Second Reasons
Esoknya, harapanku terkabul.
Sebuah pot bunga mawar berwarna kuning, dengan surat yang seperti kemarin.
Rapih menggunakan amplop berwarna kuning berkilauan, surat dengan kertas vintage dan ditulis dengan tinta hitam pekat.
Aku menghela nafas panjang dan mulai membaca deretan hitam di atas putih terkait:
【Karena aura gembira dan perasaan hangat darimu, membuatku nyaman denganmu】
Bunga mawar kuning. Kalau tidak salah artinya persahabatan dan kegembiraan atau biasanya dipersembahkan sebagai bentuk apresiasi seseorang.
Apa orang ini mengambil kata gembira? Tapi, apa maksudnya aku yang gembira? Ya, memang banyak yang bilang juga kalau aku orang yang gembira dan bersemangat.
Lalu perasaan hangat? Siapa sebenarnya orang ini? Kenapa ucapannya seolah ia sangat dekat denganku?
Apa yang sebenarnya dia inginkan?
“Ohayou, [Name]-chan. Bunga lagi?”
Aku mengangguk memberikan tanggapan. Ini kedua kalinya, dilakukan dengan cara yang sama: Diletakkan begitu saja di atas mejaku dengan secarik amplop yang senada dengan mahkota bunganya.
Aku merapihkan suratnya kembali ke dalam amplop kuning, memasukkannya dalam tas abu-abu yang kugantung di samping meja, sementara bunganya sendiri kuletakkan di salah satu sudut mejaku di depan.
“Kali ini mawar kuning, ya?” Rika-chan kini sudah duduk berhadapan denganku seperti kemarin. “Persahabatan, kah? Atau, mungkin petunjuknya adalah dia sahabatmu, [Name]-chan?”
“Eh?”
Bisa jadi, sih. Itu kemungkinan lainnya, tapi sahabatku, ya? Menggunakan kemungkinan itu, aku bisa mencoret nama-nama anak laki-laki di kelasku, kecuali Akashi-san tentunya.
Tapi, Akashi-san juga option paling tidak mungkin. Dia lebih terlihat tertarik pada pekerjaannya di OSIS dan menjadi kapten tim basket.
Kalau begitu, anggota tim inti (tidak dengan Tetsuya pastinya)? Mereka memang dekat denganku, sahabatku? Bisa kukatakan aku menganggapnya begitu.
Rika-chan memutar tubuhnya saat Akashi-san datang, kutolehkan kepalaku dan kutersenyum padanya seraya mengucapkan, “Ohayou, Akashi-san.”
“Ohayou, [Name].”
Mendengar balasannya, aku langsung memutar kepalaku dan menatap pemandangan di luar jendela sambil bertopang dagu.
Sesekali mataku menatap mawar kuning itu.
Selagi aku tengah berdiam diri menatapnya, Nokizaka-sensei memasuki ruangan dan memulai pelajaran pertamanya: Fisika.
🌹
“Sekarang, kita akan melanjutkan materi minggu lalu, tentang observasi bunga.” Guru yang berdiri pada undakan di depan ruang laboratorium, memberikan penjelasan singkat. “Kita akan menggunakan bunga dandelion, kalian hanya harus mengamati struktur bentuk mahkota bunga kemudian menggambarnya.”
Ini pelajaran paling kusuka dan tidak paling kusuka. Aku menyukainya karena aku senang mengobservasi banyak hal, entah itu sekitarku, orang lain, suatu keadaan, bahkan masalah.
Namun, yang tidak kusuka adalah menggambar. Aku tidak terlalu mahir untuk membentuk sesuatu pada media dua dimensi, tapi tulisanku bisa dikatakan cukup bagus dan rapih.
Aku menghela nafas pelan, digenggamnya buku paket biologi milikku di kedua tanganku.
“Menggambar, ya?”
“Ada apa, [Name]?”
Mendengar diriku yang menggumam, teman sebangkuku sekaligus teman observasiku pada pelajaran biologi, Akashi-san, bertanya polos.
“Aku… tidak terlalu pintar menggambar.”
“Aku yang akan menggambarnya, kau bisa mengobservasi, kan?” Jelasnya.
Eh? Akashi-san yang menggambarnya? Dia bisa? Pria ini? Sungguh? Aku tidak percaya! Bukan hanya pelajaran wajib, bahkan pelajaran kesenian seperti menggambar pun dia bisa.
Ah, tapi kalau bermain alat musik, aku sudah tidak heran lagi. Toh saat itu aku sempat mendengarnya tengah memainkan lagu La Romanesca dengan violinnya tanpa ada nada yang salah atau terlambat nol koma dua detik pun.
Ada yang aneh. Kenapa Akashi-san tahu kalau aku memang—kuakui—cukup pandai untuk mengobservasi? Maksudku, aku memang bisa tapi tidak ada yang tahu kalau aku bisa kecuali Tetsuya.
“Itu jelas terlihat dari dirimu sendiri.”
Aku mencerna ucapannya. Apa baru saja dia menjawab apa yang ingin kutanyakan? Menjawab pertanyaan dalam pikiranku, begitu?
Ternyata rumor tentang Akashi-san yang bisa membaca pikiran memang benar.
“Kalau begitu, akan kulakukan,” ucapku seraya tersenyum.
Aku mulai membuka bukuku, memperhatikan langkah kerjanya dengan cermat.
Begitu mengerti, aku mengambil lup dan mendekatkan bunga dandelion yang sudah diberikan pada masing-masing pasangan murid.
Selesai mengamatinya, aku membuat catatan kotor pada buku tulisku sebelum aku salin kembali pada lembar kerjaku dan Akashi-san.
Kemudian, dalam waktu singkat, catatan itu selesai dengan rinciannya yang lengkap.
Akashi-san pun sudah selesai pula dengan gambar dan catatannya, sisanya kami hanya harus menyatukan catatan kotor yang kami buat.
Saat Akashi-san memberikan lembar kerja yang sudah selesai ia gambar, mataku berbinar kala melihat gambarnya yang sangat bagus.
Dia benar-benar menggambar bagian-bagian bunga dandelion dengan sangat sempurna, mirip sekali. Bahkan detail-detail kecilnya.
“Kirei~! Akashi-san, gambarmu bagus sekali. Kau mengikuti kursus khusus atau semacamnya?”
Akashi-san tertawa kecil menanggapi ucapanku. “Tidak, belajar sendiri.”
Sambil memulai menyatukan catatan kami, Akashi-san melanjutkan, “Kau benar-benar gadis yang gembira, ya.”
Aku balik tertawa kecil. “Banyak yang bilang begitu juga, kok.”
Sudah kukatakan, bukan? Kalau memang banyak yang mengatakan kalau aku ini gadis yang gembira?
Aku memang tidak terlalu tahu bagaimana diriku, tapi aku tahu, yang bisa melihat hal itu adalah orang-orang di sekitarku.
Kuberikan catatan kotorku pada Akashi-san, selepasnya ia mulai menyalin milikku juga dan menambahkan beberapa dari miliknya.
Begitu selesai setengahnya, aku melanjutkannya dengan tulisan tanganku.
Jam pelajaran biologi sudah usai, aku pun segera merapikan kembali peralatan yang aku gunakan pun dengan buku-bukuku.
Tidak terasa, ruang laboratorium sudah sepi—tidak juga, sih. Masih ada Akashi-san yang membenahi lup yang baru saja kami gunakan.
Aku berdiri dari kursiku, saat itu pula kuambil sekalian buku catatan milik Akashi-san. Seraya berjalan mendekatinya, kulihat isi catatannya.
Mataku terasa seperti ditusuk cahaya. Catatannya benar-benar lengkap dan rapih, tulisannya pun sangat bagus.
"Bahkan lebih bagus daripada tulisanku," aku bergumam.
Kepalaku mengadah, menatap lurus Akashi-san yang berdiri di hadapanku setelah selesai memasukkan kotak lup dalam lemari kaca. Kuberikan buku miliknya dan beranjak pergi dari laboratorium.
Selama berjalan kembali ke kelas, aku hanya membicarakan hal-hal yang sederhana. Entah tentang latihan basketnya atau perkembangan kemampuan Tetsuya.
Dalam beberapa hal, aku senang mendengarnya bercerita seperti ini. Sebetulnya, karena hal ini banyak siswi yang menghindariku karena begitu dekat dengan Akashi-san.
“Sepertinya kau sibuk, ya?”
“Tidak terlalu, paling tidak aku masih bisa absen untuk ekskul basketku.”
“Soal OSIS Flowers itu? Sepertinya aku tidak pernah melihatmu berkeliling mengirimkan buket bunga.”
Nah, inilah yang membuatku penasaran. Sering kali selagi waktu istirahat berlangsung, anggota OSIS mulai berkeliling mengirimkan entah buket bunga atau coklat titipan untuk beberapa murid.
Tapi, aku tidak pernah melihat Akashi-san melakukan hal itu. Eh, tapi kalau dia benar-benar melakukannya, mungkin banyak siswi yang mulai memanas.
Toh Akashi-san memang paling terkenal dalam segala hal. Entah itu dalam bidang akademik maupun non-akademik.
Terkadang, aku berpikir itulah alasan kenapa banyak siswi yang membicarakanku hanya karena aku tengah berjalan atau berbincang dengan Akashi-san.
“Kau sudah tahu, ‘kan?” Sepertinya pikiranku dibaca olehnya lagi, ya? “Kalau aku ingin melakukannya, lebih baik yang satu kelas denganku jadi aku tidak terlalu kerepotan untuk berkeliling.”
Terkadang aku tidak mengerti dengan jalan pikirnya. Memang itu lebih mudah dilakukan. Kalau aku jadinya, aku juga akan lebih baik menerima titipan buket bunga dan coklat untuk murid di kelasku.
Kalau begitu, yang mengirimkan titipan surat dan buket bunga untuk Rika-chan itu Akashi-san? Memikirkan hal itu, aku jadi penasaran dengan orang yang meletakkan pot bunga dan surat untukku.
Secarik surat beramplop kuning, lagi-lagi kalimat singkat serta anonymous. Padahal kupikir awalnya tertera sebuah nama disana.
Namun, nihil. Tidak ada sama sekali. Baik aku raba, terawang, memberikan sedikit cahaya, atau mendekatkannya dengan api dan membasahinya dengan air lemon.
Tetap, nihil. Tetap tidak ada sesuatu yang muncul dari sana.
“Kau ingin menitipkannya juga pada Kise?”
Deg! Dadaku serasa mencelos. Kenapa Akashi-san tahu aku menyukai Kise-kun? Tepat sasaran, memang awalnya aku benar-benar berpikir ingin memberikannya pada pria bersurai blonde itu. Namun, kuurungkan pikiranku.
“Ka-kau… tahu!?”
“Semuanya sudah tahu, kecuali Kise pastinya.”
Oh, astaga! Kenapa semuanya bisa tahu aku menyukai Kise-kun? Maksudku, memangnya sejelas apa kalau aku menyukainya? Atau, mulut ember Momoi-chan yang mengatakannya?
Aku menggeleng serya tersenyum. “Aku tidak ingin memberikannya, lagi juga dia sudah mendapatkan banyak, ‘kan?”
“Bagaimana denganku?”
Aku terdiam sebentar sampai aku mendengus dan tertawa geli, sementara Akashi-san hanya tersenyum-senyum sendiri.
Terkadang mendengar Akashi-san yang menggodaku seperti ini terasa langka. Padahal laki-laki ini paling terkenal kalau tidak pernah bahkan tidak bisa bergurau. Apalagai menggoda seorang perempuan.
“Kau mau?” Aku memutar kepalaku hingga lurus ke depan sambil tersenyum kecil. “Bagaimana, ya? Bukankah Akashi Kaichou sudah mendapatkan banyak?”
Akashi-san mendengus dan tersenyum sebelum akhirnya mengangguk. Sedikit banyak aku berpikir, mungkin aku memang akan memberikannya coklat. Tentunya bukan hanya Akashi-san, yang lainnya sekalian.
“Soal itu, akan kupikirkan.”
🌹
Sebenarnya aku sedikit bingung ingin membuat coklat seperti apa. Namun, kalau boleh kukatakan sesuatu, coklat itu sedikit biasa.
Giri-choco?
Cho Giri-choco?
Atau, Tomo Choco?
Semuanya sama. Sama-sama coklat dan kalau dimakan rasanya manis-pahit. Hanya jenis dan arti memberinya saja yang berbeda.
Aku ingin membuat sesuatu yang tidak biasa. Sesuatu yang mungkin bisa mengingatkan tentang diriku, tapi apa?
Oke, mungkin lain waktu akan kupikirkan. Sekarang saatnya jam istirahat, sementara bekalku sedari tadi nyaris tidak kusentuh sama sekali.
Saat aku baru saja menyumpitkan sosis berbentuk gurita ke dalam mulutku, tetiba Momoi-chan menyikutku dan bertanya, "memikirkan coklat apa yang ingin kau beri, ya?"
"Apa—!?" Aku langsung terbatuk-batuk karena interupsi Momoi-chan.
Yang benar saja! Kenapa semua orang segitu mudahnya membaca wajahku? Memangnya setiap kali aku memikirkan sesuatu, selalu bereaksi aneh?
"Maaf, [Name]-chan." Perempuan di sampingku langsung menyodorkan air dalam botolku, lantas aku meminumnya. "Jadi memang tentang coklat, ya?"
Mendengar suara Momoi-chan yang jelas, semua anggota Kiseki no Sedai menoleh ke arahku dan perempuan di sampingku.
"Kau ingin memberikan coklat, [Name]chin?" tanya Mursakibara.
"Aku tidak tahu itu, [Name]-chan," timpal Tetsuya.
"Untuk siapa-ssu ka?" Aduh! Pertanyaan Kise-kun membuatku kelimpungan.
"Itu...." Aku berdehem, kemudian melanjutkan, "aku ingin memberikannya pada kalian. Ya, sebagai hadiah wajib dan terima kasihku."
Elakan yang mulus, Diriku!
Kiseki no Sedai—kecuali Akashi-san dan Tetsuya—mengedip-ngedipkan matanya, bingung.
Memang apa yang salah dengan ucapanku? Maksudku, aku mencoba menjadi baik, lho. Sungguh.
"Aku menantikannya, [Name]chin."
"Aku juga-ssu!"
"Mungkin untuk yang ini, aku akan menerimanya-nanodayo."
"Gratis, 'kan?"
Pertanyaan Aomine-kun ini tidak berfaedah sama sekali. Padahal sudah kukatakan kalau aku akan memberikannya.
Ya, tapi dengan begini. Sudah cukup. Aku tahu mereka akan menerimanya dan niat baikku diterima dengan antusias.
Mengetahui itu, aku tersenyum lebar.
🌹
"Dari kemarin aku penasaran. Itu bunga dari siapa, [Name]-chan?"
"Eh?" Aku menoleh ke arah sepupuku dan membalasnya, "aku juga tidak tahu."
Tetsuya hanya memandangi pot bunga mawar kuning yang kubawa. Mungkin jawabanku tadi tidak memuaskannya.
Jadi, aku pun menjelaskan dengan singkat, "dari seseorang. Entah siapa orang itu, tapi dari kemarin dia meletakkannya di atas mejaku dengan sebuah surat."
"Surat?" Aku mengangguk kecil memberikan jawaban.
Ya, dan aku selalu membawa ke rumah bunganya. Menyiraminya setiap pagi dan menatanya di depan jendelaku.
Suratnya? Aku juga membawanya. Mencoba membaca berulang kali setiap malam dan memikirkan kemungkinan siapa orang yang mengirimnya.
Ketika pilihanku sudah buntu, aku pergi tidur.
"[Name]-chan," sahut Tetsuya kembali. "Sebaiknya setelah pelajaran olahraga, kau pergi ke kamar mandi."
"Memangnya ada apa?"
"Itu... terlihat," balas Tetsuya seraya menunjuk ke arah kepalanya.
Tunggu—! Apa? Terlihat?! Aku cepat-cepat kembali membuka kamera pada ponselku.
Dan benar kata Tetsuya. Aduh! Akan gawat kalau sampai ada yang menyadarinya.
Ini kecerobohanku untuk ke dua kalinya setelah kemarin. Seandainya Tetsuya tidak mengingatkan, pasti semuanya sudah ketahuan.
"Aduh, bagaimana ini, Tetsu?" aku mulai khawatir. "Padahal aku sudah menggunakan dua puluh boby pin."
"Tidakkah sebaiknya kau tidak menggunakannya? Sudah satu setengah tahun, lho."
Aku terdiam dan menunduk. Kutatap langkah kakiku dengan Tetsuya. "Mau bagaimana lagi? Kau tahu kalau aku sangat berbeda, 'kan? Aku aneh, Tetsu."
"Justru kupikir, yang kau katakan aneh itu malah menjadi daya tarikmu."
Aku kembali diam. Tetsuya memang benar. Mungki yang kuanggap aneh, justru menjadi sebuah daya tarik bagi orang lain.
"Kau benar," ucapku akhirnya. "Menjadi objek ijime lagi mungkin tidak masalah, ya? Lagi pula, ada kau juga disini."
"Maaf, aku lupa kalau alasan lain kau menutupi itu karena waktu sekolah dasar."
Aku tertawa. Ah, aku sendiri bahkan hampir lupa kalau pernah dijadikan objek ijime karena saking berbedanya.
"Tidak masalah. Toh, aku sekarang berdiri disini dalam keadaan normal dan mencoba menjadi gadis transparan seperti dirimu."
"Entah bagaimana, tapi ucapanmu menusukku, [Name]-chan."
Aku tertawa. "Maaf, maaf."
Chapter 2 owari!! Gimana, Geng? Udah ada pencerahan siapakah gerangan Dia Yang Memberikan Bunga Kepadamu? Beloman? Serius belom? 😐 gak, ah... udah pasti, 'kan? 🙄 yaudah, kalo udah tau diem aja, ya :v oke? Sippu!
Kuroko : Tapi aku nggak tau siapa yang kirim ke [Name]
Kajeh : Eh!? Masa, sih? 😑 payah, lah, Tetsu
Kuroko : Kajeh-san nggak kasih tau juga
Kajeh : Tetsuya 'kan nggak nanya
Kuroko : ....
Kajeh : Eh, jangan diem, dong :'vvvv serem tau :'(((
Kuroko : Lagi mikir
Kajeh : mikir apa?
Kuroko : Kapan Kajeh bisa sedikit waras dan jadi orang baik hati? Tapi, kalau jadi sedikit kecewekan juga gapapa
Kajeh : 😑
Kuroko : Itu tutup dulu, deh, mendingan.
Kajeh : Yaudah, iya. Bentar~
Yosh! Sekian chapter dua ini dari Mikajeh :3 selanjutnya, silahkan ditunggu :v jangan lupa vote dan komentarnya, ya!
Terimakasih!
xoxo,
Istri SAH Dazai Osamu, Selingkuhan Chuuya, Pacarnya Akashi Seijuuro.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro