After Ending
"Jadi begitu, ya?"
Aku mengangguk. Pada dasarnya, Akashi—Sei—yang memojokanku untuk mengatakan perasaanku yang sebenarnya dan tentu aku tidak mengatakannya.
Tapi dia bilang "jalani saja dulu" seolah ini hanya permainan yang bisa dicoba-coba seenaknya.
"Ya, baiklah. Jalani saja dulu."
"Benar. Jalani saja dulu, mungkin saja kau akan lebih jatuh hati kepadaku daripada aku kepadamu."
Aku menoleh cepat ke belakang, tepat ketika Seijuuro sudah datang. Sial, kenapa disaat seperti ini dia datang?
"Padahal aku tidak memaksamu, lho."
Aku tertawa canggung. "Memang tidak, tapi seperti memaksa." Aku menekan beberapa kata.
"Kalau begitu, kau tinggal menerima perasaanku saja. Apa susahnya?"
Wajahku meledak panas. Kenapa ia bisa mengatakan hal itu semudah membalikkan telapak tangan!? Apa ia sadar dari apa yang ia katakan barusan membuat kami berdua kini menjadi pusat perhatian?
"K-kau—!?"
"Akashi-kun, kau pasti bisa," sahut Momoi-chan yang duduk di depanku.
"Bersabarlah, Akashi-kun. Semangat," Tetsuya menambahkan.
"Ini pasti sulit untukmu, Akashi-kun," kini giliran Rika-chan.
Entah kenapa rasanya akulah penjahatnya di sini? Hei, jika menerima perasaan seseorang semudah itu sudah kulakukan dari dulu!
Akashi menopang wajahnya, menolah ke arahku dan merekahkan senyumanya yang manis.
"Tidak apa, aku akan menunggu. Lagi pula benih tidak bisa tumbuh dalam semalam, 'kan?" katanya.
Aku terdiam seketika. Benar, benih tidak akan tumbuh dalam semalam. Perlahan jika itu dirawat dengan baik, ia akan tumbuh dengan baik.
Namun apa aku juga seperti itu?
Saat aku memikirkan hal itu dan kembali mengunci pandanganku ke arah pemuda berambut merah disampingku, dadaku berdegup tiba-tiba. Aku menyembunyikan setengah wajahku yang kurasakan mulai memanas dan membuang wajahku.
"Berbicara tentang bung, kau belum memberitahunya, [Name]-chan?" Momoi-chan menginteruspi, bertanya.
Aku melirikkan mataku padanya. "Apa?"
"Bunga yang terakhir Akashi-kun berikan itu bunga apa?"
"Tidak tahu! Aku tidak ingin tahu!" Aku merengut. Membuang pandanganku kembali ke sembarang arah.
"Ehh... kau yakin tidak ingin tahu," Seijuuro ikut membuka suara. Dia terdengar sedang mempermainkanku.
"Iya, aku yakin."
"Memangnya itu bunga apa, Akashi-kun?" Momoi-chan mengalihkan pertanyaan.
Aku tidak ingin tahu. Aku tidak ingin dengar. Pun aku tidak ingin peduli!
"Bunga lilac," kata laki-laki bersurai red pinkish itu.
Aku meluruskan posisi dudukku menjadi berhadapan dengan Momoi-chan, kuperhatikan sobatku yang satu ini tengah sibuk memainkan ponselya.
Alisku bertaut bingung. Apa yang sedang dia lakukan? "Jangan-jangan kau mencari—"
"—artinya cinta pertama."
Wajahku seketika ingin meledak. Aku kembali membuang wajahku ke sembarang arah yang terpenting bukan ke arah Seijuuro.
Tolong jangan mengatakan apa pun lagi, Momoi-chan.
"Akashi-kun... [Name]-chan benar-benar cinta pertamamu?"
Aku tidak tahu wajah apa yang diberikan Ketua OSIS otoriter ini, tapi ada baiknya dia juga tidak menjawab apa pun.
"Ya, dia memang cinta pertamaku."
AKU MENYERAH! aku memutar tubuhku cepat ke arah Seijuuro dan berdehem seperti tidak ada apa pun yang terjadi.
"Saya sangat menghargai perasaan Anda, Akashi-sama," kataku, menghilangkan kegugupan. Bersikap sok keren padahal aku sendiri merasakan wajahku semerah tomat. "Jadi tolong jangan katakan apa pun lagi yang bisa membuat saya terbunuh pelan-pelan. Saya mengharapkan pengertian Anda."
Sambil bertopang dagu dan mengangkat tangannya seraya menyentuh pucuk kepalaku, Seijuuro berkata, "ya, kekasihku yang ini memang manis."
Jujur, ini lebih dari kata gawat.
—oOo—
"Kau ini kenapa, Rika-chan? Rasanya terlihat jelas kalau kau ingin membunuhku." Alisku berkerut.
Apa yang kukatakan memang jujur, sedari tadi Rika-chan menghindari pandanganku dan terlihat sebal.
"[Name]-chan, kau tidak boleh putus dengan Akashi-kun, ya!"
Eh!??? Ini perintah? Tapi kenapa tiba-tiba seperti ini, ada apa dengan Rika-chan? "Memangnya kenapa, Rika-chan?"
"Aku hampir gila jika berada di dekatnya terus! Dia tidak pernah ada waktu lagi untuk bersamaku, sibuk dengan latihannya, sibuk dengan pekerjaannya."
"Bukankah dari dulu dia seperti itu?" tanyaku. Aku melanjutkan, "kupikir kau harus mendukungnya terus selama itu baik."
"Apanya yang baik? Bahkan ketika aku melampiaskan kekesalanku padanya, dia malah berkata, 'kalau tahu begini, lebih baik aku menjadi kekasih [Name]cchi'."
Eeh... pernyataan yang menyakitkan, ya. Tapi entah kenapa, aku sudah tidak bisa merasakan apa pun, biasanya aku pasti akan senang jika mendengar hal itu karena merasa masih ada harapan.
Apa mungkin aku sudah benar-benar melupakan perasaanku pada Kise-kun?
"Kau menyesal menerimanya, Rika-chan?"
Dia terdiam sesaat. "Kalau kukatakan menyesal...." Dia menggeleng kuat. "... aku tidak menyesal. Mungkin kau benar, aku harus mendukungnya terus."
Aku tersenyum senang. "Kalau begitu, bersemangatlah, Rika-chan!"
—oOo—
"Tidak biasanya kau lebih cepat datangnya, Kise-kun."
Kise-kun melirik malas ke arahku. Dia terlihat lebih lesuh dari biasanya. Sepertinya badai sedang menyerangnya.
Laki-laki di depanku ini menghela nafas. "Aku tidak habis pikir dengan Rikacchi. Dia berisik sekali, selalu meminta ini dan itu tapi tidak melihat betapa sibuknya aku-ssu."
Aku tertawa kaku. Kalau boleh jujur, sebenarnya Kise-kun sendiri tidak kalah bawel dari Rika-chan.
"Coba berbicaralah baik-baik dengannya, Kise-kun. Aku yakin dia akan mengerti."
Dia menghelakan nafasnya sekali lagi. "Aku tahu, aku harus berbicara padanya," katanya. Kise-kun tersenyum lebar dan melanjutkan, "ternyata berbicara dengan [Name]cchi menyenangkan juga, aku menyukainya-ssu."
Iya, kau boleh mengatakan itu kalau Seijuuro tidak ada disini. Sayangnya kau mengatakan itu saat Seijuuro ada di belakangmu sambil membawa nampan dengan makanan di atasnya.
Karena tidak menyadari diriku yang tetiba diam saja, akhirnya aku memberikan reaksi dengan menggerlingkan bola mataku agar ia ikut melihat ke arah yang kumaksud.
"Kenapa kau—"
Suara Kise-kun tercekat begitu saja saat menyadari siapa gerangan di belakangnya.
Tanpa bersuara, Seijuuro memgambil tempat kosong di sampingku. Lantas demi menghilangkan kecanggungan, aku asal memgambil minuman miliknya dan menyeruputnya.
"Ano... Akashicchi, bukan maksudku...."
Kise-kun melirik ke arahku, pandanhannya seolah berkata, "tolong aku, [Name]cchi. Bantu aku menjelaskannya pada Akashicchi!"
Eeh... aku tidak ingin ikut dalam masalah ini, lho, Kise-kun. Berpura-pura tidak melihat, aku membuang wajahku ke sembarang arah.
"Begitu yang dikatakan Kise, Akashi," kata Aomine. Dia sengaja menyulutkan api! "Ini kesempatan untukmu, [Name]."
Kesempatan apa!? Momoi-chan menyikut Aomine agar diam. Ya, ini gawat! Hawanya jadi mencengkam seperti ini!
Kalau aku membela Kise-kun dan mencoba mendinginkan suasana, yang ada Seijuuro akan menganggap aku membelanya.
Tidak. Itu pilihan paling buruk. Melawan Akashi? Yang benar saja! Aku tidak segila itu!
"Memangnya dia bisa?" Seijuuro akhirnya membuka suara.
Aku melepaskan sedotan yang sedari tadi berada di dalam mulutku, alih-alih sebagai penutup mulut agar aku tidak berbicara apa pun.
Namun, kenapa suasananya semakin tidak enak saja? Aku harus pergi dari sini.
Aku pun berdiri, berniat pergi sekarang. Sebelum aku izin menyingkir dari tempat ini, tetiba Seijuuro ikut berdiri dan menarik tanganku.
Hal tak terduga terjadi selanjutnya, dia mengecupku dengan tiba-tiba! Bibir lembut itu menyapu dahiku.
Semua suara di kantin tercekat serempak. Tak lama kemudian, Seijuuro melepaskannya dan duduk kembali dengan santai seolah tak terjadi apa pun.
Oh, sial. Sekarang aku malah tidak bisa pergi lagi dari sini. Entah kenapa dengan refleks aku pun duduk kembali.
"Akashi-kun, kau benar-benar nekat, ya?" ujar Tetsuya polos.
"Karena akan kupastikan kalau [Name] tidak akan melupakan kecupan itu."
Tentu saja, bagaimana bisa aku melupakan hal itu kalau kau adalah laki-laki pertama yang melakukan itu selain Papa!?
—oOo—
Aku mengubah tumpuan kakiku. Ini kebiasaanku yang baru selama sebulan terakhir: menunggu Seijuuro mengganti seragamnya.
Kalau dia tidak tetiba mengajakku untuk makan malam istimewa bersama, aku tidak akan menurutinya semudah ini.
Terlebih, katanya ada hal penting yang harus dibicarakan. Toh kebetulan besok hari libur dan aku sedang senggang hari ini, tidak masalah aku menerimanya.
"Maaf, membuatmu menunggu lama." Aku menoleh ke arah laki-laki di sampingku. "Ayo, kita pergi."
Selalu seperti ini, setiap Seijuuro mengatakan hal itu, dia langsung menggenggam tanganku.
Begitu keluar dari area sekolah, sebuah mobil hitam sudah menunggu di depan. Pintu dibuka oleh Seijuuro, lantas aku pun masuk lebih dulu.
Begitu Seijuuro masuk dan menutup pintu, aku pun bertanya, "memangnya ada hal penting apa sampai tiba-tiba seperti ini, Sei?"
Dia tersenyum seala kadarnya, tak menjawab tapi hanya berkata, "kau akan tahu."
Aku memandang ke arah luar jendela. Ahh... sudah hampir malam, ya? Mama dan Papa juga mengabarkan kalau sekitar minggu ini mereka akan pulang ke Jepang, tapi sampai sekarang pun mereka belum mengabarkan sudah sampai di mana.
Namun yang membuatku lebih khawatir adalah keadaan kekasihku sendiri. Setelah kejadian di kantin tadi, dia jadi lebih tenang.
Ini bahkan lebih menyeramkan dari yang tadi!
"Kau kenapa, Sei?"
Seijuuro sedikit mengadah dan memutar lehernya melihat ke arahku. "Kenapa?"
Aku mengangguk. "Kau jadi lebih tenang."
"Tidak ada."
Jelas sekali berbohong. Aku menghela nafas dan mendekatinya dengan mendekatkan wajahku pada wajahnya.
"Eeeh... berbohong, ya?" kataku, menggodanya. Aku tersenyum jahil.
"Tidak."
Aku merucutkan mulutku, tapi tetiba sebuah ide terlintas. Aku kembali mengembangkan senyuman jahilku, "oh! Akashi Seijuuro cemburu, ya?"
"Cemburu?" Seijuuro akhirnya menoleh padaku.
Aku tersenyum. "Iya, habisnya kau selalu salah sangka pada Kise-kun. Beranggapan kalau aku menyukainya. Memangnya kau pikir aku akan menggunakan kesempatan itu untuk memutuskanmu?"
Dia diam sesaat. Gawat! Gawat! Gawat! Ini lebih buruk! Tidak, tapi ini memang buruk!
Aku tertawa kaku dan berkata, "eeeh... aku hanya bercanda, kok. Jangan terlalu diambil hati begitu, Sei—"
"Sepertinya aku memang cemburu dan takut...."
"Eh ...?"
Seijuuro menatapku lekat. Pandangannya tampak menjauh, ada hal yang ditakutinya.
"Aku takut... kalau suatu saat kau akan meninggalkanku, kau mengerti, 'kan ...?"
Jelas Seijuro tidak ingin memperjelas maksud yang ingin ia sampaikan. Karena sejak awal ia memintaku menjalani ini dulu, jika aku tidak membalas perasaannya bukankah daripada menjalin hubungan dengan seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya lebih baik ia memutuskan diriku?
Memikirkannya membuat dadaku sakit.
Entah kenapa, dari kata-katanya aku bisa merasakan luka yang dalam. Kenapa Seijuuro berkata seolah dia benar-benar pernah terluka begitu dalam? Apa ada seseorang yang pernah meninggalkannya? Seseorang yang disayanginya?
Siapa ...?
"Sei...."
Seijuuro menarik tubuhku dalam dekapannya, memelukku ke dalam tubuhnya yang sedikit lebih besar itu.
Dia pun berbisik, "aku akan lakukan apa pun agar kau menyukaiku, karena itu... jangan pernah meninggalkanku."
Tanpa sadar, aku menyusuri punggungnya dan balas memeluknya hangat.
Mana mungkin aku bisa melepaskan punggungnya yang ternyata serapuh ini?
... dan mungkin, aku saat ini sudah mulai jatuh hati padanya.
—oOo—
"Kenapa ke rumahmu?" aku bertanya dengan alis terangkat, bingung. Ini memang bukan pertamakalinya aku ke sini, tapi tetiba dibawa ke tempat ini aku jadi bingung.
"Karena orang tuamu ada di dalam."
Mataku membulat sempurna, aku tidak mengerti bagaimana mereka bisa ada di tempat ini.
Aku menahan tangan Seijuuro sebelum sempurna memasuki rumahnya. "Bagaimana bisa?"
"Kau tidak tahu?" Seijuuro bertanya dengan wajah polosnya. "Otousan bertemu dengan orang tuamu saat di Irlandia."
"Eh ...?" Saat di Irlandia? Tunggu! Jangan-jangan maksud di surat yang Mama tulis saat itu, tentang bertemu seorang pengusaha dari negeri asalnya... adalah Ayahnya Seijuuro?
Seolah bisa membaca pikiranku, Seijuuro berkata, "begitulah. Otousan juga sepertinya sudah lama menjalin kerjasama dengan Ayahmu."
Kenapa tidak ada yang mengatakannya padaku sejak awal?
Setelah aku memasuki rumah—mansion—keluarga Akashi, pertama aku di bawa ke suatu ruangan. Ruang ganti pakaian.
Makan malam keluarga memggunakan seragam sekolah memang kurang sopan, makannya aku menyetujuinya saat diminta untuk mengganti seragamku.
Namun, apa tidak terlihat berlebihan. Walaupun tampak sederhana, tetap saja bagiku kalau hanya untuk makan malam ini terlihat berlebihan.
"Kau sudah selesai?"
Aku hampir melompat kaget. Namun begitu menyadari itu Seijuuro dalam balutan kemeja putih dan celana bahan yang dimbah ropi, aku segera menarik nafasku dalam.
Aku mengangguk. "Sudah," kataku.
Sambil tersenyum, Seijuuro berkata, "kau terlihat cantik."
Tanpa sadar aku tersenyum tipis denagn wajah yang kurasakan mulai memanas mendengar pujian itu. "Arigatou, Sei."
—oOo—
Saat aku datang dengan Seijuuro, Mama langsung menyapaku dengan memanggil namaku seolah sudah sangat lama tidak melihatku.
"Ahh... kau jadi makin cantik saja, [Name]."
Aku tertawa kecil. "Arigatou, Mama. Oh, kenapa kalian tidak mengatakannya padaku kalau sudah pulang hari ini?"
Mama dan Papa saling melirik. Tetiba Papa berdehem dan berkata, "Papa tidak sempat."
Aku tahu, Papa sedang beralasan. Aku menatapnya dengan tajam yang membuat Papa mengalihkan pandangannya dan Mama hanya tersenyum geli.
"Kalau begitu, kalian bisa duduk di sana," sapa Ayah Seijuuro.
"Ha'i, Otousan."
—oOo—
"Ahh... jadi begitu. Sayang sekali Mama tidak bisa melihatnya."
Sejujurnya, saat pementasan Phantom of The Opera kala itu, aku berharap Mama dan Papa bisa melihatnya.
Eh? Apa mungkin ada masih ada rekamannya, ya?
"Saya bisa menunjukkan rekaman saat pementasan itu," kata Seijuuro.
"Arigatou, Sei-kun." Mama rerlihat bersemangat. Kilatan aneh sedikit keluar dari matanya. "Oh... bagaimana hubungam kalian?"
Sebelum Seijuuro membuka suara, aku menggenggam tangannya dan melirikkan seolah berkata, "biar aku saja yang jawab! Kau diam saja!"
Seijuuro hanya mengendus pelan lantas aku berkata, "ya, semua baik-baik saja. Sebenarnya jadi teman Seijuuro... -san itu merepotkan kalau boleh jujur."
"Teman?"
"Seijuuro itu terkenal di Teiko, jadi agak merepotkan kalau sampai ada gosip aneh tentangku dengannya yang tersebar hanya karena kami terlalu dekat."
Ah, karena kebiasaan aku sampai lupa menambahkan embel-embel di belakang nama Sei.
Sudahlah, lagi pula tidak ada yang menyadarinya juga.
"Hanya sebatas teman—"
"Sebenarnya...."
Aku dengan cepat melirik ke arah Seijuuro sebelum ia sempurna melengkapi kalimatnya.
Terlebih Mama terlihat langsung tertarik dan menghentikan kata-katanya juga. Namun, Seijuuro hanya tersenyum miring dan melanjutkan, "... aku dan [Name] sudah berpacaran sejak sebulan yang lalu."
SUDAH KUDUGA! Kenapa dia selalu bisa mengatakan hal seperti itu dengan mudahnya?!
Sesaat terjadi keheningan, tapi tetiba Ayah Seijuuro berdehem dan berkata, "bagus kalau begitu, semuanya jadi lebih mudah."
"Ah, syukurlah! Benarkan, Papa?" Mama menyahut antusias.
"Seijuro, setelah ini aku ingin berbicara denganmu," Papa menambahkan dengan wajah serius.
"Tentu saja." Wajah Sei terlihat sangat cerah.
Hah? Kenapa? Sebenarnya ada apa? Sebentar... kenapa... KENAPA JADI SEPERTI INI!?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro