10. Cari Pacar Baru
"Udah pulang?"
"Udah, Mas Andro jahat ih! Gak jemput Ara."
"Ya, maaf. Masuk yuk."
"Oke deh."
Pak Andro dan wanita yang dipanggil Ara masuk ke dalam ruangan Pak Andro sambil bergandengan tangan. Sementara Mbak Jelita mengekori di belakangnya.
Bruk!
"Aduh!"
Refleks aku menutup mulutku, takut suara tawaku yang macam kuntilanak sampai keluar dari persembunyiannya. Gawat, gak enak aku sama Mbak Jelita.
"Andro! Ara! Dasar kalian."
Dengan umpatan-umpatan yang bertema para penghuni Ragunan, Mbak Jelita memasuki ruangan Pak Andro. Seperti waktu itu, aku hanya bisa shock mendengar umpatan yang keluar dari mulut Mbak Jelita, bahkan sampai melongo dalam waktu yang lama.
Begitu sadar, aku memilih menuju pantry lantai enam yang ukurannya mini. Sampai di sana aku menjatuhkan bokongku secara kasar. Ada rasa sebal pada lelaki bernama Andromeda itu.
"Ish nyebelin banget sumpah. Katanya cowok susah jatuh cinta. Setia. Lah ini malah udah punya gandengan baru? Mana cantik glowing kayak Mbak Jelita lagi. Ah, Kania gak terima. Masa Kania yang cetar membahana seantero dunia maya kalah sama Papan Datar. Gak bisa dibiarin ini, kalau Pak Andro udah punya gandengan, Kania juga kudu punya gandengan. Masa putus hampir bersamaan, aku harus kalah dari Pak Andro yang udah punya gebetan."
Yah, akhirnya aku memutuskan mau nyari gebetan agar gak kalah saing sama Pak Andro. Idih! Dia aja bisa kenapa Kania enggak? Bisalah. Aku pun mengibaskan rambut panjangku yang saat ini sudah wangi karena tadi pagi keramas. Alhamdulilah udah gajian kemarin jadi bisa beli shampoo.
Suara telepon di pantry berbunyi. Aku segera berdiri dan menuju ke tempat telepon lalu mengangkatnya.
"Assa—"
"Bawa minuman ke ruangan saya!" titah seseorang di seberang sana tanpa salam tanpa pembukaan.
"Ckckck. Dasar Papan Datar."
Akhirnya aku membuatkan tiga minuman, dua cangkir teh manis dan satu cangkir kopi. Tak lupa beberapa camilan. Siapa tahu, Mbak Jelita atau pacar baru Pak Andro mau ngemil.
Segera saja kubawa minuman pesenan Pak Andro menuju ruangannya.
Tok. Tok. Tok.
"Masuk!"
"Permisi, Pak."
Aku segera menghidangkan minuman dan camilan di meja yang dilingkari oleh satu sofa panjang dan tiga sofa tunggal di kiri kanan dan seberang sofa panjang. Kulirik sepintas Mbak Jelita duduk di sofa panjang sementara Pak Andro malah duduk di sofa tunggal dengan Mbak Ara yang duduk di lengan sofanya dan bergelayut manja.
"Saya permisi Pak."
"Hem."
Aku segera keluar dari ruangan Pak Andro. Melihat bagaimana Mbak Ara terlihat begitu manja dan Pak Andro tampak menikmati, hal ini membuat dadaku semakin ingin meledak.
"Sumpah. Aku cemburu sama Pak Andro, gak bisa dibiarin ini. Beneran aku kudu segera cari pengganti Aryo biar statusku di lantai enam ini bukan satu-satunya jomblo. Tapi ... aku nyari dimana?"
Aku berpikir keras mencari strategi agar bisa segera punya tambatan hati lagi. Tiba-tiba sebuah ide melintas dalam otak cerdikku. Selanjutnya aku senyum-senyum sendiri.
***
"Makasih ya Nia, udah mau jalan sama aku."
Aku hanya mengulas senyum manis. Ya setelah kupikir-pikir, kenapa tidak membuka hati saja buat Mas Andi? Dia baik, statusnya sudah karyawan. Gaji lumayan, tampang juga sebelas dua belas kayak Aryo dan paling penting jomblo.
Kami jalan-jalan dengan mengelilingi salah satu mall terbesar di Jakarta. Sesekali mengobrol sambil melihat-lihat deretan baju atau sepatu.
"Kamu mau beli apa?"
"Aku gak mau beli apa-apa, Mas."
"Beli aja aku yang bayarin kok. Tapi jangan mahal-mahal ya?" Mas Andi memasang wajah memelas sementara aku hanya tertawa.
"Ih, Mas Andi ini. Diajak jalan muter-muter aja Kania udah seneng kok."
"Alhamdulillah. Ternyata bener ya kata Shelomita. Kamu tuh orangnya gak matre. Kasihan ya sih Aryo, buang batu akik yang antik malah dapat ular bersisik.
"Batu akik?"
"Hooh, antik dan bikin jantung kebit-kebit."
"Ish. Mas Andi tukang gombal juga."
Aku tertawa pun dengan Mas Andi. Cukup lama kami mengelilingi mall. Mampir dari satu gerai ke gerai yang lain.
"Capek gak?"
"Capek, Mas."
"Ya udah, makan yuk."
Aku mengangguk. Kami menaiki eskalator menuju ke lantai tiga. Kebetulan di sana ada area foodcourt yang luas dengan menu pilihan yang beragam.
"Mau makan apa?"
"Nasi padang aja ya Mas."
"Gak pengen Korea-Koreaan apa Arab-Araban gitu?"
Mas Andi menunjuk ke salah satu stand makanan Korea dan Kebab.
"Gak, Mas. Lidah Kania gak cocok, cocoknya makanan Indonesia yang penuh bumbu dan pedas."
"Oke deh."
Kami pun menuju ke stand nasi padang. Sengaja aku memilih rendang dan perkedel dua biji. Sementara Mas Andi memilih lauk ikan kakap dan perkedel tiga biji.
"Minumnya?"
"Es teh."
"Oke."
Selesai mengambil makanan dan membayarnya. Kami duduk di salah satu meja yang tak berpenghuni. Selama makan, sesekali kami mengobrol.
"Kania."
Aku menoleh lalu menjerit senang.
"Mbak Kei."
Kami berdua berpelukan ala telletubis lalu bercipika-cipiki.
"Malam Pak Egar, Hai Dedek Egi ganteng."
Aku bersalaman dengan Pak Egar kemudian beralih ke arah si kecil Egi yang sedang berada di strollernya. Egi anak Mbak Keisha dan Pak Egar yang baru berusia enam bulan. Bayi itu tertawa-tawa saat melihatku.
"Utututu, lucunya keponakan Bibi."
"Kamu ngedate sama Andi, Nia?"
"Eh!"
Perhatianku yang sejak tadi tercurah pada si lucu Egi akhirnya teralihkan.
"Iya ini, Pak."
"Wow, kalian mau pacaran?"
"Doain aja ya Pak, biar Kania sama saya berjodoh, ya kan Kania." Kini Mas Andi yang berkata dengan lantang dan penuh senyuman.
"Am—" ucapanku terhenti karena suara seseorang.
"Egar!"
"Loh Dro, kamu ke sini juga?"
"Hem."
Pak Andro datang dengan tampilan simple namun tetap tampan.
"Kalian janjian?"
"Enggak. Cuma tadi ketemu Kania yang lagi jalan sama Andi."
Pak Andro langsung menatapku tajam pun dengan Andi. Membuat kami berdua kikuk seperti remaja yang baru saja terciduk karena melakukan kesalahan.
"Pak."
"Malam Pak."
Baik aku dan Mas Andi mencoba menyapa Pak Andro ramah. Namun respon Pak Andro hanya mengangguk sepintas lalu fokus pada si baby Egi.
"Ya udah, Pak Egar, Pak Andro dan Mba Keisha. Kami permisi mau lanjutin makan dulu. Kasihan rendang sama perkedelnya ngeliatain kita mulu."
"Oh iya, lanjut makan aja. Mas, kita bareng Kania aja ya? Lagian aku kangen ngobrol sama dia."
"Oke. Kamu gimana Andro? Mau bareng kita apa mbalik ke yayangmu si Adhara lagi?" Terlihat ada tatapan geli dalam mata Pak Egar.
"Aku ikut kalian aja. Ara bakalan lama, lagian nanti dia bisa telepon aku kalau butuh."
"Butuh duitmu, 'kan?" Lalu Pak Egar tertawa sementara Pak Andro cuek malah sibuk menoel-noel pipi Egi.
Akhirnya, kami menyatukan dua meja. Aku duduk bersama Mbak Keisha dan baby Egi. Sementara di seberang meja ada Pak Andro, Pak Egar dan Andi. Posisiku persis di depan Pak Andro.
"Mau makan lagi gak, Nia?"
"Gak usah Mbak. Ini punyaku aja belum habis."
"Ya udah. Aku pesenin es campur kesukaanmu aja ya? Mas Andi mau apa?" tawar Mbak Keisha.
"Waduh ngerepotin, Bu."
"Eh, jangan panggil ibu, kayak biasa ajalah Mas."
"Hehehe, saya sungkan Bu."
"Gak usah sungkan. Mas Andi mau pesan apa?"
"Sama kayak Nia aja, Bu."
"Oke. Mas Egar jus alpukat seperti biasa, 'kan?"
"Iyes."
"Pak Andro?"
"Sama seperti Kania."
"Oke. Makannya nasi padang ini?"
"Iya."
"Oke deh."
Akhirnya kuhabiskan malam sabtu dengan jalan bareng dengan Andi dan berakhir dengan pertemuan penuh kebahagiaan bersama keluarganya Mbak Keisha plus Pak Andro. Tapi ada yang aneh dengan Pak Andro. Beberapa kali dia seperti melirikku. Aku yang sudah paham arti tatapannya akhirnya mengambil ponsel untuk ngaca. Takut ada butir nasi, ataupun butiran-butiran yang lain.
Woha! Lemes rasanya. Kan kan kan. Dugaanku benar. Dengan sedikit kasar aku mengelap area bibirku yang terdapat bekas kuah es campur. Kulirik dengan sebal lelaki di depanku yang cuma menaikkan satu alisnya plus ada senyum mengejek di bibirnya. Dasar!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro