Chapter 11 : Answer of My Feelings
AKU menghelakan nafasku panjang. Langit sudah hampir gelap dan salju masih turun seperti biasanya. Kutatap Kota Yokohama pada malam ini di langit tertinggi.
Yep, atap Kantor Port Mafia.
Aku merogoh saku jaket hitamku, mengambil ponselku untuk menghubungi orang yang di sana—sahabat karibku, Hana Yuki-chan—yang kini berada di Tokyo.
Setelah mengetik nomor yang kutuju, ponsel itu kudekatkan dengan telingaku sampai terdengar bunyi sambungan untuk yang di sana.
Kedua sudut bibirku terangkat begitu mendengar suara Yuki-chan yang di sana. Ya, masih seperti biasa. Kami hanya membicarakan hal-hal sederhana, berbasa basi sebelum aku mulai bercerita.
Kalau boleh jujur, aku rada malu untuk menceritakan hal ini walaupun dia sobat karibku.
[Jadi, apa kau sudah nonton filmnya?]
Aku terkejut karena ditanya tanpa persiapan. Ditambah lagi aku bisa membayangkan wajah Yuki-chan yang tersenyum-senyum jahil.
Jelas dari nada suaranya dia menggodaku.
"Malam ini," balasku seraya tersenyum sebaik mungkin.
[Ah, enak ya, [First Name]-chan. Belum sebulan bekerja sudah dapat pangeran.] Ah, sial! Memangnya Yuki-chan kira aku wanita seperti apa ia bisa berujar seperti itu?
"Hey, jangan katakan hal seperti itu. Rasanya kau jahat sekali."
Kami tertawa bersama.
Tapi jujur, Yuki-chan benar. Entah apa yang para pria yang pernah menyinggahi hatiku ini pikirkan. Kadang aku berpikir-pikir apa istimewanya diriku selain memiliki kemampuan khusus yang kupikir justru itu bagian terburuknya.
Dan kalau boleh jujur lagi, aku sedikit takut akan memulainya kembali dengan Dazai-san. Maksudku, aku pernah punya hubungan yang romantis pada orang yang seperti Dazai-san.
Pria itu awalnya humoris, tapi selang waktu tiga tahun dia selingkuh dariku tapi tidak pernah berkata ingin putus denganku. Padahal aku jelas-jelas tahu kalau dia selingkuh dariku, sialnya dia tetap tidak berkata putus walaupun sudah tertangkap basah olehku, sampai akhirnya aku yang memintanya.
Apa kalian tahu saat aku berkata ingin putus dengannya laki-laki brengsek itu membalas apa? Ya, hanya emoji dari keyboard.
Yuki-chan selalu memperingatkanku untuk menimbang-nimbang keputusanku untuk putus dengannya. Tapi, itulah aku. Aku tidak pernah menyesali keputusan itu bahkan sampai saat ini walaupun membuat diriku trauma untuk menjalin kisah romansa yang baru.
Aku yakin, tak lama setelah mendengar ocehan panjang dari Yuki-chan, pada akhirnya dia akan berucap….
[[First Name]-chan, sebaiknya kau timbang-timbang lagi.]
Benar, 'kan? Dia pasti akan berucap seperti itu.
"Aku tahu. Malam ini aku hanya akan nonton bersama dan menikmati natal saja, sungguh," ucapku meyakinkannya.
[Baguslah, karena kupikir kau pasti sedang memikirkan Nakahara-san itu.]
"Eh! Ng… ti-tidak juga!"
Gawat! Aku tahu mukaku mulai panas. Kenapa ini? Kenapa Yuki-chan bisa membuat kesimpulan seperti itu?!
Ah, sial! Kenapa sekarang malah wajah Nakahara —maksudku, Chuuya-kun—di kepalaku? Kenapa aku jadi mengingat bagaimana dia memelukku kemarin… ucapannya… perlakuannya yang baru… dan ciuman itu?!
[Pasti terjadi sesuatu yang bagus! Iya, 'kan? Ngaku saja, [First Name]-chan.] dasar anak ini! Dia memojokkanku? Kalau boleh kuakui, perkataan Yuki-chan memang benar.
Kejadian itulah yang kupikir jembatan yang baru kubangun dengan Chuuya-kun tanpa sadar—dengan cara yang awkward tentunya.
"Ah… umn… kupikir begitu."
[Bagaimana bisa?] terdengar suara Yuki-chan yang bersemangat. Wah, dia mulai mengintrogasiku.
Omong-omong, harus kukatakan bagaimana, ya? Apa aku harus bilang "iya, dia menciumku—mencuri ciuman pertamaku—saat sedang mabuk". Kalau begitu bisa-bisa Yuki-chan pasti langsung berteriak-teriak histeris dan tidak mendukungku dengan Chuuya-kun.
[Dia menciummu?] Gaah! Memangnya kau cenayang Yuki-chan!? Kenapa anak ini bisa tahu?!
"Eng-enggak, kok. Kenapa kau bisa berpikir begitu?" sergahku tidak terima. Saat ini bisa kurasakan wajahku memanas. Mungkin sudah memerah sekarang.
Terdengar suara Yuki-chan yang tertawa renyah. Ah, dia selalu begitu. Curigaan padaku. Rasa curiganya itu benar-benar kubenci, sejujurnya.
[Aku tahu.] aku menopangkan tanganku seraya membiarkan ponsel itu tetap bertengger di dekat telingaku. Sementara tanganku yang lain mulai membuat bola-bola petir biru kecil dan memutar-mutarkannya di atas tanganku.
[Jangan membohongi dirimu sendiri, [First Name]-chan.]
"Siapa yang berbohong? Aku…." Ya, aku berbohong. Pada diriku sendiri.
Aku menghela nafas singkat dan menggenggam kuat pagar pembatas di atap ini seraya berteriak dengan lantang, "yang penting sekarang aku ada jadwal dengan Dazai-san!"
Kuharap dia mengerti dengan aku yang berteriak. Ya, maksudku hanya membuatnya untuk tidak membahas itu lagi. Begitulah.
[Akhirnya kau berteriak juga.]
Hening sesaat.
[Aku hanya ingin mengatakan sesuatu padamu sebelum Tahun Baru. Kau itu labil, banyak pertimbangan, sering kali ragu, terlalu memikirkan logikamu dan—]
Aku mengerutkan dahiku. "Tidakkah kau terlalu jujur, Yuki-chan?"
[Ya, aku jujur. Makannya kau jangan terlalu sering membuat pertimbangan berdasarkan logika seperti itu, cobalah untuk memikirkan perasaanmu juga. Tidak salah, 'kan?]
Aku memejamkan mataku lembut. Ya, kau tidak salah, Yuki-chan, batinku.
[Kau masih bisa berteriak, aku juga jadi lega. Kalau begitu selamat Natal dan selamat bersenang-senang. Ja.]
"Aku berteriak… ya?" aku bergumam sementara sambungan telponku dengan Yuki-chan sudah terputus sedari tadi. Ya, dia lebih sibuk dariku.
Aku meletakkan ponsel itu kembali dalam saku dan kembali menatap kota pelabuhan ini. Oh, aku hampir lupa. Aku bahkan belum memberitahu Dazai-san soal nonton hari ini. Apa dia bisa, ya? Semoga saja dia tidak terlalu sibuk.
Semoga saja dengan ini aku bisa menghilangkan bayanganku dengan Chuuya-kun kemarin.
❄
Disinilah aku sekarang. Setelah mengganti jas formalku dengan mantel tanpa lengan berwarna merah ; mengganti celana bahanku dengan rok sepanjang setengah paha dan stocking tebal, aku keluar dari Kantor Port Mafia.
Belum jauh dari kantor tempatku bekerja itu, Dazai-san sudah berdiri di hadapanku dengan pakaiannya yang seperti biasa dan syal yang diberikan anak panti saat itu.
Ya, sudah kuduga dia pasti akan nekat untuk menjemputku di kantor, mungkin kalau aku tidak lebih cepat keluar dari sana pasti Dazai-san sudah memasuki wilayah Port Mafia.
Aku tersenyum ramah padanya. "Sudah pasti Dazai-san akan tetap keras kepala."
Dazai-san tertawa kecil. "Kau tahu aku dengan baik ternyata, [First Name]-chan," ujarnya diselingi senyumannya.
Dazai-san mengulurkan sebelah tangannya padaku, aku menatapnya tak lama kemudian meraihnya.
Tangannya benar-benar besar dan terasa hangat, jujur aku menyukainya. Mungkin hampir seperti Chuuya—ah, kenapa aku masih mengingat pria bersurai senja itu? Sudah, lupakan saat ini.
Jadi begitulah aku dan Dazai-san saat ini. Menonton film kemudian lanjut makan di cafe hidangan asia yang tak jauh dari sana.
Banyak hal yang kami bicarakan. Entah kenapa rasanya bodoh mendengarkan cerita Dazai-san dan koleksi wanitanya yang sudah berkali-kali diajaknya bunuh diri bersama.
Yang membuatku terkejut adalah, wanita pertama yang diajaknya bunuh diri ganda dengannya—yep, dia menerimanya. Wanita itu menerimanya! Iya, menerimanya untuk bunuh diri dengannya!
Tapi, saat Dazai-san benar-benar melakukan apa yang dimintanya dengan wanita itu, justru hanya wanita itu yang mati—Dazai-san malah selamat.
Lalu, aku dibuat tertawa mendengar kala itu pertama kalinya Dazai-san bertemu dengan Atsushi-kun. Harus kukatakan Atsushi-kun sebenarnya beruntung atau sial karena bertemu Dazai-san.
Pikir saja, mana ada orang tetiba bilang "chi!" dengan wajah menyebalkan saat ditolong karena nyaris tenggelam.
Oke, jadi setelah kami makan di cafe hidangan asia ini, kami lanjut berkeliling ria lagi. Melihat-lihat benda-benda natal dan bermain di taman Yokohama di sana.
Usai berkeliling ria, akhirnya kita sampai di salah satu toko kue yang terkenal dengan kue Natalnya. Jadi tidak salahnya kalau kami mencoba, 'kan?
Oke, jujur ini kue yang enak. Aku tidak menyesal memasuki cafe ini walaupun harganya lumayan mahal.
"Jadi Dazai-san," ujarku. "Sudah pasti kau tidak tertarik untuk kembali, 'kan?"
"Kenapa?" Dazai-san tersenyum miring. "Kau mau aku kembali jadi mafia?"
Aku mendengus. "Tidak, aku hanya penasaran kenapa bos sangat ingin kau kembali?"
Dazai-san tertawa kecil sementara aku mendengus, menahan tawa. Aku mengambil gelas coklat panasku dan mencicipinya sedikit.
"Lalu Akutagawa-senpai. Setiap kali aku bertugas dengannya dan bertemu Atsushi-kun, bawaannya dia panas sekali."
Oke, aku tidak bohong soal ini. Saat berpapasan dengan Atsushi-kun, Akutagawa-senpai selalu menatapnya tajam seolah-olah dia mangsanya.
Tentu saja tidak denganku. Aku hanya bertukar sapa dengan Atsushi-kun dan berbicara sedikit dengannya, barang kali aku mengajaknya beristirahat sejenak usai dari pekerjaan lapangan kami. Bagusnya Akutagawa-senpai tidak mulai menghancurkan apapun di sekeliling kami.
"Lalu bagaimana denganmu, [First Name]-chan?"
"Eh?"
"Kau tidak ada niat membelot dari mafia dan bekerja denganku? Adik asuhmu juga dalam waktu dekat akan mulai bekerja di agensi."
"Benarkah?" berkebalikan dari diriku yang terkejut. Justru aku tersenyum dan senang mendengarnya. "Aku belum pernah berpikir untuk membelot dari mafia."
"Yah, kalau itu terjadi. Artinya kau anggota eksekutif kedua yang berani seperti itu. Menghilang saat mengerjakan misi dan kembali sebagai musuh."
Aku tertawa lepas. Benar juga kata Dazai-san. Mungkin aku akan jadi anggota eksekutif kedua yang berani membelot seperti itu—terlebih karena posisiku yang cukup tinggi.
"Bisa saja itu terjadi. Omong-omong Dazai-san, bagaimana kau tahu aku anggota eksekutif?" tanyaku penasaran.
"Tentu saja aku tahu semuanya. Itu hal yang mudah." Dazai-san bertopang dagu dan menatap ke sampingnya. Bisa kulihat ada semburat merah tipis di sana juga dengan senyumannya yang membentuk kurva tipis.
Aku menatap gelas coklatku yang hampir habis. Rasa hangatnya pun sudah hilang karena dikalahkan cuaca yang dingin ini.
Tanpa sadar aku tersenyum karena hari ini. Yep, ini hari yang menyenangkan untukku. Pekerjaan yang berat dan hari-hari yang memberikan kejutan untukku.
Aku bertopang dagu sembari menatap gelas coklatku dan mengaduk-aduknya dengan sendok kecil yang memang sudah disediakan di sana.
"[First Name]-chan!"
Aku mendongakkan kepalaku saat Dazai-san memanggil namaku. Begitu sempurna aku menatapnya, Dazai-san memasukkan sesondek parfrait ke mulutku dengan sendoknya.
"Enak?" aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Sendok itu masih bertengger di mulutku, tapi begitu aku sadar, segera aku lepaskan sendok itu.
"Kau mengejutkanku!" sergahku.
Dazai-san mendengus. "Lagian kau dari tadi berdiam diri saja. Memangnya apa yang kau pikirkan sampai-sampai pria tampan di depanmu ini diabaikan?" godanya.
Aku tertawa kecil dan tersenyum. Oke, boleh aku akui Dazai-san memang tampan. Tapi yang membuatku geli adalah rasa percaya dirinya yang tinggi itu.
"Bukan itu." Aku mengambil sendok parfrait dari tangan Dazai-san dan memakan miliknya. "Arigatou."
Dazai-san menarik salah satu sudut bibirnya. "Itu punyaku lho, [First Name]-chan."
❄
Kini aku duduk menatap laut luas didepanku dengan Dazai-san. Segelas kopi panas kugenggam ditanganku yang hampir membeku yang dibalut sarung tangan hitam itu.
Aku menyesap kopi panas itu untuk kesekian kalinya dan tersenyum menatap salju yang berjatuhan ke laut luas.
Dazai-san menghela nafasnya singkat sehingga kepulan putih yang cukup tebal itu keluar dari mulutnya. Ia pula menempelkan ujung bibirnya pada kopi panas itu, mungkin hanya untuk menghangatkan bibirnya yang hampir membiru.
Kuletakkan gelas kopi panas itu tepat di sampingku yang kosong. Yep, dalam bangku yang panjang ini hanya ada aku dan Dazai-san saja.
Kerlap kerlip lampu, suara keramaian kota, dan suara musik-musik perayaan Natal meramaikan malam ini.
"[First Name]-chan." aku mengadahkan kepalaku kembali saat Dazai-san memanggilku untuk kesekian kalinya. Kutatap dia yang juga tengah meletakkan kopi panasnya yang tak jauh darinya. "Aku ingin mengatakan sesuatu padamu."
Aku memiringkan sedikit kepalaku untuk menatap Dazai-san. "Ada apa, Dazai-san?" tanyaku polos.
"Apa kau menyukai seseorang?"
Eh?
"A-apa maksudmu?" aku menaikkan sebelah alisku. Apa segitu kentaranya ya kalau aku menyukai seseorang? Eh, tapi aku tidak pernah membicarakan orang yang kusuka selain dengan Yuki-chan.
Aduh, kenapa wajahku jadi panas begini? Aku harus jawab apa? Kalau dipikir-pikir, siapa yang sebenarnya kusuka?
Aku menundukkan kepalaku, berpikir-pikir. Saat aku memikirkan partner kerjaku di Port Mafia, rasanya semua sudah cukup. Mereka seperti keluarga bagiku.
Perasaan senang saat bersama Dazai-san. Perasaan nyaman saat bersama Dazai-san. Perasaan aku bisa aman dengannya padahal dia itu jelas di posisi yang bertentangan denganku. Apa itu artinya aku menyukainya?
Lalu bagaimana dengan Chuuya-kun?
"[First Name]-chan."
Aku menaikkan kepalaku, menatap Dazai-san. Perlahan kepalanya mendekat padaku. Aku tidak tahu harus berbuat apa, jujur, aku benar-benar tidak tahu.
Apa aku menyukai Dazai-san?
Lalu perasaan apa yang selalu membuatku penasaran pada dirinya dan senang saat bersama Chuuya-kun?
[Akhirnya kau berteriak juga.]
Ini tidak benar. Ya, aku menyukai Chuuya-kun. Aku menyukai jari-jarinya yang menyentuhku, aku menyukai perhatiannya padaku, aku menyukai bagaimana ia bisa mengkhawartirkanku.
Ya, aku yakin aku menyukainya dalam artian istimewa.
[Ya, aku jujur. Makannya kau jangan terlalu sering membuat pertimbangan berdasarkan logika seperti itu, cobalah untuk memikirkan perasaanmu juga. Tidak salah, 'kan?]
Aku memang terlalu memikirkan bagaimana saat aku dekat dengan Dazai-san. Tapi, perasaanku lebih memilih Chuuya-kun. Rasanya dia selalu bersama denganku, tapi sosoknya tidak pernah kulihat. Seolah dia mengawasiku. Apa karena aku terlalu memikirkannya setiap saat?
[Jangan membohongi dirimu sendiri, [First Name]-chan.]
Aku tidak akan membohongi diriku lagi, Yuki-chan. Aku menyukai Chuuya-kun, perasaanku selalu mengarah padanya. Jantungku seringkali berdebum saat tengah bersamanya, walaupun hanya sesaat hanya karena dia selalu menambahkan kalimat yang dingin dan tidak berperasaan padaku.
Dia selalu menutupinya dengan salju tebal. Dan kalau boleh jujur, aku takut untuk berharap kali ini. Aku takut disaat aku menyukainya, artinya itu sama saja pada umumnya. Hanya karena dia tidak pernah menunjukkan ketertarikannya padaku sebagai seorang wanita, bukan rekan kerja.
Saat aku sadar, jarak antara bibir Dazai-san dengan bibirku hanya tinggal hitungan centi—tetiba aku berucap, "Chuuya-kun." Dengan sangat pelan.
Tapi aku tahu Dazai-san mendengarnya. Dia menghentikan gerakannya. Kepalanya ia mundurkan kembali dan menatapku yang menatapnya dengan senyuman.
Kini tangan dinginku, kukaitkan satu sama lain. Menatap sarung tangan pemberian pria bersurai senja itu dengan senyuman lembut.
Membayangkan bagaimana hangatnya pelukannya yang mencairkan es pada hatiku. Membayangkan perlakuannya yang berbeda dari biasanya padaku, lebih seperti aku ini seorang yang sudah lama dekat dengannya. Merasakan kembali bagaimana aroma anggur manis yang menyentuh bibirku kala itu.
Mengingat bagaimana ia selalu membuatku sebal, membuatku sangat mengkhawatirkannya saat bekerja sendiri, membuatku marah karena keisengannya yang kadang keteraluan itu.
"[First Name]-chan, kau menyukainya?" tanya pria di depanku.
Aku bergeming, diam. Mengerat kaitan jari jemariku dengan kuat. Aku terpejam sesaat kemudian menghembuskannya sampai menyembulkan kebulan putih.
Aku tersenyum.
"Aku menyukainya... Chuuya-kun."
Aku mengangkat kepalaku dengan yakin. Menatap dengan Dazai-san yang aku yakin bisa menerima jawabanku.
Senyumanku tambah menjelas begitu Dazai-san pula menyunggingkan senyumannya.
"Ah, aku kalah," ucapnya seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia kemudian melanjutkan dengan tatapannya yang jahil itu, "dia pasti sudah menciummu, 'kan?"
Aku membeku seketika. Hey! Bagaimana dia tahu? Bagaimana semua orang tahu kalau aku saat itu berciuman dengan Chuuya-kun?! Oh, astaga! Seolah kejadian kala itu diperlihatkan secara umum!
"Ah, eng… ba-bagaimana kau tahu?!" aku bertanya ragu. Bisa kurasakan saat ini wajahku sudah memerah bak kepiting rebus saat ini.
Dazai-san tertawa. "Sudah kukatakan kalau itu hal yang mudah. Tapi, sepertinya orang bodoh itu belum menceritakan apapun padamu, ya?"
"Eh? Soal apa?" oke, aku sedikit lebih tenang.
"Ya, lebih baik kau tanya orangnya langsung saja. Kuharap dia tidak terlalu repot menjelaskan itu padamu. Kau tahu…." Dazai-san mendekat ke telingaku dan berbisik, "karena dia bodoh."
Aku tertawa dan mengangguk setuju. Boleh kuakui kan waktu itu kalau Chuuya-kun kadang-kadang benar-benar bodoh? Ya, tapi justru karena kebodohannya itu yang menurutku manis.
Omong-omong, inilah jawaban dari ketertarikanku dan ini pula….
Jawaban dari perasaanku.
—oOo—
Chapter 11 owari! Yeay! Jadi gini, gan '-' udah pen sampe klimaks 😆 BTW, Mikajeh rada bingung untuk klimaksnya yang satu ini kawand 😂 udah, pokoknya tunggu aja dua hari lagi oke 😋
Udah selesai baca, 'kan? Vote dan komennya boleh lah yak 😍 cerita yang lainnya gimana? Menarik juga, 'kan? Lanjutkan terus ya Reader-tachi 🙏
Thanks!
Hope you all like it!
—oOo—
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro