkat tanganku dan menyentuh tiket itu.

Aku cukup mengenal Dazai-san karena sering berbicara dengannya sepanjang pagi ini, dan bukan hanya hari ini saja. Entah sudah berapa lama, kupikir cukup lama. Terlebih dia juga yang selama ini mengintai diriku karena tahu akulah pembunuh itu.

Aku sekali lagi melihat tiket itu. Apa ini bukan jebakan? Kupikir mungkin saja kan kalau ia menggunakan ini nantinya untuk menjebakku dan menangkapku.

"Aku serius mengajakmu, kau jangan berpikiran buruk. Aku juga tidak merencanakan ini dengan sengaja membeli dua tiket."

Sengaja… ya?

Dengan percaya dirinya, Dazai-san menambahkan, "keberuntunganku itu sangat bagus. Sebelumnya aku memasang undian untuk tiket ini, tetapi juga membelinya. Tidak kusangka undian itu benar-benar aku menangkan."

Aku tertawa kembali mendengar ucapan itu kemudian menggeleng kecil dan mendorong tiket yang diberikannya seraya berucap, "terima kasih tawarannya, Dazai-san. Aku tidak bisa menerimanya."

Dazai-san merucutkan sedikit mulutnya kemudian menghela nafas singkat. Ia kembali mendorong dua tiket itu padaku dan membalas, "kau simpan saja, kalau berubah pikiran, kau bisa menghubungiku kapan pun." Seraya tersenyum ceria.

Tak lama kemudian, aku melangkah keluar dari cafe tempatku berada untuk bekerja.

Kini aku hanya menemani Elise-sama memakan kue-kue yang baru saja dipesannya siang ini. Sungguh, dia benar-benar seperti boneka porselen.

Sesekali aku tersenyum seraya mengusap lembut dengan tissue krim kue yang bersarang disekitar mulut gadis kecil itu.

"[First Name]-chan, kau ada rencana?"

"Eh?"

Aku berbalik menatap Ozuki-sama yang terduduk disampingku dengan Nakahara-san yang menikmati wine mereka.

Begitu aku menatapnya, Ozuki-sama melirik ke arah saku jaket yang kukenakan. Dan disana sedikit terlihat tiket yang beberapa hari lalu Dazai-san berikan padaku.

Aku menggeleng pelan. "Aku tidak tahu, aku masih belum menjawabnya."

Usai berkata seperti itu, Nakahara-san bangun dari posisinya kemudian meletakkan gelas wine yang ia gunakan, pun ia meletakkan asal dipunggungnya jas miliknya itu.

"Ayo, [First Name]."

Tanpa disuruh dua kali pun aku langsung bangkit dan membungkuk hormat pada Elise-sama dan Ozuki-sama kemudian membuntuti Nakahara-san tepat di belakangnya.

Di hadapanku berjajar dua tiket film dari Dazai-san. Entah sudah berapa lama ponsel ini bertengger di telingaku, aku merasakan sensasi panas di telingaku. Sepertinya telingaku sudah memerah.

[[First Name]-chan jahat.]

Dengan memegang ponsel dengan sebelah tangan, aku menunduk.

"Memang jahat, ya?"

Ditengah perasaan bimbang, dengan suaranya yang cempreng, Yuki-chan berteriak melalui ponsel yang kini terhubung dengannya.

[Tentu saja! Kau mengabaikan orang yang berusaha baik padamu. Ketimbang dengan orang bernama Nakahara-san itu, kupikir kau lebih baik dengannya.]

Dengan Dazai-san… ya? Sebetulnya, kebanyakan mantanku adalah lelaki yang bertipe seperti itu. Tipe yang jago bicara dan terbiasa mengajak kencan wanita.

Aku kurang merasa sesuatu kalau dengan Dazai-san. Tapi setelah kupikir-pikir, rasanya dia sedikit berbeda. Mungkin memang awalnya seperti ini, tapi aku yakin dia berbeda dengan mantanku yang berhasil membuatku trauma untuk menjalin kisah romansa yang baru.

"Tapi kupikir aku belum melihat sisi lain Nakahara-san." Aku mulai menggambar-gambar asal di atas kertas tanpa menoleh ke arahnya.

Entah kenapa rasanya aku berusaha membelanya. Lagi juga kalau pun aku menyukainya, memangnya ia juga akan menyukaiku?

[Kau tertarik dengannya?] Suara Yuki-chan yang jauh disana sedikit terbang. Apa mungkin ada badai di sana?

"Sedikit, sebenarnya kupikir dia baik. Dia selalu menolongku dengan kata-katanya walaupun nadanya yang terkesan tinggi dan tidak peduli itu."

Tanpa sadar aku tersenyum begitu mengungkapkan hal itu pada teman baikku yang berada di Tokyo.

[Waah! [First Name]-chan menyukainya!]

"Eh!?" aku tersentak kaget dengan teriakkannya. Tentu saja, tetiba dia menyimpulkan hal seperti itu seenaknya.

Terlebih soal Nakahara-san.

[Aku yakin kau menyukainya.] Nada suara Yuki-chan terdengar jahil. Dia mencoba menggodaku, ya?

"Suka… ya? Entahlah, aku tidak merasakan apa pun seperti itu."

[Ah, begitulah [First Name]-chan. Kau hanya belum menyadarinya saja. Sudahlah, sudah malam. Kau besok bekerja, 'kan?]

"Umn…." Aku menunduk kembali. Tanpa sadar aku memandangi coret-coretan tidak jelas yang kubuat dan tanganku yang masih adanya bolpoin bertenger di sana.

[Oyasumi, [First Name]-chan. Jangan terlalu memikirkannya, ya. Ja.]

Suara sambungan telpon terputus terdengar jelas. Aku menurunkan ponselku dan menjauhkannya. Dengan malasnya, kini aku hanya menidurkan kepalaku di atas meja belajarku dengan lampu belajar yang masih menyala.

Dalam gemercik pikiranku. Aku terus mempertimbangkan kemungkinan yang terjadi. Rasanya aneh kalau aku pikir aku menyukai Nakahara-san hanya karena perhatiannya yang tidak jelas padaku.

Mungkin memang sifat dasarnya yang baik pada semua orang. Itu bisa saja terjadi, 'kan? Kalau memang seperti itu, itu artinya ia perhatian padaku dalam artian umum. Ditambah lagi aku bawahannya.

Sebetulnya, saat ia menanyakan keadaanku. Aku sedikit tidak enak karena kupikir akan membebankan dirinya saat bertugas.

Tapi kalau Dazai-san… apa aku terima saja ajakannya?

Aku menghembuskan nafasku sampai mengeluarkan kepulan kabut putih di sana. Suhu udaranya semakin dingin, tapi salju belum juga turun.

Kini aku hanya sedang berjalan berdua dengan Nakahara-san. Ya, berdua. Dengannya. Tentunya bukan untuk hal-hal menyenangkan seperti yang banyak orang pikirkan setiap kali orang melihatku dengannya.

Berbeda dari yang mereka pikirkan, aku hanya mengerjakan pekerjaanku. Begitu sampai di sela-sela kota yang kecil itu, aku berbelok dengan Nakahara-san.

Tepat tak jauh di sana, dua orang pria penuh dengan luka disekujur tubuhnya. Aku mengeluarkan ponsel dari saku jaketku dan membuka informasi seputar dua orang pria di sana.

Dari apa yang kubaca, mereka terlibat kasus penipuan sejumlah uang. Lebih hebatnya lagi, mereka nyaris berhasil menipu Port Mafia. Namun, dengan cepat Nakahara-san mengetahui tumpukkan uang palsu yang diterimanya dan segera menangkap dua orang itu.

Dalam sekali tendangan yang kuat, salah seorang dari mereka meringis kesakitan bahkan darah keluar lebih banyak dari wajahnya.

Aku tidak melakukan apa pun dan hanya berdiam diri menyaksikannya. Aku melangkah ke salah seorang pria yang hanya bergidik ketakutan kemudian berjongkok untuk mensejajarkan diriku dengannya.

"Maaf, tuan. Tapi sebaiknya kau katakan saja, dimana senjata yang kami kirim kau simpan?"

Pria itu tertawa dengan dirinya yang sudah diambang kematian. Nakahara-san dengan cepat menodongkan pistolnya ke arah kepalanya dan berucap, "katakan." Dengan kilatan matanya seperti sebuah ancaman.

"Kau bunuh saja aku! Jawab atau tidak kujawab, kalian juga akan tetap membunuhku, 'kan?"

Pria itu kembali tertawa sekuat-kuatnya sementara aku menghela nafas kembali. Nakahara-san yang sudah geram akhirnya memilih ingin menendang sekuat-kuatnya pria itu, tapi aku menghentikannya dengan mengangkat sebelah tanganku.

Aku menoleh-nolehkan pandanganku pada tubuhnya yang sudah bersimbah darah. Jas hitamnya yang sepertinya sudah rapih, kini tampak sangat berantakan.

Aku memasukkan tanganku ke arah sela-sela bajunya, mencari sesuatu yang mungkin aku bisa gunakan. Begitu tanganku menyentuh sebuah pistol, aku menarik keluar pistol itu dan menunjukkan padanya.

"Apa kau selalu membawa ini?" pria itu bergeming, diam. Tidak menjawab. Aku menoleh ke arah mafiosi yang berjejer menjaga tepat di belakang dua pria di belakangnya.

"Apa saat transaksi kalian melihat senjata ini?"

Para mafiosi saling melirik satu sama lain, sampai akhirnya salah seorang menjawab, "iya, dia membawanya. Aku ingat senjata itu sempat ia tunjukkan saat mengecek peti persenjataan yang mereka pesan."

"Dia juga sempat menggunakan senjata itu saat kami ingin menangkapnya," timpal salah seorang mafiosi lainnya.

Setelah mengecek sejumlah pelurunya, memang beberapa ada yang tidak terisi—aku berdiri dan mundur beberapa langkah. Pria itu tiba-tiba tertawa entah kenapa, kemudian berbicara, "apa? Kau gadis kecil akan menggunakan senjata itu untuk membunuhku?"

Aku tersenyum miring dan menggeleng kemudian menjawab, "tentu saja tidak."

Aku memegang pistol itu dengan tangan kiriku dan meletakkan kelima jari kananku di atasnya. Aku menghembuskan nafasku—bahkan disela kota saja nafasku masih mengeluarkan kepulan putih—dan berkonsentrasi.

Aku memejamkan mataku. Setelah beberapa detik kemudian…

Tato yang melingkari tanganku mengeluarkan cahaya keunguan begitu juga dengan mataku yang tetiba aku buka lebar.
















—oOo—

Chapter 4 owari! Karena masih awal-awal keknya ngambang beud, yak? Ya gak sih 😂 ??? Sepertinya iya 😐

Sudah baca ini? Jangan lupa vote dan komentarnya yak~ 😍

Thanks!
Hope you all like it!

—oOo—

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro