9. Mantan Oh Mantan!
Aku tersentak kaget gara-gara mendapati posisi Aryo yang begitu dekat denganku. Hampir saja kita berdempetan.
"Hai, Kania. Selamat pagi?" Aryo tersenyum manis sekali sayang terlalu manis dan membuatku mau muntah akibat kemanisan. Hoek.
"Ngapain kamu deket-deket sama aku? Bagian kamu bukan di lantai ini!" sinisku lalu bersedekap.
"Hehehe. Kamu lupa ya? Aku ini kepala bagian pantry. Terserah aku dong mau dimana?" Dia masih memasang senyum aspartamya. Dih! Punya senyum aspartam aja sok iyes. Untung aku udah sadar kadar manis dalam senyumnya ada rasa-rasa pahit.
"Justru itu, aku sangat ingat."
"Nah, jadi gak salah dong aku keliling. Siapa tahu bawahanku ada yang gak semangat kerjanya."
"Uwow, keren!"
"Iyalah, Aryo."
Aryo langsung bergaya dengan sedikit menaikkan kerah seragam OB-nya. Jiah, sok iyes banget ini orang.
"Tapi ya, Yo. Selain statusmu sebagai kepala pantry aku jadi ingat statusmu yang lain?"
"Apa?"
"Mantan pacar dan suami orang. Jadi ya mantan yang udah jadi suami orang, ingat yak! Mantanmu yang cantik ini udah gak pengen balikan. Bye!"
Aku mengibaskan rambutku dan segera berlalu. Aryo mengikutiku namun terhenti setelah melangkah sejauh lima langkah. Dia refleks berbalik dan sepertinya segera turun menggunakan tangga. Ya jelaslah dia gak berani ngikutin aku. Kalau dia mau kena omelan si Papan Datar, monggo kerso.
Aku mengibaskan rambut panjangku lagi. Dalam hati terkekeh.
"Ya ampun, dasar mantan. Gitu aja udah takut. Padahal cuma ketemu Papan Datar doang. Belum tahu dia, bapakku kayak banteng kalau lagi marah. Sukanya nyeruduk. Serem. Tapi meski nyeremin bapakku ganteng dan tidak sombong."
Sekali lagi aku mengibaskan rambutku hingga kurasakan tanganku menyentuh sesuatu. Refleks, aku menoleh ke arah pintu. Mataku membola melihat penampakan di depanku. Sengaja kupasang senyum mautku.
"Hehehe. Pak Andro, siang Pak."
"Kamu ngapain di depan pintu ruangan saya?"
"Emm, mau masuk Pak. Siapa tahu ruangan Bapak kotor, buku-buku berserakan atau butuh kopi?"
"Ck. Ambilkan saya satu rim kertas."
"Oke, siap Pak."
Aku segera menuju ke tangga untuk menuju ke lantai tiga di bagian barang dan inventaris perusahaan. Sampai di sana aku mencari Mas Andi.
"Mas, kertas satu rim buat Papan Datar."
"Oke, bentar ya?"
"Siap."
Mas Andi akhirnya menyerahkan satu rim kertas padaku.
"Makasih, Mas."
"Sama-sama. Eh, Nia."
"Iya, Mas."
"Malam minggu kita jalan yuk."
"Sorry Mas, malam minggu Nia sibuk."
"Sibuk ngapain?"
"Sibuk rebahan di kasur sambil ponselan. Udah ya Mas, Nia duluan. Takut si Pak Manajer yang terhormat marah."
"Woi, Kania!" teriak Mas Andi.
Tetapi aku memilih abai dan segera menuju ke ruangan Pak Andro. Sengaja kupilih tangga karena menurutku di sini aman. Andai ada cowok yang jahat sama aku, tinggal kuseruduk biar dia jatuh terguling di tangga. Apalagi kalau orang itu si mantanku. Duh! Dalam bayanganku, tergambar jelas jika Aryo berniat jahat padaku. Bakalan kutendang asetnya dan kuseruduk perutnya dengan kepalaku. Hahaha. Bahagianya hatiku. Etapi, kalau Aryo wassalam lah anak istrinya gimana? Waduh gak jadi bayangin yang jahat-jahat deh. Kania mau jadi mantan yang baik, wanita yang baik. Biar suaminya kelak dapat yang baik juga. Hahaha. Itu baru cerdas.
Akhirnya aku sampai di lantai atas dengan ngos-ngosan. Setelah mencoba menetralkan degup jantungku, segera kuketuk pintu ruangan Pak Manajer.
Tok. Tok. Tok.
"Permisi, Pak."
"Masuk."
Aku segera masuk dan menaruh kertas satu rim di meja Pak Andro. Mataku tiba-tiba terfokus pada sebuah benda yang aku ingat berada di meja Mbak Sekretaris cantik di lantai dua. Pak Andro yang mungkin melihat raut mukaku bertanya.
"Kenapa?"
"Bapak jahara bener, suka banget bikin Kania capek buat kesana kemari nyari mesin foto copy, ini di samping Bapak apa?" tunjukku pada printer serba guna di samping meja Pak Andro.
"Sengaja biar kamu ada kegiatan."
What? Apa dia bilang? Ck, nyebelin banget itu orang. Beneran deh besok pas aku pulang ke Banyumas, aku kayaknya kudu mampir ke Nusa Kambangan. Denger-denger di situ ada dukun sakti yang bisa bikin orang jadi kaya. Siapa tahu tuh dukun punya ilmu pelet biar tak pelet tuh Si Papan Datar.
Aku mengibaskan rambut panjangku, lalu tersenyum menyadari jika rencana di otakku sangat-sangat sempurna.
"Ngapain, kibas rambut? Rambut lepek bin ketombe juga!" sinis Pak Andro tanpa menatapku.
Aku mendelik ke arah Pak Andro. Lalu dengan menggerutu di dalam hati, aku menuju ke luar ruangan.
Sampai di depan aku tersenyum ke arah Pak Egar. Sahabat sekaligus sekretaris pribadi Pak Manajer.
"Pak, selamat siang."
"Siang Kania yang cantik. Pak Manajer ada?"
"Ada dong, Pak. Monggo." Aku menyilakan Pak Egar dengan kedua tanganku sambil tersenyum manis.
"Makasih. Duh, senyum kamu manis banget sih Nia. Saya jadi bahagia lihatnya."
"Ih Pak Egar benar-benar gombal bener dah. Pinter ngerayunya, Kania jadi tergoda."
"Tergoda apa?"
"Tergoda minta sarapannya Bapak. Pasti deh Mbak Keisha bikinin semur jengkol. Mau dong?"
"Ish, kok tahu sih? Tenang, istri saya udah bawain sendiri buat kamu."
"Ih makasih Pak."
"Egar! Kamu niat kerja apa nyari bini kedua? Cepat masuk! Gak pakai lama," teriakan dari dalam ruangan menghentikan aksi goda menggoda antara diriku dan Pak Egar. Kami lalu tersenyum penuh arti.
"Duh, kayaknya bosku perlu dikasih vitamin deh. Sensi betul dia."
"Bukan vitamin, Pak. Tapi 'kawin'."
"Hahaha." Kami tergelak bersamaan.
"Kania! Saya dengar kamu ngomong apa?" teriak dari dalam lagi.
Aku menutup mulut lalu dengan gerakan bibir pamit pada Pak Egar. Pak Egar hanya mengangguk sambil mengedip nakal.
Ah iya, jangan kalian mikir yang aneh-aneh ya? Aku sama Pak Egar itu prend, gak ada hubungan lain apalagi selingkuh. Gak mungkinlah aku nyelingkuhi Pak Egar. Dia bukan tipeku. Soalnya Pak Egar sebelas dua belas persis kayak aku dalam hal kegilaan. Bayangkan kalau dua orang gila dalam satu biduk rumah tangga, kasihan deh anak-anaknya.
Selain itu, Mbak Keisha adalah mantan OG yang baik banget sama aku. Kami dulu satu kostan. Dan dia pula yang ngasih pekerjaan ini untukku karena dia resign mau nikah sama Pak Egar.
Duh! Aku pengen jadi the next Mbak Keisha deh, siapa tahu kan jodohku Pak Bos. Enggak Pak Bos pun gak masalah. Misal sama juragan empang asal jangan suami orang apalagi suami orang yang udah jadi mantan.
Aku menuruni tangga menuju ke lantai satu, kaget aku karena di sudut tangga ada Aryo yang sedang bersedekap, menatapku penuh senyum dan jangan lupakan tatapan mesumnya. Aih, mantan lagi mantan lagi. Beneran dah perlu di gelundungin ini orang.
"Deswita!" teriakku memasang aksi terbelalak ketakutan dan juga gestur tubuh yang pas. Aryo yang hendak menaikki tangga tiba-tiba blingsatan dan salah menginjak tangga.
"Aaaaaaaa."
Bruk bruk bruk bruk gedebuk, blum.
Aku tertawa melihat Aryo dalam posisi luar biasa kesakitan di sudut tangga yang aku yakini sudah masuk ke lantai tiga. Dengan elegan aku menutuni tangga lalu membuka pintu samping.
"Dah mantan. Jangan lupa nanti diurut yak!" ucapku sinis sambil mengibas rambut panjangku. Lalu segera kubuka pintu menuju ke lantai tiga. Masa bodo dengan Aryo.
"Lah Nia, ngapain di sini?" Anastasya kaget melihatku masuk dari pintu penghubung tangga lantai tiga."
"Gak papa, habis menghindar dari mantan."
"Oooo." Anastasya mengangguk paham.
"Udah dulu ya? Mending aku balik ke lantai enam aja."
Akhirnya aku menuju lift dan segera masuk. Aku memberi senyum pada dua sosok wanita cantik yang sudah berada di dalam lift. Salah satunya aku tahu siapa dia. Jelita, mantan Pak Andro. Sedang satunya aku tak tahu.
Keheningan menyelimuti kami bertiga. Aku bersyukur pintu lift terbuka, itu berarti kami sudah sampai di lantai enam.
Kedua wanita itu lebih dulu keluar, sementara aku memilih belakangan.
"Mas Andro!" Salah satu wanita yang kutahu bukan Jelita berteriak memanggil Pak Andro dan langsung berlari ke arahnya. Pak Andro refleks berbalik lalu tersenyum manis. Si wanita memeluk Pak Andro sedang beliau memeluk balik.
Aih, ada sesuatu yang menghimpit dadaku. Kok aku gak rela ya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro