Eleventh Reasons
Ini adalah harinya. Hari apa? Yep, hari pementasan teater internal sekolah. Aku gugup, tapi juga cukup bersemangat.
Pagi ini, hatiku jauh lebih ringan dari biasanya. Masalahku sudah selesai, bahkan selama latihan pagi tadi, Retasu tampak sudah bisa menguasai dirinya.
Lalu kupikir, dia sungguh cocok mendapat peran itu karena karakternya sangat mendukung.
Selagi Momoi-chan menata rambut merah menyala milikku, kutatap pot bunga plum di hadapanku. Aku tersenyum tipis.
Bunga yang sekilas mirip seperti bunga sakura ini, tentu saja tetap memiliki perbedaan.
Aku yakin, kalau ada orang yang melihatnya dari jauh, pasti mengira kalau ini bunga sakura.
"Hei, kau jadi terlihat mengerikan, [Name]-chan. Jangan tertawa sendiri, nanti dikira tidak waras."
Aku tertawa ringan. "Aku memang tidak waras, kok."
"Karena kau mengatakannya, kupikir kau memang jadi lebih tidak waras belakangan ini," ungkapnya. Momoi-chan meletakkan sisir yang ia gunakan, lantas mengambil beberapa bobby pins. "Jadi apa isi suratnya hari ini?"
"Itu...."
【Karena kekuatan dalam menghadapi semua masalahmu, aku semakin tertarik ke dalam hatimu】
"... begitu."
Momoi-chan ber-oh-ria. "Dirimu sekali, ya? Aku juga berpikir begitu, lho." Momoi-chan menyentuh dua bahuku. Kulihat pantulan dirinya pada cermin. "Kau kuat, tetap mengangkat kepalamu walaupun begitu banyak rintangan di depanmu."
Aku tertawa kecil. Mungkin kah aku terlihat seperti itu? "Terimakasih, Momoi-chan. Ucapanmu sangat membantu," kataku.
Suara derit pintu mengalihkan eksistensiku. Aku berdiri lantas memutar tubuhku.
Kulihat di sana Akashi-san sudah datang dengan mengenakan bet lengan berlogo OSIS-nya dan di sampingnya berdiri Kise-kun dengan kostum kekasih Christine Daaé, Raoul.
"Kau sudah siap?" tanya Akashi-san sambil menyunggingkan senyuman tipisnya.
Aku membalasnya, "iya."
"Ayo, [Name]cchi." Sambil berkata seperti itu dengan menunjukkan deretan gigi-giginya, Kise-kun memberikan tangannya padaku.
Aku tersipu. Mengetahui aku merespons lama, Momoi-chan menyikutku agar segera meraih tangan Kise-kun.
Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan kali ini, aku langsung menyambut tangan besar dari orang yang kusuka itu.
Dari arah sampingku, aku bisa merasakan seseorang tersenyum-senyum sendiri. Ya, tidak salah lagi kalau itu Momoi-chan.
Tak lama setelah aku keluar, suara musik pembuka mengawali pementasan The Phantom Of The Opera di auditorium utama ini.
-oOo-
Aku menghela nafas lega dan langsung meneguk air mineral yang disodorkan Akashi-san padaku.
Bagianku di-scene ini sudah selesai, waktunya menarik diri ke belakang panggung.
"Tadi pertunjukkan yang bagus, [Name]-chan. Semuanya membicarakanmu," ujar Momoi-chan yang duduk di sampingku.
Aku tertawa mendengarnya. Bukan berarti aku menjadi tinggi hati dan angkuh, juga bukan bermaksud berpikir negatif. Intinya biarkan saja itu menjadi urusan mereka. Terserah mereka ingin membicarakanku seperti apa.
"Oh, iya. Maruyama-kun bilang dia akan mengirimkan fotomu."
"Fotoku?"
Momoi-chan mengangguk ceria. "Iya, fotomu-dengan Ki-chan."
Astaga! Aku nyaris tersedak air mineralku sendiri!
Begini, aku bersyukur karena hal itu. Sebagai hitungan, untuk hadiah kecil-kecilan begitu. Hehe~
"Tapi mungkin aku akan meminta foto yang lain," ujarku sambil tersenyum tipis.
"Yang lain?"
"Maksudku, sebelum aku tampil, aku berfoto denganmu dengan yang lain, 'kan?"
"Ah, itu. Tenang saja. Itu masalah mudah," balas Momoi-chan sambil merangkul bahuku bersahabat. "Oh, kau ingin makan apa? Biar aku yang belikan."
"Maaf merepotkanmu, Momoi-chan. Tapi kalau boleh... roti yakisoba dan takoyaki, bisa?"
Momoi-chan berkedip seolah baru saja mendengar sesuatu yang aneh. Memangnya apa yang aneh dengan permintaanku?
"Ternyata makanmu banyak juga."
Karena itu? Aku tertawa. "Ya, karena aku butuh banyak tenaga untuk tampil."
"Oke, oke. Lalu minumnya?" tanyanya kembali.
"Minuman isotonik saja."
"Siap!"
Momoi-chan pun segera melenggang pergi. Ah, bahkan dia sendiri lupa meminta uangku, mungkin nanti saja.
Mataku berputar ke arah panggung. Kuperhatikan tak jauh di sana, Kise-kun tengah tampil dengan Aomine-kun sebagai Inspektur Hawkins.
Sesaat aku menyadarinya kalau Aomine memang cocok berperan sebagai seorang inspektur-lebih tepatnya polisi.
"Akashi-san, terimakasih," kataku tanpa menatapnya. Aku memutar leherku dan melihat ke arahnya sambil tersenyum tipis.
"Untuk apa?"
"Banyak hal. Minumannya, pementasan ini dan... ya, semua yang sudah kau lakukan."
Akashi-san tertawa kecil dan tersenyum. "Itu memang menjadi tugasku, 'kan?"
Entah bagaimana caranya, semua orang seperti menari di atas tangannya. Semuanya.
Hal yang dilakukannya berjalan lancar. Bahkan saat ini pun begitu. Apa aku juga harus mengucapkan terimakasih lantaran dia sengaja memilih Kise-kun untuk memerankan kekasihnya Christine?
Lalu yang menjadi Phantom? Tentu saja itu Tetsuya. Bahkan penonton tidak menyangka saat Tetsuya akan keluar di antara mereka.
Naskah tidak berubah, tapi setting tempat dan bagaimana semuanya adalah kehendak Akashi-san.
Bahkan murid dari ekskul band saja seolah dijadikan sebagai warga dan penonton teater dalam cerita.
"Akashi-san, kau sungguh tidak tahu...." Akashi-san menoleh. Aku pun melanjutkan, "... soal bunga-bunga itu?"
Dia menggeleng kecil. "Kau merasa terganggu?"
"Tidak, tapi maksudku... aku penasaran. Aku sudah mendapatkan beberapa bukti, tapi aku tidak yakin benar dengan orangnya."
"Bagaimana kalau orang itu tidak seperti perkiraanmu?"
Itu yang tidak pernah terpikirkan olehku. Selama surat itu terus dikirim padaku, aku selalu berpikir kalau itu dari Kise-kun.
Semua yang dilakukannya, semua petunjuk yang ada dan segala pertimbangan dan kemungkinan yang kubuat, menunjuk ke arah pria itu, pria yang kusuka.
Seandainya memang bukan Kise-kun, apa tidak masalah dengan diriku? Apa setelah melihat dan mengetahui orangnya aku akan menerimanya atau malah....
Ah, option ke dua tidak akan kusebutkan. Aku tidak ingin membuat hal itu terjadi. Ya, aku ingin seperti Maruyama-san. Membuat hubungan yang baik dengan orang lain.
"Selagi aku masih menyukai Kise-kun dan selama dia benar-benar belum memiliki kekasih sampai saat itu, aku akan terus menunggunya."
Akashi-kun menghela pendek dan tersenyum miring. "Sesetia itukah dirimu?"
Aku tertawa kaku. Entah apa maksudnya itu pujian atau sindiran, tapi sudahlah. Aku juga tidak mempermasalahkannya.
-oOo-
Pertunjukkan hari ini usai, besok akan ada pertunjukkan eksternal. Artinya besok, sekolah akan membuka gerbang untuk umum.
Sekolah akan mulai ramai didatangi pengunjung dan aku harus menampilkan penampilanku besok semaksimal mungkin.
"Ano... [Last Name]-san."
Aku memutar tubuhku setelah melepas bobby pins terakhir dan menggerai rambut merahku.
Tak jauh di belakangku, Retasu sudah berdiri di sana. Kulihat perempuan itu tersenyum padaku.
"Untuk hari ini, terimakasih atas kerja kerasnya," ucapnya sambil membungkuk.
Aku tersenyum lebar. "Terimakasih juga. Tadi penampilanmu bagus, Retasu. Aku tidak menyangka kau bisa sepercaya diri itu."
"Terimakasih. Itu karena... kau, [Last Name]-san."
Aku menaikkan sebelah alisku. Karena aku? Memangnya apa yang sudah kulakukan untuknya? Padahal latihanku terakhir pagi ini dan aku tidak banyak berbicara dengannya. Lalu kemarin.
Sedikit aneh, apa tidak masalah kalau aku tanyakan? Ini tidak pribadi, 'kan?
"Itu... tapi kenapa aku?"
Retasu mengangguk yakin. "Kau menyadarinya kalau aku sangat demam panggung dan sulit berbicara dengan orang lain, 'kan?"
Aku terkesiap. Aku memang mengatakan hal itu bahkan dengan jelas, tapi bukan maksudku untuk menjatuhkan Retasu. Hanya saja....
"Aku ingin berterimakasih padamu karena ucapanmu kala itu."
"Ucapanku yang mana?"
"Soal menjadi diri sendiri. Aku sadar, aku hanya harus menjadi diriku karena memang kebetulan kalau karakterku juga sangat mendukung, jadi aku memanfaatkan hal itu."
"Aku juga berpikir demikian. Namun aku tetap tidak menyangka kalau kau bisa mengembangkan dirimu sampai sejauh ini."
"Aku benar-benar berterimakasih padamu, [Name]-eh, maksudku-"
"Tidak masalah, kok. Panggil seperti itu saja."
"Benarkah?" mata hijau gadis itu tampak berbinar.
Aku mengangguk mantap. "Iya, tentu saja, Retasu."
Memang benar, terkadang mengatakan satu hal itu lebih mudah daripada melakukannya. Fakta bahwa aku sendiri tidak memiliki kepercayaan diri atas diriku, kuakui jika aku tidak ada bedanya dengan pengecut.
-oOo-
Aku memandangi penonton dari atas panggung. Bisa kurasakan dari atas panggung sini, atmosfer disekitar mereka memanas. Mereka semua tetpukau pada drama thriller mencengkam yang aku-dan anak-anak dari klub teater-perankan.
Demi mempertahankan suasana drama ini, aku jangan sampai gugup apalagi terjatuh di atas sana nantinya.
Setelah seksi perlengkapan di belakang panggung lupa mengganti latar dan seksi acara terlambat memberikan efek suara bahkan para pemeran lain sampai lupa dengan dialog mereka sendiri, aku harus berusaha tidak melakukan kesalahan lain.
Setelah ini, hanya ada diriku, Tetsuya dan Kise-kun untuk menutupi kesalahan masing-masing seandainya memang ada kesalahan, artinya aku harus melakukan improvisasi.
Untunglah, kini aku sudah memasuki scene yang sedang seru-serunya. Phantom akan menculik Christine dan merayunya untuk menjadi kekasihnya, sementara saat kesempatan itu, Christine justru membuka topeng Phantom dan melihat tampang aslinya yang seram.
Tetsuya akan menggunakan sejenis make up tambahan untuk membuat sebagian wajahnya terlihat keriput dengan bola matanya yang nyaris keluar. Menjijikkan, memang, tapi aku sangat terkesan dengan teknik make up itu.
Sudah kupastikan ini akan menjadi adegan yang menyita perhatian penonton. Jika terjadi histeria diantaranya, itu artinya drama ini sungguh berhasil.
Setelah lampu dipadamkan dan latar kembali berubah dalam kegelapan itu, aku melangkahkan kakiku memasuki panggung yang gelap dan kosong seolah tidak ada seorang pun di sana kecuali diriku di tengahnya.
Ketika lampu sorot menyala dan menerpa diriku, tetiba sebuah tangan dari sampingku, tanpa ada lampu yang menyoroti, menarikku dengan kuat dalam pelukannya.
Sesaat aku menyadari sesuatu. Kekuatan yang membuatku sedikit terkejut dan tangannya yang sedikit besar, jelas bukan milik Tetsuya.
Tidak salah lagi! Orang yang mengenakan topeng phantom dan menggunakan jubah hitam layaknya sebuah bayangan bukan Tetsuya, tapi... Akashi-san!?
"Akashi-san ...?" Bisikku di samping telinganya. "Kenapa kau menggantikan Tetsuya?"
Akashi-san hanya tersenyum tipis. "Kuroko masih izin keluar dan belum kembali, jadi aku yang menggantikannya karena tidak ada orang lain lagi."
"Eh ...?"
"Kenapa? Kau terlihat tidak senang."
Aku menggeleng lemah. "Bukan begitu. Aku hanya terkejut karena tidak ada yang memberitahuku sebelumnya."
Pemuda itu tertawa rendah disertai senyumannya, suara riuh penonton seketika memenuhi ruangan. Mereka histeris. Apa ini kekuatan seorang Akashi?
Dia bahkan mengalahkan pemeran asli Phantom-Tetsuya-dan langsung menarik perhatian begitu muncul, padahal baru muncul dibagian ini.
Sudah, daripada itu, bersyukurlah yang menggantikannya Akashi-san karena sudah dipastikan ini akan tetap berjalan lancar. Setelah menarik nafas pelan, aku memulai dialog pertamaku dalam bagian ini.
"Phantom...," aku berbicara keras, "lorong ini ...? Kemana engkau 'kan membawaku pergi?
"Kita akan ke rumahku."
Suara riuh penonton semakin jelas terdengar ketika Akashi-san membuka dialog pertamanya. Mereka semakin yakin akan adanya pergantian pemain. Bahkan aku sempat mendengar suara tertahan seperti ini, "ah, itu Akashi! Akashi Seijuuro menjadi Phantom!"
Eh, aku penasaran, ternyata Akashi-san tahu juga dialog Phantom. "Ke rumahmu? Memangnya apa yang kau ingin aku lakukan?"
Kurasakan tangan Akashi-san semakin erat menarikku ke dalam pelukannya. Aku semakin penasaran, bagaimana dia sungguh bisa melakukan hal seperti ini... di depan banyak orang?
Rasanya seolah ia sudah terbiasa?
"Tenang saja, kau aman bersamaku, Christine." Laki-laki itu tetiba memelukku dan melanjutkan kalimatnya, "aku juga berjanji tidak akan pernah membuatmu menangis."
Aktingnya memang sempurna. Hanya dari ucapannya, seolah perasaan sang Phantom tersampaikan. Sesaat aku merasa lebih tenang.
Ditambah...
Kata-katanya terdengar sedikit berbeda seakan ia mengatakan itu untuk ditunjukkan pada seseorang.
"Tapi...." Akashi-san merendahkan pelukannya dan menatap mataku. Aku melanjutkan, "aku... takut padamu...."
Laki-laki itu bergeming dengan tetiba menggenggam kedua tanganku dengan erat. "Aku tidak akan menyakitimu. Percayalah. Aku bersumpah, aku tidak akan menyakitimu apalagi sampai kau mengeluarkan air matamu itu."
Begitu Akashi-san menyentuh sebelah pipiku dan hendak ingin mengecupnya, dengan cepat aku mendorong tubuhnya dengan kuat dan melepaskan topeng yang terpasang di wajahnya.
"Mana mungkin aku percaya setelah semua fakta yang terpampang sudah jelas ada-!?"
Suaraku tercekat di kerongkongan seolah sedang terkejut dengan pemandangan yang kulihat, sementara Akashi dengan kaget menatapku sambil menyentuh sebelah wajahnya yang sudah diberi riasan seperti wajah seseorang yang lapuk terbakar.
Aku mundur selangkah. Akashi-san terlihat begitu terpukul dengan apa yang kulakukan padanya dan tersentak akibat dari dengungan itu seakan dia sedari tadi terfokus padaku.
"Kau-!?"
"Kau sudah melihatnya...," katanya. "Dengan ini, apa kau masih ingin menerimaku? Jika tahu, apa kau akan mencintaiku? Aku takut wajah mengerikan ini akan menjauhkanmu dariku! Karena itu-"
"-Kau! Kau sudah mencelakai banyak orang, membunuh mereka bahkan berani menguliti mereka sampai menghilangkan suaranya!"
"Tapi itu bukan dirimu!" Suara Phantom naik satu oktaf, langsung melanjutkan kalimatku. "Aku tidak akan pernah mencelakaimu. Aku cinta padamu, Christine. Sejak awal aku mencintaimu, sangat mencintaimu. Hanya itu yang bisa kukatakan."
Ucapannya tersirat kesedihan yang mendalam seperti dia sungguh mengatakannya ditambah Akashi menambahkan satu kalimat sebelum dialognya yang terakhir.
Aku yang terus menatap kedua bola matanya dengan kalut sekaligus takut, terdiam sejenak.
"Aku serius...."
Lagi-lagi terdengar suara dengungan keras dari penonton. Dengungan yang bercampur dengan perasaan tegang penonton bahkan sampai bisa kudengar kalimat seperti, "terimalah, Christine!" atau "romantis sekali!"
"Akashi... ehm, Phantom...." Ah! Bodoh sekali! Kenapa aku malah menyebut nama Akashi-san saking terpana dengan aktingnya ini!? Ini memalukan!
Lagi-lagi Akashi-san hanya tersenyum puas dengan kesalahanku barusan dan menahan tawanya. Memang apanya yang bagus dari tadi!?
Sudahlah, yang terpenting, saat ini aku harus berusaha agar tidak melakukan kesalahan lagi.
Semoga....
-oOo-
"[Name]cchi, bisa kau pulang hari ini berada di kelas?"
Aku menoleh ke arah laki-laki bermanik amber itu. Tidak biasanya dia meminta sesuatu seperti ini, ada apa? "... maksudmu?"
Kise-kun menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, tampak begitu gugup tapi dia tetap tersenyum.
"Aku ingin... ah, pokoknya kau tunggu aku saja di kelasmu, oke?"
Aku berkedip bingung dan tetap mengangguk walaupun ragu. Melihat jawabanku, laki-laki itu bernafas lega lantas pergi meninggalkan ruang khusus pemeran.
Ketika aku kembali mematut diriku di depan cermin, tak lama Momoi-chan datang dan bertanya, "kenapa kau terlihat kebingungan, [Name]-chan?"
Aku melirik pantulannya di cermin lantas menjawab, "tadi Kise-kun datang, lalu memintaku menunggu di kelas, tapi aku tidak tahu alasannya untuk apa."
"Kau sudah bertanya?"
"Sudah. Tapi dia bilang 'pokoknya kau tunggu aku saja di kelasmu, oke?' begitu," jelasku panjang.
Momoi-chan diam sesaat, seolah berpikir. Setelah menemukan jawabannya, dia tetiba memukul belakang bahuku.
Seandainya aku tengah membawa seteko air panas atau beberapa gelas minuman, pasti sudah tumbah kemana-mana. Namun pukulannya barusan, benar-benar terasa sakitnya.
"Aaa!!! [Name]-chan!!!" teriaknya histeris, dia tersenyum semangat.
"Kenapa? Ada apa?"
"Begini, aku juga diminta untuk datang ke kelasmu pulang nanti, terus Kichan bilang kalau ingin mengungkapkan perasaannya pada seseorang. Dia bilang pada semuanya begitu, tapi tidak padamu?"
"...."
"Kenapa diam saja?"
Begini... aku harus bereaksi seperti apa? Teriak bahagia? Senang? Atau, semacamnya? Pasalnya, sekarang saja palaku terasa panas! Apa wajahku memerah? Astaga, aku tidak bisa menghentikan degup jantungku!
Bagaimana ini? Aku tidak siap! Apa yang harus kujawab?
"Wajahmu merah, [Name]-chan~"
Aku memeluk Momoi-chan dan menyembunyikan wajahku di baliknya, alih-alih agar dia tidak terus memandangku aneh karena hal ini.
"Aku harus bagaimana?" tanyaku. "Aku bingung. Harus kujawab apa?"
Momoi-chan menepuk punggunggu seraya berkata, "ini kesempatanmu! Terima saja, [Name]!"
Mudah mengatakannya, tapi bagaimana bisa aku menjawab sambil lurus menatapnya nanti?
-oOo-
Ini waktunya. Setelah menutup resleting tas jinjing milikku dan meletakkannya di atas meja, aku duduk menunggu.
Tak lama kemudian, Akashi-san datang sambil membawa teman-temannya kecuali Kise-kun.
"Kau juga datang, [Name]chin?"
"Kenapa semuanya jadi berkumpul seperti ini-nano ka?" tanya Midorima sambil meletakkan tasnya di samping meja yang tak jauh darinya. "Merepotkan sekali-nanodayo."
"Kise-kun bilang alasannya, 'kan? Kupikir tidak masalah menunggunya sebentar lagi," jawab Tetsuya.
"Tokoh utamanya belum datang juga, dasar," cetus Aomine.
Momoi-chan, sambil tersenyum lebar dan tampak lebih bahagia dari diriku, memeluk diriku dari belakang dengan erat.
Begitu terdengar suara pintu bergeser dari arah depan, kami semua refleks menoleh ke arah sana.
Bukan Kise-kun, tapi Rika-chan. "Rika-chan? Kenapa kau masih di sini?"
"Harusnya aku yang bertanya, kenapa kalian masih berkumpul di sini? Kegiatan piket sudah selesai 10 menit yang lalu, lho."
Aku dan anggota Kiseki no Sedai saling melirik, bingung. Tidak ada yang tahu kenapa Rika-chan belum pulang juga. Namun terlihat kalau dia memang memiliki beberapa urusan yang harus diselesaikannya.
Begitu pintu kembali bergeser, kami kembali melirik ke arah sumbernya. Kini tepat pintu yang ada di dekatku yang terbuka dan menampakkan siluet seorang laki-laki dengan postur atletisnya.
"Ah... semuanya sudah berkumpul-ssu ka? Maaf, aku terlambat. Ada yang harus kuambil dulu," jelas laki-laki bersurai kuning itu.
"Kise, cepat selesaikan ini juga-nanodayo," tuntut Midorima.
"Padahal ini urusanmu, kenapa harus kami semua yang ikut?" tanya Murasakibara sambil mengunyah makanannya.
Ini juga yang kupertanyakan. Segitu percaya dirinya Kise-kun sampai mengundang semuanya.
"Minna! Ada yang ingin kuumumkan," ujarnya dengan intonasi setengah berteriak. "Kali ini, aku akan mengungkapkan perasaanku di depan kalian semua-ssu."
Ini saatnya!
"Aku menyukaimu... Rikacchi."
Keheningan.
Tidak ada yang berkata apa pun, bahkan deritan lantai dengan kaki meja atau kursi pun tidak ada, semuanya tidak ada yang bergerak.
Bahkan aku juga.
Apa ini? Apa maksudnya?
Buket bunga yang sama. Ucapan Rika-chan kala itu kalau perasaannya tersampaikan. Bagaimana mereka terlihat begitu akrab dan sangat dekat.
Kenapa aku tidak menyadari semua itu? Semua kebetulan itu? Padahal begitu sederhana, padahal kalau aku bertanya pada Rika-chan, perempuan itu akan menjawabnya.
Dan lagi... kenapa aku terlalu percaya dengan kebetulan semata ini? Senua kejadian tak disengaja ini?
"Ano... Kise-kun... aku...."
"Jawablah, Rika-chan!" kataku setengah berteriak. "Kau bilang kalau perasaanmu terbalas, 'kan? Kau juga tampak begitu senang. Kalau begitu terimalah!"
Aku tidak tahu apa yang kulakukan ini benar. Namun, rasanya sungguh menyakitkan.
Begitu aku berdiri dan menatap Kise-kun dan Rika-chan yang berdiri saling berhadapan, aku melempar senyuman lebarku seolah tidak ada lagi yang kurasakan.
"Ah, apa kami mengganggu. Aku minta maaf, ya? Kalau begitu...." Aku menunduk, menyembunyikan wajahku. Mataku memanas. "Aku... aku akan keluar dulu."
Dengan langkah tergesa, aku menggeser pintu ruang kelasku yang tanpa sadar kulakukan dengan kasar pun sampai terdengar suara benturan di sana.
"[Name]-chan!!"
-oOo-
Aku menatap jauh, menerawang, kota dan bangunan tinggi di depanku. Angin berhempus, menampar pipiku yang basah.
"[Name]...."
Refleks, aku pun mengusap pipiku dan menoleh ke sumber suara. Akashi-san... seorang diri.
"Kenapa kau di sini?" tanyaku sambil tersenyum sebisa mungkin.
"Bagaimana keadaanmu?"
Diam sesaat. "Sepertinya buruk. Sangat buruk. Maaf, membuatmu harus melihatku yang seperti ini."
Akashi-san melangkah mendekatiku, tangannya ikut bertopang pada pembatas di atap.
"Bagaimana kelanjutannya?" tanyaku memberanikan diri setelah terjadi keheningan yang lama.
"Setelah menerimanya dan gadis itu pergi dengan alasan ada urusan mendadak, Kise dimarahi habis-habisan oleh Momoi."
Aku tertawa kecil. Sudah pasti begitu. Aku bahkan bisa membayangkan ucapan apa saja yang akan keluar dari mulut perempuan itu.
Pupus sudah harapan. Aku dipermainkan oleh kepercayaan diriku sendiri selama ini. Menyakitkan.
"Bagaimana dengan Tetsuya?"
"Dia juga sepertinya kecewa. Tapi... sudahlah. Pada akhirnya dia juga yang memintaku untuk menghiburmu," jelasnya. "Sekarang bagaimana?"
"Bagaimana apa? Aku sudah ditolak dan..."
"...."
"Ini sakit sekali-!" Aku menangis sesegukkan. Menutup wajahku dan mengusap kedua mataku yang sudah basah.
Akashi tertawa. "Ya, silakan. Nangis aja."
"Jangan berkata seperti itu!"
"Iya, iya."
-oOo-
"Bagaimana? Sudah mendingan?" Aku mengangguk kemudian meneguk minuman kaleng yang disodorkan Akashi-san padaku. "Tidak apa-apa. Masih ada banyak lelaki lain, 'kan?
"Dikatakan tentu mudah, melakukannya yang sulit! Lagi pula aku juga sudah menolak Maruyama-san. Oh! Membicarakan dia, apa saat itu ia merasa sesakit ini?" Aku memberengut. "Jadi ini karma untukku?"
"Ini kesempatan...."
Aku menoleh, rasanya barusan seperti mendengar Akashi-san sedang bergumam. "Eh?"
"Ini kesempatan... bagi dirimu untuk menemukan yang baru."
"Bukan masalah kriteria atau bagaimana, masalahnya memangnya ada yang suka padaku? Yang lalu saja kusia-siakan." Aku menghela dan sedikit merucutkan mulutku. "Bodoh sekali, ya?"
"Bagaimana kalau seandainya Aomine mengatakan dia menyukaimu?"
"Ah, yang ada aku jadi nomor dua setelah Mai-chan."
"Murasakibara?"
"Sama saja. Lebih parahnya dengan makanan."
"Midorima?"
"Iie, iie. Seharusnya kau mencoret namanya, aku tidak yakin dia akan mengatakannya dengan jujur. Aku tahu, dia akan menambahkan 'aku melakukan ini untuk menghiburmu, itu saja'."
Akashi-san tertawa. Ah, aku juga jadi ikut tertawa. "Benar juga. Kalau begitu... bagaimana dengan diriku?"
Aku menoleh, melihatnya yang tengah menopangkan dagunya sambil tersenyum padaku. Sesaat aku mematung sambil tersenyum miring sebelum akhirnya tertawa kencang.
Astaga, apa-apaan ini? Membicarakan diri sendiri semudah itu?
"Terima kasih, aku juga menyukaimu," kataku. Seketika hening sesaat. "Kau tahu, terkadang yang kau lakukan pada orang lain membuat mereka salah paham, entah karena kau ingin menutupi sesuatu atau karena kau memang baik tapi aku menyukai keduanya, karena itu kau yang kukenal."
"Kau sedang berkata jujur?"
"Tentu saja!" Suaraku naik satu oktaf, membalasnya dengan pongah. "Aku menyukaimu, Akashi-san. Bagaimana mengatakannya, ya? Seperti... siapa yang tidak menyukaimu? Begitu?"
"Ah... aku mengerti." Akashi mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sejujurnya, aku benar-benar pernah menyukainya. Tapi entah sejak kapan aku berhenti menyukainya.
Apa karena tahu ia teman dekat Tetsuya? Atau karena aku menyadari arti dari perkataanku sebelumnya tentang semua orang yang sudah pasti menyukainya?
Atau...
... aku sadar kalau aku tidak sepadan dengan dirinya?
Kalau dipikir, aku benar-benar menyedihkan dengan diriku yang dulu. Selalu menutupi segalanya seorang diri dan ketika terjatuh pun, aku tidak peduli dengan rasa sakit yang kurasakan.
"Tapi tidak lebih, oke?" aku berpikir sesaat. "Lagi pula, aku masih sayang dengan kehidupanku yang berat ini. Kau tahu? Aku bisa dibunuh official fans club-mu, Akashi-san."
"Memangnya ada?"
"Pura-pura bodoh atau memang tidak tahu?" Aku balas ketus sementara Akashi-san hanya tertawa.
Sudah cukup dengan masalah beberapa waktu lalu yang bahkan tidak ada hubungannya dengan Akashi-san, apalagi kalau pemuda ini ikut yang ada itu hanya memperpendek umurku.
"Ah, itu mereka!"
Aku menoleh ke arah pintu bersamaan. Tepatnya ke arah Kiseki no Sedai yang baru saja memasuki atap sambil membawa beberapa makanan.
Aku berkedip, bingung. Kemudian bertanya, "itu untuk apa?"
"Menghiburmu. Tetsu-kun bilang kalau kau bisa dihibur dengan makanan gratis, jadi kami membelikannya."
Dasar, Tetsuya. Kurang baik apa sepupu hantuku yang satu ini? Saking baiknya, sampai mengerti kalau sogokan sangat efektif untukku.
"Akashi-kun membelikanmu ini, [Name]-chan," ucap Tetsuya sambil menyodorkan kotak tipis yang seperti mengeluarkan kepulan. "Es krim mochi."
Mataku berbinar. Disaat seperti inilah, perasaanku harus diisi dengan es krim mochi seperti ini.
Setelah duduk dan membuka kotak biru itu dan berdoa, aku menusukkan salah satu es krim mochi di dalamnya.
Ukurannya kecil dan pas di mulut, tekstur es krimnya lembut dan mudah meleleh di mulut. Benar-benar menjadi moodboaster-ku.
"Hei, aku juga ingin mencobanya!"
"Aku juga!"
"Sisakan untukku!"
"Oi, Murasakibara! Kau jangan langsung mengambil dua seperti itu-nanodayo."
"Fuah! Dinginnya."
Aku tidak tahu apa bisa menerima kenyataan tadi, tapi aku pasti akan berusaha...
... berusaha untuk menerimanya, tapi sambil menangis.
Aku harus berbicara dengan Kise-kun besok, aku tidak ingin membuatnya kepikiran tentang hal ini terlebih bisa saja malah memperburuk hubungannya dengan yang lain.
Saat tengah memikirkan hal itu, mataku tetiba berputar pada kotak mochi yang tinggal tersisa beberapa.
Begitu aku menusukkan kembali salah satunya, aku sodorkan mochi itu pada Akashi-san yang hanya melihat kami makan-makan seperti ini.
"Kenapa?" tanyanya.
"Kau yang membelinya tapi kau yang tidak memakannya, setidaknya cobalah satu."
"Untukmu saja."
"Aku memaksa, lho, Akashi Seijuuro-san."
Walaupun tampak terlihat setengah hati dan terpaksa, Akashi-san tetap memakannya. Aku sempat terkejut karena dia langsung saja memakannya bukan mengambil tusukannya, tapi sudahlah, aku tidak ingin membuat masalah lain.
Setidaknya, terimakasih kepada teman-temanku untuk hiburannya. Terimakasih
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro