-Dua Puluh Enam-
"Apa itu benar!?"
Dazai menarik paksa kerah Chuuya, sementara laki-laki yang dimaksud hanya membuang wajahnya.
"Chuuya, katakan padaku!!!"
Chuuya terdiam. Ia tetap tidak membuka mulutnya. Bagaimana pun, Dazai tidak boleh benar-benar mengetahui hal itu.
Walaupun begitu, dia paling tidak bisa menyembunyikan apa pun dari partnernya ini.
"Bukankah kau bilang kau sudah berjanji untuk melindunginya?" kata Dazai, menyudutkan Chuuya. "Bukankah kau bilang dia seperti anak-anak itu, Chuuya!??"
"Lalu apa yang bisa kulakukan, hah!?" Chuuya balas berteriak. Dazai refleks melepaskan jeratannya dari Chuuya. "Seandainya kau tidak menyembunyikan hal itu, mungkin aku...."
"mungkin kau apa!?" Dazai menyela lebih tajam, suaranya terdengar dalam. "Kau sudah tahu bukan kalau dia ada disisi yang berlawanan denganmu, lalu apa kau masih akan tetap melindunginya?"
"Dazai... maaf. Aku tidak bisa membantunya, tapi setidaknya saat dia kembali dan benar-benar diresmikan kembali menjadi anggota—"
"Apa kau yakin akan jadi seperti itu?" Dazai menyela Chuuya, pemuda itu meraih jas hitam yang ia dapat dari Mori Ougai lalu menyampirkannya.
Dazai sudah tidak peduli lagi dengan penampilannya sekarang, entah kini kemejanya tampak berantakan atau dasi hitamnya bahkan rompinya yang seperti apa.
Kalau [Name] melihat keadaannya sekarang, gadis itu pasti akan memarahinya habis-habisan dan tak membiarkan Dazai keluar dari ruangannya untuk bertugas sebelum dirinya menjadi serapih mungkin.
"Apa maksudmu?"
Dazai memutar tubuhnya, menatap Chuuya lurus lalu berkata, "apa kau tahu arti dari ucapan Mori-san?"
Chuuya tak mengerti. "Apa maksudmu? Dia hanya memberikan uji coba tahap dua untuknya saja, apa yang salah?"
"Ujian seperti itu tidak pernah ada Chuuya."
"Jangan bilang—!?"
"Kalau [Name] berhasil melewatinya, mungkin Mori-— akan sungguh berubah pikiran, tapi dia bukan pemilik kemampuan."
Dazai keluar dari pintu ruangannya lalu disusul Chuuya di belakangnya. Dazai melangkah gusar sementara Chuuya berusaha menyamai langkahnya dengan laki-laki itu sambil berlari. Saat tangan Chuuya akhirnya mencapai Dazai, dia menarik Dazai hingga laki-laki itu tertarik ke belakang dan menatapnya lurus.
"Hentikan ini, Dazai!"
"Kau tidak mengerti, Chuuya." Dazai memberikan tatapan serius. "Kau tidak akan mengerti. Apa kau tidak berpikir kenapa hingga saat ini Port Mafia dalam keadaan baik-baik saja?"
Chuuya terdiam kembali. Benar yang dikatakan Dazai, Chuuya tidak mengerti apa pun.
"Aku ini bodoh seperti yang kau katakan, Dazai. Aku tidak akan mengerti jika kau tidak mengatakannya ...!"
Dazai mendesah berat, ia menggaruk kepalanya frustasi. "Karena [Name]-chan menyembunyikan rahasia Port Mafia. Kalau dia memberikan rahasia itu, semua eksekutif—termasuk kau dan aku—akan dieksekusi mati."
"!?"
"Iya, dia tidak memberikan rahasia itu karena dia tidak ingin mengambil risiko itu." Suara Dazai terdengar berat menjelaskannya. "Karena dia tidak ingin kita berdua mati."
"Chuuya...."
"Anee... san?"
"Yang dilakukan Mori sama seperti yang Bos Lama lakukan padaku. Namun seandainya [Name]-chan berhasil, seperti yang Dazai katakan... Mori pasti akan berikan kesempatan itu."
Chuuya melepas topinya, menggaruk kepalanya dengan kasar lalu menyisirnya dengan gerakan dari depan ke belakang.
"Apa kau mengerti sekarang? Dia berusaha menyelamatkan aku—dan kau—dari kegelapan."
🔫🔫🔫
[Name] melirik arloji hitam yang melingkari pergelangan tangannya, usainya dia melihat ke arah samping. Seperti dugaannya, tempat ini memang sangat sepi seolah tak berpenghuni. Namun bagaimana pun juga, dia harus berhati-hati.
Ketika [Name] hendak melangkahkan kakinya, indra pendengarannya dengan tajam menangkap sebuah langkah yang tak jauh di belakangnya. Gadis itu segera berbalik kembali dan melemparkan satu tembakan hingga suara rintisan kematian terdengar di sana.
[Name] bernafas berat, ini memang pekerjaan dengan tingkat tekanan yang tinggi. Walaupun sering melihat kematian di depannya bahkan pembunuhan yang entah dilakukan Dazai atau para kacung-kacung mafianya, tetap saja kalau dititah untuk membunuh dia belum terbiasa.
Nafasnya menderu berat, keringat dingin meluncur dari pelipisnya dan tangannya bergetar. [Name] menghela pelan, menguatkan pegangan pada pistolnya dan kembali dalam posisi siaga.
"Aku harus cepat."
🔫🔫🔫
"Apa kau masih tak menyadarinya?" Chuuya terdiam, ia memilih fokus pada jalan di depannya ketimbang mendengarkan suara Dazai. "... kalau [Name] dalam keadaan yang kurang baik?"
Walaupun begitu, mana mungkin laki-laki itu tidak mendengarnya? Bagaimana mungkin ia tak bisa untuk tidak mendengarnya?
"Bisa kau hentikan omong kosong ini, Dazai?" akhirnya Chuuya bersuara setelah sekian lama.
Dazai yang duduk di sampingnya hanya menatap ke luar jendela di sampingnya, pandangannya menerawang mentari yang tenggelam di sana.
"Apa kau ingat ketika aku tidak sengaja menarik tangannya karena dia tidak ingin pergi?" Dazai mengabaikan, ia tetap mengeluarkan suaranya. "Apa kau tidak mendengar suara rintisan kecilnya? Dia menahan luka-luka itu."
"HENTIKAN ITU, DAZAI!!!" Chuuya berteriak, tangannya dengan kuat menggenggam setir mobil pada genggamannya.
Dia menggigit bibir bawahnya, mengeraskan rahangnya dan menundukkan wajahnya.
Setidaknya Dazai tahu dia juga begitu terpukul, begitu merasa bersalah karena tak mengetahui apa pun soal gadis itu.
Padahal Chuuya sendiri yang berkoar-koar akan melindungi gadis itu, padahal dia sendiri yang mengatakan kalau [Name] satu-satunya dari sisa Anak Domba yang ingin ia lindungi. Namun kenapa kini ia melepaskannya begitu saja? Dasar bodoh! Pembual!
🔫🔫🔫
Tanpa suara, [Name] mendekati pintu yang terkoyak di depannya tapi masih terpasang sempurna di sana. Saat tangannya ingin membuka pintu terkait, tetiba saja seseorang menembaknya dari kejauhan lalu tembakan lain menyusulnya.
Bahu dan pipinya tergores, kembali membuka luka yang sama di sekujur tubuhnya. Gadis itu berguling ke belakang, mengambil jarak aman lalu bersembunyi di antara pohon besar. Dia bersandar pada pohon itu, menyentuh bahunya yang mulai dirasa menghangat tatkala darah mulai membasahinya.
[Name] mengeluarkan sapu tangannya dan mengikatnya di bahu, menghentikan luka gores yang cukup dalam itu. Lalu tangannya kembali mengeluarkan satu benda yang biasa para gadis selalu bawa, sebuah cermin. Didekatkannya cermin itu pada pohon di belakangnya, lantas digunakannya untuk melibat posisi seseorang pada bangunan di sana.
Ketika sebuah cahaya memantul di sana, [Name] memposisikan moncong pistolnya ke arah orang terkait dan menembaknya.
Tepat sasaran! Orang itu jatuh dengan kepala yang langsung membentur tanah.
🔫🔫🔫
"Di mana posisinya?"
"Aku sedang mencarinya." Dazai mencoba membuka sesuatu pada layar ponselnya, mencari keberadaan gadis itu melalui GPS yang biasa Port Mafia gunakan.
"Sialan!" Dazai mengumpat, lantas berdecil kesal dan melempar ponselnya dengan kuat ke bawah kakinya.
Mori Ougai sudah menghilangkan posisi gadis itu dengan sengaja. Entah memblokirnya dari server Port Mafia atau membuatnya menjadi hanya Morilah satu-satunya yang bisa menemui keberadaan [Name].
Dazai menggigit bibir, berpikir cepat. Seandainya keadaannya tidak serunyam ini, dia sudah pasti bisa berpikir tenang.
Apa yang harus kulakukan? Kemana kau, [Name]-chan?
Sudah dihubungi berkali-kali, tapi tak ada jawaban. Saat melacaknya pun, datanya menunjukkan hasil tak diketahui seolah ada tembok tinggi yang besar dan tebal menutupi keberadaan gadis itu.
Dazai kembali berpikir, setidaknya pasti ada satu cara. Tapi apa?
Dimana kau, [Name]-chan!?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro