Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 12 : What is That Mean?

BEGINI, aku jadi bingung apa yang harus kulakukan. Maksudku, kesampingan diriku yang menolak Dazai-san waktu itu. Masalahnya, soal Nakahara—maksudku, Chuuya-kun—yang waktu itu mencuri ciuman pertamaku.

Mungkin sebagian orang mengira ciuman pertama itu tidak penting, tapi faktanya itu sangat penting. Ya, sangat! Dan aku sekarang jadi kelabakan sendiri setiap kali diriku berpapasan dengan Chuuya-kun, berusaha menghindarinya, bahkan seketika menjadi pribadi yang pelit kata-kata. Yep, aku menjawab bila ditanya, itu pun jawabannya hanya sesingkat saja.

Ya, sebenarnya aku ada alasan tersendiri mengapa menghindarinya juga.

Terlebih entah kenapa Chuuya-kun juga seolah-olah berusaha menghindari diriku—jadi, jarakku dengannya jadi sangat jauh. Sungguh, aku tidak mengerti. Apa dia mengingat kejadian waktu itu? Atau, ada hal lain yang mengganggunya? Memang ini bukan masalahku dan aku tidak berhak ikut campur masalahnya.

Tapi aku lebih khawatir lagi kalau dia marah padaku karena ucapanku kala itu. Iya, saat dia tetiba mengerjakan misi yang berbahaya seorang diri. Saat aku datang menyusulnya, dia seperti orang yang terpojok—saat itu pula, seolah aku tidak melihat Chuuya-kun yang biasanya.

Sebetulnya, aku sangat yakin kalau ucapanku saat itu tidak beralasan. Maksudku, aku tidak harus ikut campur dalam misinya kalau dia memang ingin melakukannya sendiri, lagi pula aku bukan bawahannya lagi.

Ya, boleh kuakui. Aku saat itu sangat khawatir dengannya, karena Chuuya-kun tidak seperti Chuuya-kun yang biasanya. Entah apa yang mengganggunya, tapi aku juga tidak ingin menanyakannya alih-alih bisa saja membuatnya tambah murung.

Mungkin yang mendorongku sampai-sampai berucap seperti itu adalah karena sebenarnya bos sendiri sudah berkata pada Chuuya-kun untuk memintaku membantunya saat itu.

Ah, sudahlah!

Lalu, setelah akhirnya aku menguatkan diriku, aku kembali bekerja. Bekerja sebaik mungkin, seceria mungkin, dan sebersemangat mungkin menutupi semua masalahku—khususnya, soal ciuman itu dan pertengkaranku dengan Chuuya-kun. Aku juga yakin kalau Chuuya-kun tidak mengingatnya, pasti. Namun, soal ucapanku yang menyakiti hatinya, sepertinya dia ingat.

Menyakitkan... ya? Aku juga belum bertanya soal apakah dia ingat soal kejadian waktu itu atau tidak, tapi sebaiknya tidak kutanya.

Dan yang terbaik adalah aku harus meminta maaf padanya.

Jadi, setelah akhirnya aku berhasil kembali ke diriku yang sebelumnya setelah beberapa hari. Untungnya pekerjaan di mafia tidak terlalu berat karena mulai mendekat tahun baru, aku jadi bisa bersantai-santai.

Contohnya, seperti saat ini.

Udara yang masih terasa dingin, perpustakaan yang sepi, dan tentunya tempat paling sempurnya untuk bersantai-santai.

Aku memindahkan halaman demi halaman buku yang kupegang, membacanya dengan teliti dan cermat, pula menyimak apa yang kubaca.

Sebelah tanganku terangkat, menggenggam gagang sendok kue yang biasa kugunakan kemudian melahap potongan kecil kue kesukaanku.

Aku terus melumatnya dalam diam. Tetap terfokus pada buku bacaan yang kini berada di genggamanku. Sekali lagi, halaman demi halaman kupindahakan secara bertahap.

"Achu!" aku menghela nafas singkat. Ah, sepertinya musim dingin ini benar-benar mengacaukanku. Sial, tidak kusangka aku akan terkena flu musim dingin.

"Flu?"

Aku hanya menggeram kecil sebagai jawaban tanpa melihat siapa orang yang bertanya padaku. Sudah kuduga, pasti pustakawan di sini. Kujamin sebentar lagi dia akan mengomeliku panjang–lebar takut akan koleksi buku-bukunya yang terkena ribuan virus dariku.

"Sebaiknya minum ini, untuk menghangatkanmu."

Aku menggeram pelan. "Arigatou, tolong letakkan di meja depanku saja," balasku. Sekali lagi, tanpa menoleh. 

Aku menaikkan sebelah alisku, bingung. Seingatku pustakawan disini tidak ramah, kenapa jadi sangat baik sampai-sampai memberikanku minuman?

Saat aku tengah beradu argumen dalam benakku, kunaikkan kepalaku menatap orang yang berbaik hati memberikanku kopi panas—yang kutahu dari aroma kopinya yang menyeruak tajam—saat kutahu orang itu, aku nyaris saja terjengkang ke belakang.

Yep, itu Nakahara—maksudku, Chuuya-kun. Aku mengedip-ngedipkan mataku bingung sampai kusadar, posisi dudukku sedang tidak bagus! Aku segera memperbaiki posisiku seraya menunduk sopan dan mengucapkan, "arigatou, untuk kopinya." Dengan sebaik mungkin (walaupun aku merasa sangat kaku mengucapkannya, sejujurnya).

Chuuya-kun segera meletakkan secangkir kopi panas itu tepat di meja depanku, sementara kopi miliknya masih ia tempelkan pada ujung bibirnya yang tipis itu.

Omong-omong, aduh! Kenapa dia bisa melihatku dalam posisi duduk ini?! Sungguh, aku terkejut melihat kedatangannya yang tak terduga sekaligus malu.

Bayangkan saja, kau duduk di sofa panjang—sendirian—dengan kedua kakimu terangkat di atas sofa dan kau lekukan, sementara tubuhmu dengan rileks bersandar pada penyandar di belakangmu. Ya, itu posisiku saat Chuuya-kun datang.

Tapi aku tidak peduli, toh Chuuya-kun sudah melihatnya, 'kan? Jadi, setelah aku membenarkan posisiku dan mengucapkan terima kasih, aku kembali lagi pada posisi awalku.

Tapi sebenarnya, aku canggung. Aku harus meminta maaf padanya.

Tapi karena tidak mau juga hasil latihanku menjadi sia-sia, jadi aku berusaha setenang mungkin. Rileks. Biasa-biasa saja (walaupun keadaan ini tidak biasa). Tenang. Aku tahu aku bisa!

Kesampingkan diriku yang berusaha tenang sebisa mungkin, sekarang aku malah kebayang kejadian beberapa waktu lalu. Ya, saat Chuuya-kun menciumku—maksudku, mencuri ciuman pertamaku!

Astaga! Sekarang aku malah tidak bisa fokus pada bacaanku. Jadi aku berusaha meraih gelas kopi panas dari Chuuya-kun dan berniat meminumnya. Tapi, karena jaraknya yang tidak bisa kucapai, akhirnya aku semakin memajukan diriku—dengan tetap tidak bergerak dari posisi dudukku—saat tanganku berhasil menggenggam gelas itu, aku berteriak, "yeah!" dengan sangat senang dalam hati. Namun, segera bukam (bahkan membeku) begitu kudongakkan kepalaku dan kutatap wajah Chuuya-kun yang hanya tinggal hitungan beberapa centi.

Aku mundur dari posisiku dan duduk sempurna di atas sofa seraya menggenggam erat gelas kopi panas itu dengan dua tanganku. "Ma-maaf, kalau itu mengganggumu," ucapku sebaik mungkin.

Aduh, bisa kurasakan wajahku sekarang memanas. Aku memalingkan pandanganku kesembarang arah—intinya bukan menatap Chuuya-kun—lalu menyesap kopi panas itu perlahan.

"Kau tidak ingin mengatakan sesuatu?"

"Eh?" aku langsung menoleh padanya. "Apa?"

Chuuya-kun menatapku lamat-lamat. Kuharap ia menatapku bukan karena wajahku yang memerah.

"Soal kau dan Dazai. Kudengar kau benar-benar berpacaran dengannya."

Hah?!

Mataku membulat sempurna. Kenapa Chuuya-kun bisa mengatakan hal itu? Bukankah kemarin saat ia tengah mabuk alam bawah sadarnya berkata seolah ia tahu aku tidak berpacaran dengan Dazai-san? Lalu kenapa sekarang... dia berpikir aku berpacaran dengannya, dengan Dazai-san?

Dan kenapa sekarang dia mengatakan hal itu? Aku jadi bingung. Tapi satu hal yang kuketahui, dia tidak benar-benar marah dengan ucapanku. Seketika memikirkan itu, tebersit rasa senang yang teramat sangat dalam hatiku.

Aku masih diam tidak menanggapi. Entah kenapa aku bisa melihat raut Chuuya-kun yang tampak tenang itu, tapi menyembunyikan sesuatu dari lirikkan matanya yang tak terarah padaku.

"Aku—"

"Selamat, ya."

Eh?!

"Kuharap hubungan kalian baik-baik saja karena kau tahu maksudku, bukan? Dia... berada di posisi yang berbeda dengan kita."

"Tapi dia dulu sama."

Mata Chuuya-kun langsung menatapku seolah mendengar pernyataan yang langka. Tatapannya seolah ia mendapatkan sesuatu, aku tidak mengerti.  Apa aku mengatakan sesuatu yang salah, ya? Batinku.

Chuuya-kun memejamkan maniknya sesaat seraya berdiri dari posisinya. Tanpa kusadari, ternyata minumannya sudah habis lebih dulu.

Kupikir dia mencoba menggodaku karena ia ingat ciuman malam itu, atau paling tidak ia mengungkitnya atau apa. Tapi, kenyataannya itu tidak terjadi. Tidak seindah yang kupikirkan.

Kupikir kalau aku mencoba untuk menjauh darinya sementara waktu, dia akan mengejarku dan mencoba menjelaskan itu. Tapi nyatanya tidak.

Kupikir kalau aku bersikap seolah bukan wanita—maksudku, tidak seperti wanita yang anggun—seperti contohnya tadi, dia akan menggubrisku. Tapi nyatanya tidak.

Kupikir saat dia membelikanku kopi panas dan sengaja ingin menggodaku agar aku bisa berbicara seceria dulu dengannya. Tapi nyatanya tidak.

Mengetahui hal ini menyakitkan untukku. Apa itu artinya dia memang tidak menyukaiku sedari awal? Apa arti kekhawatiran dia selama ini? Apa karena aku partnernya?

Dan yang lebih menyakitkan lagi, kenapa dia mengira aku sungguh berpacaran dengan Dazai-san? Lalu apa maksud ungkapannya saat ia mabuk saat itu kalau dia mengklaim diriku sebagai miliknya? Ini benar-benar membuatku pusing!

Saat kutatap kepergian Chuuya-kun, aku langsung berdiri dan berteriak, "Nakahara... -san." Saat kusadar, suaraku sama sekali tidak sampai padanya.

Jadi, apa arti perasaan sukaku padanya?

Aku senang karena dikhawartirkan, tentunya dengan teman-teman di Port Mafia, tetapi yang bisa menyelesaikan perasaan ini adalah aku seorang, bukan orang lain.

Aku langsung menuju kamarku begitu sampai di asrama—yang kupikir apartemen itu—dan membuka banyak website di layar laptop milikku yang selalu aku mode hibernate agar mudah setiap kali ingin langsung kugunakan tanpa menunggu lama.

Kutatap layar desktop itu, masih sama. Web-web yang kemarin kubuka masih tertera dengan sangat jelas di sana. Apa kalian tahu apa yang kucari-cari dalam internet? Ya, arti kata suka, cinta, dan obsesi.

Mungkin terdengar lucu aku mencari arti kata itu, tapi sunguh aku tidak mengerti dengan tiga arti kata yang sangat sederhana itu dan sangat sering diucapkan.

Sejujurnya, aku tidak akan melakukan itu kalau bukan karena Yuki-chan. Yep, karena sahabat karibku itu. Jadi, setelah berkali-kali aku bercerita soal Chuuya-kun atau Dazai-san, aku selalu dituding menyukai salah satu dari mereka atau Chuuya-kun yang lebih sering. Ya, aku menjawab jujur.

"Aku suka dengan Nakahara-san karena dia orang yang hebat, kupikir aku mengaguminya."

Atau....

"Aku juga suka dengan Dazai-san, kau tahu... dia pria lucu yang sedikit menjengkelkan, tapi itulah yang kusuka darinya."

Jadi kesimpulan Yuki-chan saat itu adalah, aku hanya menyukainya saja. Maksudku, aku menyukainya secara umum, tidak ada perasaan istimewa sama sekali.

Karena terus menerus berdebat seperti itu, akhirnya Yuki-chan menjelaskan pengertian ketiga hal itu panjang–lebar dan aku seenaknya membalas "itu sama artinya seperti umum, khusus, dan berlebihan, 'kan?". Jadi sejak saat itu, Yuki-chan angkat tangan menjelaskan kembali ketiga pengertian itu dan memberikanku tugas memahami arti dari ketiganya.

Tengah malam, sambil beristirahat sejenak, aku mengalami dilema ; antara ingin menelpon Yuki-chan atau tidak. Dengan ponsel di salah satu tangan, aku membuka jendela. Angin yang berhembus sudah sarat dengan rasa dingin musim dingin. Kututup kembali jendela itu tak lama kemudian disusul dengan ditutupnya tirai jendela itu.

Setelah sedikit menenangkan diriku, aku berbaring sebentar di atas kasurku yang nyaman dengan selimut elektrik penghangat tubuh yang juga sudah kupasang untuk menutupi tubuhku.

Aku kembali memikirkan perasaanku, mengingat Yuki-chan yang terus berkata agar memikirkan perasaanku juga, perasaan saat Chuuya-kun bertemu denganku di perpustakaan.

Aku memang merasa sakit hati mendengarnya, terlebih Chuuya-kun juga percaya kalau aku berpacaran dengan Dazai-san. Kalau sekarang aku jelaskan kala aku tidak berpacaran dengannya, apa yang akan dia pikirkan? Bukankah itu seolah aku menunjukkan kalau aku menyukainya dan berharap agar dia tidak salah paham dengan itu?

Jadi ini alasanku takut berharap, itu bisa menyakitkan perasaanku sendiri. Sejujurnya hal yang paling kutakutkan adalah menyakiti diri sendiri dan ketidakbahagiaan. Jadi, aku sering kali menggunakan logika dan akalku setiap bertindak ketimbang menggunakan perasaanku yang justru bisa melukainya. Ya, aku selalu menjaga kuat-kuat hatiku agar tidak mudah dilukai.

Itu yang membuatku seolah aku tidak memiliki perasaan. Maksudku, hey! Kenapa aku bisa tidak bisa membedakan antara suka, cinta, dan obsesi? Bukankah terdengar aneh, apalagi diumurku yang sekarang. Remaja, begitu. Atau, kenapa aku bisa dengan mudah membunuh orang di depanku tanpa belas kasihan? Oke, mungkin karena latihan khususku dengan pemimpin organisasi pembunuh profesional, aku jadi terkesan dingin dan tidak berperasaan.

Kalau boleh aku sedikit menyindir, Yuki-chan yang tidak pernah berpacaran jauh lebih baik mengetahui hal-hal seperti ini ketimbang diriku yang sudah beberapa kali berpacaran.

Setelah memejamkan mataku, aku tertidur sampai keesokan harinya.

Dadaku sakit, membuatku ingin cepat-cepat pulang. Pasti perasaan tidak enak ini karena flu musim dingin. Tak salah lagi, ada virus influenza dalam tubuhku. Namun, hari ini ada janji minum teh dengan Chuuya-kun pulang kerja nanti.

Ehm... jadi, sejak menonton film waktu itu (aku tidak akan menceritakannya sekarang, mungkin nanti karena terlalu panjang), aku dan Chuuya-kun beberapa kali pulang dan makan sama-sama. Oke, akan kuberitahu sedikit, ini sudah cukup lama bahkan jauh sebelum Natal saat itu. Bukan masalah siapa yang mengajak, bisa dibilang terjadi begitu saja, tetapi kupikir mungkin itu kencan.

Maksudku, itu terjadi karena usai aku bertugas saat itu dengannya. Chuuya-kun bahkan berbaik hati mengantarkanku sampai asrama—mungkin, apartemen—milikku.

Pergi bersama Chuuya-kun itu menyenangkan. Alasannya, Chuuya-kun tidak akan pernah menyuruhku cepat-cepat (kecuali ada urusan pekerjaan). Jadi, aku bisa selalu santai dengannya tanpa memikirkan waktu. Chuuya-kun juga tidak pernah mengungkit soal waktu yang kuhabiskan terlalu lama atau sebagainya.

Di atas meja, di counter kedai makanan tradisional Jepang, Chuuya-kun sering kali mengaitkan jemarinya yang panjang itu. Sambil menatap orang-orang disekitarnya yang entah sedang memikirkan apa pula, aku diam-diam menatap jemari itu.

Itu adalah jemari yang, suatu saat nanti ingin rasanya kudisentuh olehnya dengan lembut.

Eh?! Bukan, maksudku... bukan itu!

Aku buru-buru menghentikan imajinasiku yang kelewat batas. Pipiku mulai kurasakan memerah, kuharap tidak ada yang sadar. Saat aku melihat sekeliling, Chuuya-kun tidak menatapku sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu dan berucap, "maaf, aku tidak bisa pergi denganmu hari ini. Ada pekerjaan."

Dengan cepat, aku mengangguk paham. Sambil kembali mengencangkan ranselku, aku menghela nafas pelan dan tersenyum padanya seraya berucap, "tidak masalah, bersemangatlah."

Saat berjalan dengan jenjang kakiku, aku melihat papan nama toko kue. Mataku berbinar begitu melihat tulisan 'special price' untuk semua jenis kue.

Aku tersenyum ceria dan langsung memasuki toko kue itu dengan bersemangat. Tentu saja, siapa yang tidak suka dengan potongan harga. Terlebih dengan sesuatu yang kau suka?

Saat aku memasuki toko kue itu, aku mencium aroma kopi yang lumayan enak. Aku berjalan santai menyusuri meja-meja yang dekat dengan jendela kaca besar di sampingku.

Aku duduk di sana sampai tak ada yang bisa kulakukan lagi karena sepotong red valvet dan dua potong black raven cake sudah habis semua. Juga dengan cafe au lait panas yang kuminum sudah nyaris habis.

Mencicipi dua potong kue coklat ternyata cukup bisa membuat hatiku kembali ceria seperti biasa. Ternyata, kekuatan kebahagian coklat itu benar-benar nyata.

Menunggu pun tidak ada artinya lagi di sini, jadi sebaiknya aku pulang saja....

Aku menghela nafas dengan puas sesaat setelah keluar dari toko kue itu. Setelah cukup jauh dari toko kue tadi, sekilas aku melihat sosok Chuuya-kun tak jauh di sana. Tengah berdiri—sendirian.

Aku tersenyum dan berniat menghampirinya dan sedikit menggodanya karena tugas malam. Namun, langkahku terhenti begitu kutatap dia menarik lengan seorang wanita.

Wanita itu tidak terlalu tinggi, coat sepanjang dengkul kakinya berwarna putih membalut tubuhnya, jenjang kakinya ditutupi stocking hitam tebal, pula mengenakan syal berwarna keabu-abuan yang cocok dengan rambut hitamnya yang panjang. Sekilas, kulihat wajahnya tampak manis dan tubuhnya juga ramping.

Chuuya-kun terus menarik wanita yang tampak kebingungan itu sampai di depan show window yang bercahaya, mereka terlihat bertengkar. Seperti pertengkaran pasangan.

Wanita itu pula sudah mencoba untuk pergi, tapi Chuuya-kun tetap menahannya dan tetiba menariknya lebih dekat dengannya.

Padahal aku tidak ingin melihatnya, tetapi mataku tidak bisa lepas dari mereka.

Sambil terus ditahan oleh tangan besar dengan jari panjang dan kurus itu, wanita itu terus bersikeras untuk pergi. Sampai saat tangannya yang lain dan terangkat untuk menyentuh rahang wanita cantik itu—wanita itu terdiam langsung.

Ibu jari pria bersurai senja itu menyentuh bibir wanita itu dengan lembut, kulihat wanita itu akhirnya mematuhi Chuuya-kun dengan menutup matanya dengan lembut. Chuuya-kun mendekatkan wajahnya pada wajah wanita itu. Wanita yang tubuhnya sedikit lebih kecil dari Chuuya-kun itu tertutup oleh tubuh Chuuya-kun dan jas panjangnya, bayangan mereka berdua menjadi satu.

Tidak ada alasan untuk melihat mereka.

Aku berlari dan terus berlari memutari jalan yang biasanya kulewati dengan kecepatan penuh.

Jadi itu alasannya, Chuuya-kun menjadi murung? Aku yakin dengan apa yang kulihat, Chuuya-kun... memang tengah bertengkar dengan pacarnya sendiri. 





















—oOo—

Chapter 12 owari! Akhirnya klimaks juga 😂 jadi gimana menurut kalian, Reader-tachi? Jadi gini, ini akhirnya masih gantung sangadh 😆 Mikajeh bingung bakal jadi BAD–END atau GOOD–END 😣 sebenernya dari judul lebih mendukung BAD–END sih ketimbang GOOD–END 😶 tapi menurut kalian bagusan mana?

Sudah selesai baca, 'kan? Votenya boleh lah numpang lewat gitu sekalian komennya 😍 udah baca cerita yang lain? Seru juga, 'kan? Teruskan yeu~ jangan lupa voment-nya juga 😋

Thanks!
Hope you all like it!

—oOo—

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro