Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Third Reasons

Bunga Hortensia.

Bunga yang kutahu memiliki racun glukosida sianogenik pada setiap bagiannya. Bahkan aku sendiri membuat racun dari bunga ini dan menyimpannya diam-diam.

Walaupun begitu, daun dan akar pada bunga ini tetap bisa dimanfaatkan sebagai tanaman obat selama diolah dengan baik.

Namun, kesampingkan hal itu sekarang. Tentunya aku tidak akan menjelaskan tentang bunga ini lebih lagi.

Hari ini, hari ke tiga. Tepatnya tanggal 3 Februari, sebuah bunga hortensia berwarna violet lengkap dengan potnya mendarat dengan baik di atas mejaku dengan secarik surat di sampingnya.

Tentunya, tanpa nama.

Aku masih penasaran dan tetap belum mendapatkan petunjuk sama sekali siapa sebenarnya pengirim bunga dan surat ini.

Ingin tahu? Sangat. Toh, aku sendiri super duper orang yang paling penasaran apalagi menyangkut sesuatu yang mistis dan misterius.

Tanpa pikir panjang, seolah hal ini sudah biasa kulakukan, kubuka amplop bernuansa baby violet dengan garis emas di pinggirnya.

Karena dirimu, aku bisa memahami seseorang lebih mendalam. Aku sangat bersyukur bisa mengenalmu

Memangnya apa yang sudah kulakukan? Membuat dia memahami seseorang? Apa maksudnya?

Memangnya apa yang pernah kuungkapkan sampai-sampai orang ini berpikir kalau aku membuatnya bisa memahami orang lain?

Kenapa ini semakin aneh?

Namun, berkebalikan dengan pikiran runyamku. Aku justru tersenyum semangat tentang misteri ini.

"Bunga lagi?" Kali ini, pertanyaan ini dilontarkan bukan oleh Rika-chan, melainkan Akashi-san yang baru saja menyelesaikan buku bacaannya.

Aku mengangguk. "Akashi-san, menurutmu aku pernah mengatakan apa?"

"Mengatakan apa maksudmu?

"Sesuatu... mungkin seperti ucapanku yang menggugah seseorang, begitu?"

Akashi-san berpikir seraya mengalihkan pandangannya dariku. "Aku tidak tahu."

Ya, wajar memang. Toh, wanita bisa berbicara sampai 20. 000 kata per-hari sementara pria hanya 7000 kata.

Tidak mungkin Akashi-san bisa mengingat semua ucapanku. Kalau pun bisa, aku berharap dia tidak ingat dengan ucapan-ucapan konyolku.

"Ohayou, [Name]-chan," sapa Rika-chan. Perempuan itu melirik ke arah pot bunga hortensia di depanku. "Masih ada lagi?"

Aku tertawa kecil sementara Rika-chan duduk di depanku dan memutar tubuhnya ke belakang.

"Kau masih belum mendapatkan petunjuknya?" Aku menggeleng. "Sepertinya sulit, ya? Bunganya selalu berbeda warna begitu pula dengan amplopnya."

Aku merucutkan bibirku. "Seandainya satu warna, mungkin aku masih bisa menebak-nebaknya."

"Siapa saja yang sudah tahu soal ini?"

"Tidak banyak dan aku tidak terlalu menyembunyikan soal ini." Rika-chan mengangguk-angguk kecil.

Perempuan itu menoleh ke arah Akashi-san yang sudah mengganti buku bacaannya dengan yang baru.

"Akashi-san, tidak bisakah kau berikan sedikit petunjuk?" tanya Rika-chan langsung.

Tanpa menoleh, Akashi-san membalas, "apa maksudmu?"

"Tentang bunga yang ada di atas meja [Name]-chan. Memangnya kau benar-benar tidak tahu apa pun?"

Akashi menutup bukunya dan melirik ke arah Rika-chan dingin. "Seandainya aku tahu, aku tidak akan memberitahunya. Pasti kau sudah mengerti dengan perjanjian itu, bukan?"

Rika-chan mengembungkan pipinya sebal. "Dinginnya," ucap perempuan itu, sementara aku tertawa kaku.

Tidak mungkin aku tidak tahu perjanjian itu. Ya, anggota OSIS memang memiliki loyalitas yang tinggi dengan klien mereka. Kuakui itu.

🌹

"[Name]chi, kau menyukai bunga apa?"

Aku mendongak. "Eh?"

Kise-kun baru saja menanyakan bunga kesukaanku? Apa aku tidak salah dengar? Atau, baru saja aku berkhayal?

"Iya, apa bunga yang kau suka-ssu ka?"

Oh, aku tidak berkhayal dan memang tidak salah mendengar. "Etto... karangan bunga sederhana. Mungkin buket kecil bernuansa tumblr."

Kise-kun hanya ber-oh-ria. Sementara perempuan di sampingku sudah menyikut-nyikutku pelan sambil menahan tawanya.

Mungkin lain kali, aku harus membawa tali untuk mengikat tangannya Momoi-chan.

Tidak ingin terlihat terlalu gugup karena Kise-kun baru saja menanyakan soal hal itu, aku kembali pada kegiatan menghabiskan bentoku.

Mungkin aku tidak akan terlalu memikirkan tentang bunga dan surat yang dikirim padaku dulu.

Memikirkan tentang coklat seperti apa yang akan kuberikan pada Kiseki no Sedai, itu pilihan terbaik.

Ngomong-ngomong, aku sendiri masih belum tahu coklat seperti apa yang sebaiknya akan kuberikan.

Aku memang tidak terlalu bisa memasak, tapi kalau membuat kue bolu sederhana untuk acara ulang tahun dan coklat, aku masih bisa.

Toh, Mama pernah mengajarkanku membuatnya sebagai kejutan ulang tahun untuk Papa.

"[Name]-chan," panggil Momoi-chan. "Kau sudah tahu konsep coklatmu akan seperti apa?"

Aku menghentikan kegiatanku sebentar dan menggidikkan bahu. "Aku juga baru memikirkan konsepnya."

"Ne, ne, ne, [Name]-chan!" Momoi-chan menggamit lenganku dan menggoyangkannya sedikit. "Aku boleh minta tolong, ya? Kumohon!"

Aku mengerjap, bingung. "Memangnya ada apa?"

"Itu...." Momoi-chan tersenyum. Senyum yang mengartikan banyak hal dan aku tahu apa arti senyuman ini. Pasti.... "bantu aku membuat coklat, ya?"

Sudah kuduga. Benar 'kan kalau Momoi-chan memang ada maunya.

Aku menghela singkat dan membalas, "baiklah."

Ya, kebetulan juga kalau besok hari Sabtu, jadi aku bisa mulai berbelanja keperluan.

Batangan coklat, buah-buahan, rice crispy, bahkan kemasan yang akan kugunakan.

Mugkin, aku akan buat yang sederhana saja selama rasanya tidak terlalu buruk.

🌹

Pelajaran ongaku. Kali ini sedikit berbeda. Karena jadwal ongaku kelasku dan kelas sebelah bentrok, alhasil ruang musik yang luas ini jadi sedikit sempit.

Walaupun begitu, aku tetap bisa menyimak materi yang diberikan Yamada-sensei yang sekaligus pembimbing klub orkestra.

Aku menyukai musik, amat menyukainya. Karena bagiku, musik bisa melunturkan semua emosi yang selalu kutahan.

Bahkan, musik kuanggap sebagai sahabatku. Toh, selama aku di sekolah dasar, aku tidak memiliki seorang pun teman karena mereka tidak ingin dekat dengan orang yang dijadikan objek ijime.

Terlebih dengan diriku yang... freak. Aneh.

"[Last Name]-san, bisa kah kau memainkan satu lagu untuk menutup hari ini?"

"Aku... hanya bisa bermain piano, Sensei."

"Tidak masalah." Yamada-sensei beralih ke murid lain, lalu bertanya, "ada yang bisa violin?"

Awalnya tidak ada yang mengacungkan tangannya. Tetiba dari belakangku, seseorang sedikit berteriak, "saya bisa, Sensei."

"Akashi-san, ya?" ucap Sensei sedikit ragu. "Sepertinya memang hanya kau, ya? Kalau begitu, kalian bisa maju."

Aku melirik ke arah Akashi-san dan tersenyum tipis padanya yang langsung dibalas oleh laki-laki itu.

Memang tidak ada orang lain lagi sepertinya. Pastinya selalu Akashi-san lah yang menutup kegiatan ongaku.

Entah dengan piano, violin, bahkan gitar akustik pun dia bisa. Ya, aku tidak heran. Keluarga Akashi memang luar biasa.

Bahkan Sensei sendiri sampai bosan kalau hanya Akashi-san yang selalu melakukannya.

Aku sedikit merapihkan rokku ke depan, meletakkan kesepuluh jariku di atas tuts piano setelah meletakkan partitur musik pada tempatnya.

Kubaca judul pada partitur musik terkait: La Campanella.

Ini musik yang tidak terlalu rumit, hanya saja aku harus bisa cepat memainkan jemariku.

Aku menoleh ke arah Akashi-san yang sudah selesai mengatur violin dan meletakkan partitur musik pada tempatnya, lantas mengangguk tanda dia sudah siap.

Aku mulai menari-narikan jemariku di atas tuts piano bersamaan dengan Akashi-san yang mulai menggesekkan alunan musiknya.

Nada suara antara piano dan violin yang begitu harmonis, membuatku terhanyut dalam iramanya.

Bagaimana, ya? Tubuhku seakan ringan dan tidak ada lagi yang membebaniku. Perlahan aku terus menikmati alunan ini dan tersenyum.

🌹

Kututup grand piano berwarna putih di hadapanku dan kurapihkan partitur musik yang sempat aku dan Akashi-san gunakan.

Baru saja aku hendak berbalik dan meletakkan partitur ini dalam sebuah file yang diletakkan di atas meja guru, seseorang menepuk bahuku.

Aku memutar tubuhku dan menatap lurus orang itu. Midorima-kun dengan... seorang pria yang tidak kukenal.

"Ada apa, Midorima-kun?" tanyaku langsung.

"Ada yang ingin berkenalan denganmu, [Name]."

"Eh?"

"Aku Maruyama Sogo, kita sekelas. Kau [Full Name]-chan, 'kan?"

Chan? Dulu, sekelas? Aku baru pertama kali melihatnya. Oh, dia tidak pernah satu kelompok denganku sepertinya.

"Aku memperhatikan permainan musikmu tadi. Bisa kita mengenal lebih dekat?"

Aku diam sesaat. "Etto... mungkin... bisa."

Kulihat laki-laki dengan rambutnya yang jatuh ke depan sebagian ini berseru riang kecil dan tersenyum lebar.

Ia kemudian mengatakan, "jangan sungkan berbicara denganku, ya?"

Aku mengangguk ragu. "Baiklah."

Selepasnya, laki-laki itu pergi sementara Midorima-kun tetap berdiri di depanku seraya membenarkan posisi kacamatanya.

Aku lalu bertanya pada laki-laki hijau itu, "temanmu, Midorima-kun?"

"Tidak juga. Aku hanya tahu namanya dan tetiba dia berbicara denganku."

"Sebaiknya kau berhati-hati dengan laki-laki yang tidak kau kenal, [Name]," sahut Akashi-san yang berdiri di sampingku.

"Melihat bagaimana dia berbicara denganmu, aku sedikit mengerti dengan sifatnya. Kau sepertinya memang harus berhati-hati, [Name]," tambah Midorima.

"Ya, aku tahu. Terima kasih, ya, Akashi-san, Midorima-kun."

🌹

"[Name]-chan, kau bisa ajarkan aku yang ini?"

Aku mengalihkan pandanganku pada pemandangan luar jendela dan melirik ke arah pria yang sudah duduk di tempat Rika-chan dengan posisi membalik.

Maruyama-san.

Bahkan baru saja satu mata pelajaran terlewati, dia sudah bisa seringan ini seolah begitu dekat denganku di kelas.

Aku sedikit iri dengan rasa percaya dirinya. Mungkin aku memang punya syndrome anti sosial

Sekarang waktu belajar mandiri. Mungkin tidak salah sesekali aku mengajarkan hal-hal yang kupahami pada orang yang bertanya.

Aku pun mulai mengajarkan grammar dan pronounciationnya. Yep, bahasa Inggris.

Biasanya kami—murid Jepang—menggunakan kamus elektronik. Tapi sepertinya Maruyama-san tidak membawanya, ya?

Sebetulnya, aku bukan ahli dalam bahasa Inggris, tapi aku memang bisa. Alasannya karena Papa.

Pekerjaan Papa membuatku dan Mama harus berkeliling berbagai negara. Menghadiri pesta-pesta di Kedutaan Besar dan segala hal lainnya.

Tentu saja, aku ditekankan harus bisa berbahasa Inggris. Tapi bukan karena itu juga alasan sesungguhnya.

Ada hal lain... yang berhubungan juga dengan diriku.

🌹

Aku menggulir ke atas dan ke bawah layar ponselku. Mencari berbagai contoh dan model untuk Giri-choco yang akan kubuat.

Aku bisa saja membuat coklat berbentuk kulit kerang seperti punya Guylian karena kebetulan punya pencetaknya.

Atau, sederhana seperti bola-bola coklat  merk Ferrero Rocher dan Lindht Chocolate.

Atau bisa juga, yang sedikit biasa seperti Ghirardelli dan Godiva Chocolatier. Coklat biskuit yang berbentuk setengah lingkaran atau lingkaran penuh yang dicelupkan ke dalam coklat dan diberi hiasan coklat susu lainnya.

Ah, aku bingung. Semuanya terlihat enak. Atau, aku harus buat yang paling sederhana? Seperti mencampurkan rice chrispy dengan coklat lalu memasukkannya dalam cup kecil dan ditaburkan ceres.

"Masih menentukan konsepnya, ya?"

Aku menoleh ke arah perempuan di sampingku. Wajahnya juga terlipat bingung.

"Kau tidak ada ide, Momoi-chan?" balasku bertanya.

"Tidak ada." Momoi-chan terdiam sesaat. Seolah teringat sesuatu, dia memukul-mukul sebelah tanganku pelan. "Bagaimana dengan Ki-chan?"

"Eh? Kise-kun? Memangnya kenapa?"

"Aduh, kau ini. Dia baru saja bertanya soal karangan bunga yang kau suka, 'kan? Lalu bagaimana?"

Aku menggeleng dan tersenyum kecil. "Ya, begitulah."

"Begitu gimana?" Momoi-chan tidak sabar. Bahkan aku bisa melihat blink-blink di matanya.

"Ya... dia hanya bertanya. Itu aja, kok."

Momoi-chan merucutkan mulutnya. Dia terlihat sebal sendiri. Memangnya ada apa? Kenapa aku jadi satu-satunya yang tidak mengerti?"

"Begini, [Name]-chan. Mungkin saja—"

"[Name]-chan."

Aku melompat kaget karena tetiba saja baru menyadari kalau Tetsuya sudah ada di depanku.

Astaga! Dia masih tidak bisa menahan diri untuk tidak mengagetkanku.

Kulihat sepupuku yang satu ini sudah selesai mengganti seragamnya dan jas putih itu hanya dia bawa pada tangannya.

Tetsuya menunjuk ke arah kepalanya. Aku yang mengerti buru-buru berdiri dan sembarangan mengambil jasnya untuk menutupi kepalaku.

Aku berlari secepatnya ke arah toilet di luar Gymnasium. Disana, kulangsung melihat ke arah cermin.

Kuhelakan nafasku singkat. Aku bersyukur kali ini tidak terlalu jelas. Kuharap Momoi-chan tidak menyadarinya selama duduk di sampingku tadi.

Sesaat kudengar langkah kaki beberapa orang mendekati toilet. Aku pun langsung memasuki bilik salah satu toilet dan duduk di sana.

"Eh, kudengar Sogo benar-benar melakukannya, lho."

"Sungguh? Mendekati gadis transparan itu? Astaga!"

Aku yang tadinya berniat keluar, langsung kuurungkan hal itu. Aku tahu ini tidak sopan, tapi kalau menyangkut soal diriku.

Aku memang orang yang tidak bisa tinggal diam.

"Bagaimana menurutmu?"

"Bagaimana? Kurasa Sogo-kun sudah gila! Kau pikir mudah mendekati [Last Name]-san?"

"Ya, aku tahu... Akashi-sama, 'kan?"

Hening sesaat. Tanpa kusadari, degup jantungku berpacu cepat.

"Aku iri dengannya. Padahal hanya punya sepupu yang kebetulan memang tim basket gedung satu."

"Kalau kecipratan yang baik-baik seperti itu, sih... aku juga mau."

"Kau ini—!"

Dua gadis itu tertawa dan kudengar langkah mereka menjauhi toilet. Aku membuka pintu toilet dengan sedikit berhati-hati.

Begitu aku sungguh keluar, aku melangkah dengan langkah besar ke arah Gymnasium gedung pertama.

Namun, nahasnya. Aku menubruk seseorang dan jatuh tersungkur. Saat aku mendongakkan kepalaku, kulihat Kise-kun di depanku mengulurkan tangannya.

"Kau tidak apa, [Name]cchi? Maaf, menabrakmu."

Aku tersenyum kecil dan menerima uluran tangannya seraya mengambil jas Tetsuya.

"Iie, iie, aku yang tidak lihat jalan. Maaf."

"Kau ingin kemana dan untuk apa jas itu-ssu ka?"

Aku menoleh singkat ke arah jas pada peganganku. "Oh, ini punya Tetsuya dan aku meminjamnya sebentar. Juga, baru saja ingin kembali."

🌹

Awalnya hanya ada keheningan. Namun, demi memecahkan kecanggunganku juga, akhirnya aku bertanya, "itu... soal karangan bunga itu. Untuk apa kau menanyakannya, Kise-kun?"

"Karangan bunga?" Aku mengangguk. "Oh, yang tadi-ssu ka? Itu... aku ingin memberikannya pada seseorang-ssu."

"Seseorang?"

"Ah, itu... ada pokoknya. Jadi aku butuh referensi yang lainnya-ssu."

Aku hanya ber-oh-ria. Lalu Kise-kun melanjutkan, "aku sudah memberikannya bunga beberapa kali. Tapi dia tidak menanggapinya, jadi aku bingung-ssu."

Aku tertawa mendengarnya dan mengangguk-angguk kecil. Ya, memang itu sedikit menyakitkan.

Tapi, perempuan itu kejam juga, sih. Maksudku, perempuan itu tidak membalas perhatian Kise-kun.

Eh, berarti aku juga, dong? Bunga yang dikirim dengan surat dan tanpa nama itu pun, aku belum balas sama sekali.

Padahal aku bisa saja meninggalkan surat itu di kolong mejaku dan menuliskan sesuatu di baliknya.

Singkatnya balas-balasan rahasia.

"Dia tahu itu kau, Kise-kun?" aku kembali bertanya.

Kise-kun terdiam. Ia tersenyum kaku dan membalas, "sepertinya tidak-ssu. Aku selalu lupa menulis namaku di suratnya."

Pantas saja! Aku yakin perempuan yang dikirim bunga dan surat tanpa nama oleh Kise-kun serasa mengerikan seolah seseorang menguntitnya.

Atau terburuknya, sebuah obsesi.

Seperti aku.

Aku? Aku mengerutkan dahiku. Kise-kun berkata mengirimkan bunga dan surat sudah dari beberapa hari yang lalu dan tanpa nama.

Lalu, aku? Mendapatkan bunga dan surat tanpa nama di atas mejaku.

Aku menggeleng kuat. Tidak, aku yakin ini kebetulan. Kalau pun benar, aku butuh bukti lainnya.


























Bagian 3 selesai :vvvv yep! Gimana? Mwehehehehe~~~ udah tau kan ya siapa yang ngirim? Udah, dong :v cuman sepertinya ada beberapa yang penasaran apa rahasia [Name] sebenernya. Pokoknya bakal kejawab kok semwanya :3

Kajeh : Midorima-kun....
Midorima : Ada apa-nano ka?
Kajeh : Ternyata baek juga, ya? ☺
Midorima : Ini hanya apa yang kau tulis-nanodayo. Aku hanya menjalankan  tugasku 😑
Kajeh : Ara~ ara~ Midorima-kun, jangan tsundere gitu, deh~ 🙄
Midorima : Aku tidak tsundere-nanodayo! 😒
Kajeh : Yaudah-yaudah. Tapi Midorima-kun emang baik, ya? Itu ampe perhatian gitu, lho~ 😌
Midorima : Aku tidak akan melakukannya kalo bukan kau yang membuatnya seperti itu, Kajeh 😔
Kajeh : Yaudah, dong. Sans aja, Midorima 😂

Jangan lupa vote dan krisarnya Reader-tachi! Terimakasih!!

xoxo,
Istri SAH Dazai Osamu, Selingkuhan Chuuya Nakahara, Pacarnya Akashi Seijuuro

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro