-Tiga Belas-
Multimedia :
Mamoru Miyano - Moonlight
————————————————————
"Nakahara-san! Nakahara-san!"
Langkah ceria Dazai terhenti begitu mendengar suara lembut memanggil satu nama orang yang begitu dibencinya, Nakahara Chuuya.
Sejak tiga tahun lalu mereka diharuskan bekerja sama oleh Mori Ougai, kesan menyebalkan Chuuya tidak pernah hilang.
Dazai melangkah beberapa langkah ke depan, berhenti di depan pintu lantas mendorongnya sedikit kala pintu itu tak tertutup rapat.
Mulutnya sedikit terbuka, matanya membulat dengan siratan kejutan yang begitu memukul dadanya.
Gadis itu... [Name]... tengah merengkuh tubuh Chuuya, partnernya.
"Tidak apa. Semuanya sudah tidak ada lagi."
Dazai terus menatapnya. Entah kenapa pandangannya tidak bisa berpaling. Tidak ingin melihatnya, tapi harus terlintas di depannya.
Chuuya mengangkat tangannya, menelusuri punggung gadis itu dan balas merengkuhnya. Kepala pria itu semakin terbenam dalam bahu [Name].
"Sekarang... hanya ada dirimu yang baru. Kau harus membuat cerita barumu sendiri."
Ucapan [Name] ditelinga Dazai semakin lama semakin menghilang. Seolah dirinya tenggalam dalam lautan dalam.
Dazai melepaskan sentuhannya dari knop pintu, lantas semakin menjauhi ruangan Chuuya dengan langkah pelan.
🔫🔫🔫
"Kami sudah membawa orang-orang itu ke penjara bawah tanah. Apa lagi yang Anda butuhkan?"
Dazai bertopang kepala dengan sikutnya yang ia letakkan di atas sisi kursi. Pandangannya entah kemana, seperti sedang... melamun.
"Dazai-dono...," Hirotsu, veteran mafia itu, kembali menyahuti.
Dazai memutar bola matanya, sorotnya begitu menyeramkan sampai membuat Hirotsu refleks menahan nafasnya.
"Apa Anda kurang puas dengan hasil ini?" Hirotsu kembali angkat bicara. Berharap atasannya yang satu ini mengatakan sesuatu.
Pasalnya beberapa waktu lalu, dia baru saja membohongi Dazai dengan menyembunyikan fakta kalau anak buahnya mengkonsumsi obat-obatan dan hanya menghukum mereka dengan mengambil kembali persenjataan mereka.
Bagi Dazai, hanya mengambil kembali persenjataan mereka tidaklah cukup, seharusnya Hirotsu menyingkirkan anak buah itu bukan malah melindunginya.
Seandainya perasaan Dazai saat itu tengah sangat buruk-buruknya, dia bisa saja mengurus Hirotsu saat itu juga.
"Tidak ada." Dazai menghela pelan. "Tadi memang kegagalan karena pada akhirnya mereka malah menggagalkan aksi bunuh diriku. Kalau saja mereka melakukannya, mungkin saja...."
Dazai menghentikan ucapannya, bola matanya menggerling entah kemana lagi. Dia kembali melihat bayangan itu.
Bayangan ketika [Name] merengkuh tubuh Chuuya.
"Ya?"
Dazai kembali melihat ke arah Hirotsu lalu mendengus dan tersenyum miring. "Tidak ada." Dazai langsung kembali. Senyum ceria semangat ia berikan. "Kau bisa kembali, Hirotsu-san."
Hirotsu menarik nafas dalam lalu menunduk hormat pada Dazai dan mengangkat tangan ke dada, wujud penghormatan tertingi.
Ya, seandainya misi hari ini bisa membuat Dazai terbunuh, dia mungkin lebih bersyukur karena tidak akan melihat pemandangan itu.
Ah, Dazai frustasi sendiri! Ada apa dengannya?!
🔫🔫🔫
"... mengecewakan sekali." Dazai menggaruk kepalanya kasar, wajahnya terlipat. "Aku tidak berhasil mati lagi."
Padahal baru saja dia mengatakan itu saat berakting untuk mengulur waktu, bermaksud membuat tangan orang dari Mimic yang menodongkan senjata padanya kelelahan.
Namun alhasil, karena akting sempurnanya itu, Odasaku malah mengeluarkan tembakan. Keluar dari prinsipnya.
Walaupun tembakan orang itu meleset, tapi tetap menyayat tipis kulit Dazai. Itu alasan kenapa perban yang menutupinya tampak memerah karena darah.
Luka baru, tentunya seharga dengan yang dilakukannya.
"Dazai-san."
Dazai memutar tubuhnya. Menatap [Name] dengan raut wajahnya... yang sedikit berbeda.
"Ada apa?" Dazai menyahut, datar.
[Name] sedikit memiringkan kepalanya, tampak bingung. Dazai terkesiap dengan reaksi itu.
"Aku sudah membuat laporan yang kau minta baru-baru ini, juga sudah kukirim lengkap hasil misimu hari ini pada Bos."
"Oh."
Dazai mengalihkan pandangannya, membuang wajah. Menyadari ada yang aneh di balik rambut Dazai, [Name] menyibaknya pelan.
Melihat itu, Dazai refleks menepis tangan [Name] walaupun pelan. "Aku... tidak apa-apa," ujarnya.
"Jangan katakan itu, Dazai-san."
Dazai kembali memutar bola matanya. Matanya membulat sempurna tatkala eksistensinya melihat [Name] begitu geram, marah.
Gadis itu tampak tak suka, dilihat dari kerutan di dahinya. Tatapannya seperti dingin, kesal dan tak suka akan sesuatu.
"Jangan katakan kalau kau tidak apa-apa."
Dazai membuang wajahnya ke lain arah. "Hanya luka baru karena penembakan tadi. Kau tidak perlu khawatir." Dazai memutar tubuhnya dan melangkah.
Belum jauh dia melangkah, sebuah tangan menarik paksa dirinya hingga tubuhnya berputar sempurna ke belakang dan sebuah tamparan kuat langsung menyambut pipi kirinya.
Mata pria itu kembali membulat, terkejut. Dazai menatap lurus [Name] yang memberikan tatapan semakin tidak suka melihatnya. Lebih dari yang sebelumnya.
"Kau kira aku tidak tahu apa yang kau lakukan hari ini." [Name] berdecih sebal. Dazai terkejut, gadis ini tampak berbeda. Kenapa?! "Melakukan akting bodoh itu dengan memancing musuh agar menembak kepalamu langsung? Kau benar-benar gila, Dazai-san."
Dazai tak membuka suara, hanya diam saja. [Name] tetiba menarik paksa tangan Dazai, menggenggamnya kuat dan membawanya entah kemana.
Sementara Dazai... hanya menuruti seperti anjing yang dikekang tuannya di leher.
🔫🔫🔫
[Name] melepas perban pada kepala Dazai perlahan. Membersihkan luka itu dan memberikannya neosporin.
Sesekali Dazai meringis sambil menjauhi tangan kecil gadis itu. "Ah—! Sakit."
"Maaf."
Dazai memang tidak menatap [Name], hanya mengedarkan pandangannya entah kemana.
Namun matanya terus menatap tangan gadis itu yang bersentuhan dengannya. Walaupun terasa singkat, entah kenapa dia merasa tidak ingin melepasnya.
Bahkan ia sempat refleks ingin meraih kembali tangan itu, tapi buru-buru dia menyadarinya dan menarik tangannya kembali.
Dazai malah menatap telapaknya yang sempat digenggam gadis itu. Dia ingat dengan baik bagaimana sensasinya.
Begitu kecil, rapuh tapi kuat menggenggamnya, juga terasa... hangat.
"Ne... Dazai-san," [Name] membuka percakapan setelah keheningan yang lama. "Kenapa kau bertingkah seperti ini?"
"Bertingkah seperti apa?"
"Hirotsu-san bilang kalau kau belakangan ini suka melamun. Ada apa?"
[Name] membuang kapas dengan obat yang baru saja dia pakaikan pada Dazai, lantas mengambil perban dan menatap Dazai yang masih tak menatapnya.
Dazai terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab, "tidak ada."
[Name] menghela pelan. Belum lama dia mendengar ucapan sejenis itu, lalu sekarang dia harus mendengarnya lagi.
Gadis itu berdiri lantas membalutkannya pada kepala Dazai perlahan. "Ada yang mengganggumu lagi?" ujar gadis itu kembali.
"Tidak ada. Lagi juga siapa yang berani menggangguku?"
"Soal itu, mungkin... Nakahara-san."
Tepat! Memang Chuuya yang mengganggunya. Sebenarnya [Name] ini sejenis peramal, esper atau apa?
"Hmm...," Dazai menggeram pelan sebagai jawaban.
"Dia melakukan apa?" Tangan [Name] masih aktif bergerak, membalut luka pada pelipis Dazai.
Hening sesaat.
Begitu [Name] selesai, dia duduk kembali dihadapan Dazai lantas menatapnya lurus.
Dazai akhirnya meliriknya dan menghela nafas pelan. "Kenapa kau ingin tahu?" tanya Dazai akhirnya.
"Karena aku ingin tahu."
Dazai menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, memikirkan hal lain sekaligus bingung ingin membalas apa.
[Name] kembali mengambil bola kapas itu dengan pinset anatomis dan mencelupkannya pada krim neosporin lalu membalurkannya pada pipi kiri Dazai.
Ketika cukup lama berpikir, bayangan yang keluar hanya bayangan itu lagi. Ya, ketika Chuuya balas merengkuh tubuh gadis di depannya ini, [Name].
"Si Siput itu melakukan sesuatu yang membuaku kesal," jawabnya akhirnya.
[Name] tersenyum kaku. Sepertinya pertanyaannya tidak juga terjawab, ya?
[Name] meletakkan perban pada pipi Dazai lalu memplesternya dan memberikan pelindung luar.
Selesai dengan itu, [Name] membereskan peralatan pada kotak P3K milik ruang kesehatan dan mengembalikannya.
Dazai masih diam, tak bergerak sedikit pun bahkan hanya untuk menyampirkan jasnya.
Melihat itu, [Name] menghela nafas pelan dan mendekati pria itu, meraih jasnya dan menyampirkannya padanya. [Name] kembali duduk di hadapan Dazai dan menatapnya lurus.
"Dazai-san," panggilnya. Dazai mengangkat kepalanya, menatap lurus gadis itu. "Jika kau lelah, tidak ada salahnya melepaskan beban yang ada di pundakmu untuk sementara."
Dazai ingin. Apa tidak apa mengatakannya kalau sebetulnya dia tidak suka melihat gadis ini melakukan hal itu pada Chuuya?
Apa tidak masalah? Tidak apa, 'kan?
Sebelum [Name] keluar dari ruangan itu, Dazai berdiri cepat dan langsung menahan sebelah tangan gadis itu. Jasnya terjatuh dari punggungnya.
[Name] memutar lehernya ke belakang ketika Dazai menundukkan kepalanya.
"Aku tidak suka," kata Dazai.
"Eh?"
"Aku tidak suka... kalau kau memeluk Chuuya seperti itu. Aku tidak suka."
Hening. Dazai mengangkat kepalanya, menatap lurus [Name] yang menatapnya datar.
"Kenapa kau menatapku seperti itu!?" Dazai tampak risih, tidak suka.
"Aku tidak menyangka reaksi itu," ujar gadis itu. "Jadi karena itu? Aku tidak tahu kalau kau melihatnya."
Dazai berdecih. Ada apa dengan reaksi [Name]? Kenapa dia begitu santai seolah itu bukan masalah? Seakan mereka sudah biasa melakukannya?!
Dazai malah jadi tambah kesal sendiri!
"Maaf, Dazai-san." [Name] tersenyum kaku. "Aku tidak akan melakukan itu kalau tidak ada alasannya."
"Alasan apa?"
"Kau partnernya, 'kan? Pasti lebih mengerti dari diriku."
Walaupun dikatakan begitu, Dazai sekarang tengah tidak bisa berpikir jernih.
Bahkan hanya untuk memikirkan hal sesederhana itu.
🔜 To Be Continued 🔜
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro