Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 3

Gamang adalah satu dari sekian banyak kosakata yang berkecamuk dalam benak Irene. Perasaan yang terbentuk akibat terjadinya kesenjangan kinerja logika dan nurani. Antara otak dan hatinya. Antara fakta dan keyakinannya.

Irene membenamkan kesadarannya ke dalam lamunan. Pikirannya melayang jauh, berkelana tanpa arah tujuan. Tatapannya kosong meski matanya menatap jendela besar yang tengah terbuka lebar memperlihatkan pemandangan ibukota di malam hari.

Kerlap-kerlip lampu yang berwarna-warni bagai taburan bintang di langit malam tidak membuatnya tertarik. Bahkan, Irene mengacuhkan keindahan pemandangan itu.

Pikirannya sibuk menyibak tabir misteri yang membuatnya merasa terjebak dalam sebuah labirin. Sebuah lorong tanpa ujung. Sebuah masalah tanpa penyelesaian.

Ketika berbagai bukti disuguhkan ke hadapannya, fakta-fakta jika Irene Maria Sanjaya telah menikahi pria bernama Sebastian El Yahya satu tahun lalu, Irene hanya bisa mematung. Otaknya langsung membeku ketika melihat dokumen dan beberapa album foto yang dibawa Sebastian kemarin siang.

Semua itu terasa tidak nyata.

Namun, jika bukti-bukti yang berisi fakta itu tidak nyata lalu apakah definisi kebenaran itu sendiri?

Kepala Irene serasa mau pecah ketika memikirkan semua hal itu.

Irene benar-benar merasa kesepian seperti berada dalam kotak sempit dan mengurungnya ke dalam kegelapan yang pekat. Terlebih, ketika Irene tidak dapat menghubungi nenek dan kedua adiknya.

Sebastian sudah memperingatkannya jika kesehatan neneknya yang kini tinggal bersama Alexander memburuk. Sedangkan Gladys, adik perempuannya, sibuk dengan tugas akhirnya untuk memperoleh gelar sarjana. Irene benar-benar merasa sendirian.

Tidak.

Irene tidak sepenuhnya merasa sendirian. Dia memang kesepian tetapi dia tidak pernah sendirian. Ada seseorang yang selalu ada di sisinya. Dengan sabar menjaga dan memperhatikan kondisinya.

Irene dulu mungkin tidak akan pernah menerima jika Sebastian adalah suaminya. Dan, mungkin tidak akan mau menerima kenyataan secepat ini. Bahkan, seketika itu, dia mungkin bisa memutuskan untuk bercerai.

Namun, Irene sekarang tidak melakukan semua itu. Dia tidak berteriak histeris dan menyalahkan segala keadaan yang membuatnya terperangkap dalam labirin yang penuh teka-teki.

Irene memang bingung dan gamang tetapi dia menerima kenyataan jika Sebastian adalah suaminya.

Bagaimana mungkin Irene tidak menerima jika Sebastian adalah suaminya ketika pria itu selalu menjaganya. Bahkan, ketika Irene berpura-pura tidur untuk menghindarinya, Sebastian tetap menatapnya penuh kasih sayang. Mencium ujung kepalanya dengan lembut dan memperlakukannya seperti sesuatu yang berharga. Membuat Irene semakin luluh pada pesona pria itu.

Irene memang tidak pernah diperlakukan selembut ini. Bahkan, Lucas sekali pun.

Orang-orang di sekitar Irene selalu memperlakukan dirinya sebagai seorang wanita yang independen. Wanita pekerja keras yang penuh ambisi. Tidak pernah memberinya jeda untuk bernapas sebelum memulai pertempuran di medan peperangan bisnisnya.

Ketika Sebastian memberinya semua pengharapan dalam hidupnya sebagai wanita. Memberinya waktu untuk bernapas dan seluruh perhatian berlebih. Sebastian memperlakukan Irene sebagaimana wanita normal pada umumnya. Tidak seperti orang-orang yang menganggapnya sebagai wanita berhati besi dan bertulang baja. Wanita mandiri yang mampu melakukan segala hal seorang diri.

Sebagai wanita normal, tentu saja Irene segera berdamai dengan egonya. Dan, menerima Sebastian sebagai suaminya meskipun terdapat celah-celah kecil dalam hatinya yang masih tersusupi keraguan. Pun sedikit ketakutan.

"Bagaimana keadaanmu hari ini, Irene?"

Pertanyaan Sebastian membuat Irene berjengkit kaget. Dia segera menoleh ke sumber suara bariton tersebut.

Irene tersenyum masam ketika mendengar Sebastian tidak lagi memanggilnya Sayang. Irene memang meminta Sebastian memanggil namanya bukan panggilan sebagaimana pria itu memanggil istrinya.

"Jauh lebih baik."

Sebastian membalasnya dengan senyum tulus yang menyiratkan kelegaan yang kentara. Irene tahu pria itu tidak sedang berakting menjadi suami yang baik. Dan, jika memang Sebastian sedang berakting maka Sebastian sangat layak memperoleh penghargaan sebagai aktor paling memukau.

"Maaf, aku tidak menemuimu pagi ini," Sebastian meletakkan sesuatu di meja lalu berjalan menghampiri Irene yang kini duduk di tempat tidurnya.

"Tidak apa-apa karena sejak tadi pagi aku tidur," dusta Irene meskipun sejak tadi pagi dia terus menunggu kedatangan Sebastian ke ruang inapnya.

"Oh, ya. Aku membelikan sup iga sapi favoritmu."

Sebastian segera mengambil mangkuk dan menuangkan sup iga sapi ke dalam mangkuk berwarna biru tua tersebut dan membawanya ke tempat Irene.

Irene menelan ludahnya ketika mencium aroma sup. Tanpa basa-basi dan memedulikan Sebastian, dia menghabiskan sup yang berisi sayuran dan iga sapi tersebut dengan cepat. Memakannya dengan lahap.

"Bagaimana, enak? Lebih baik dari masakan di rumah sakit ini?"

Sebastian tertawa melihat respons istrinya yang tengah merona setelah menyadari dia seperti orang  kelaparan yang menahun. Melahap habis sup tersebut dan mengabaikan semua hal di sekitarnya.

Irene tidak pernah merasa selapar ini sebelumnya. Sejak di rumah sakit dia juga merasa ada yang aneh dalam dirinya. Irene tidak lagi menjadi orang yang pemilih dalam hal makanan. Bahkan, dia mampu menghabiskan sup tersebut setelah baru saja menghabiskan makan malamnya beberapa menit yang lalu.

"Sebelum ke sini aku menemui dr. Irwan dan dia mengatakan kamu bisa pulang besok," kata Sebastian sembari mengambil mangkuk dan gelas yang berada di atas nampan dan meletakkannya ke meja.

"Pulang?" Irene membeo.

Irene tahu jika dia akan pulang tetapi dia tidak tahu ke mana tempatnya pulang. Dia terlalu sungkan menanyakan kehidupannya pernikahannya bersama Sebastian meskipun album-album foto yang dibawa Sebastian kemarin siang sudah menjelaskan semuanya.

"Pulang ke rumah kita."

"Sebastian, bisakah kau memberiku waktu?" tanya Irene tiba-tiba setelah diserang rasa panik.

"Waktu?" Sebastian menaikkan satu alisnya. "Untuk apa?"

"Untuk berpikir dan menata ulang semua hal." Irene menjawabnya frustrasi. Dia memang menerima Sebastian sebagai suaminya tetapi dia belum siap menjalani kehidupan berumah tangga bersama pria tersebut. "Melihat bukti-bukti yang kau berikan kemarin, aku yakin kalau aku memang istrimu, tapi hatiku masih belum menerimanya."

Sebastian mendengarkan penjelasan Irene dalam diam. Wanita itu pun segera melanjutkan penjelasannya setelah menarik napas dalam.

"Meyakini dan menerima adalah dua hal yang berbeda. Aku perlu waktu untuk berpikir dan menenangkan diri sekaligus mempersiapkan diri sebagai istrimu." Irene menatap Sebastian sebentar dan pria itu diam seribu bahasa. Membuat Irene sedikit ragu untuk melanjutkan. "Bagaimana mungkin aku bisa percaya sebuah fakta bahwa aku menjadi istri seseorang setelah aku terbangun dari kecelakaan?"

Setelah terdiam, akhirnya Sebastian menghela napas. "Berapa lama?"

"Aku tidak tahu."

Sebastian kembali menaikkan satu alisnya. "Kamu bahkan tidak bisa memberiku kepastian berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk berpikir? Aku tidak bisa menerima kesepakatan yang tidak pasti."

Irene terdiam sejenak untuk berpikir. "Dua atau tiga bulan, mungkin?"

"Tidak. Aku tidak bisa menunggu selama itu," putus Sebastian sepihak.

Irene pun kini jengkel dengan sikap Sebastian. Tadi, pria itu meminta kepastian berapa lama waktu yang dibutuhkannya untuk berpikir tetapi setelah memberikan kepastian, Sebastian malah menolak keinginannya.

"Bukankah kau hanya memintaku memberikan kepastian."

"Irene, Demi Tuhan, kamu adalah istriku. Kita menikah dalam keadaan sadar. Bahkan, sebelum kecelakaan itu terjadi!"

"Aku tahu." Irene mencoba bersabar. Ini adalah saat yang tepat memutuskan bagaimana hubungannya dengan Sebastian selanjutnya.

"Lalu untuk apa kamu memerlukan waktu untuk berpikir?"

"Pikiranku kacau, Sebastian. Dan, menikah denganmu terasa tidak nyata. Seperti bukan aku. Aku bahkan telah lupa alasan kenapa kita---"

Sebelum Irene menyelesaikan kalimatnya, mulutnya telah terbungkam. Irene masih membelalak kaget ketika pria itu secara tiba-tiba melumat bibirnya.

Sebastian memberikan ciuman yang berbeda, tidak seperti ciuman lembut beberapa hari ini ketika dia dirawat di rumah sakit, melainkan sebuah ciuman yang panjang dan menuntut. Membuat napas Irene memburu karena kehilangan pasokan oksigen dalam dalam paru-parunya.

"Apa kau membencinya?" tanya Sebastian di sela-sela kecupan-kecupan kecil di bibirnya.

"E-entahlah." Irene menjawabnya dengan suara parau. Tidak sanggup menerima gelenyar asing yang menyerangnya bertubi-tubi.

"Bagaimana dengan ini?"

Sebastian mencium bibir Irene kemudian beralih ke dagunya dan mencicipi leher jenjang wanita itu yang seputih porselen. Ketika Sebastian mulai membuka atasan Irene, dengan sisa-sisa kewarasan yang masih berada dalam akalnya, Irene menghentikan tindakan Sebastian. Mendorong jauh pria itu.

Sebastian tidak marah dengan apa yang dilakukan Irene. Mungkin dia malah berterima kasih karena jika tidak dia pasti akan berbuat melewati batas. Dan, Sebastian tidak ingin menjadi seorang pria yang memperlakukan istrinya dengan tidak senonoh di tempat umum meskipun kamar inap Irene bersifat VVIP.

"Masih terasa tidak nyata?" tanya Sebastian menghilangkan kecanggungan di antara mereka. Setelah mereka berhasil memadamkan gairah yang seharusnya tidak tersulut.

"Bagimu mungkin kita telah melalui berbagai tahapan hingga akhirnya aku memutuskan menikah denganmu, tapi tidak bagiku. Bagiku reuni dua tahun lalu adalah pertemuan pertama kita semenjak SMA. Dan, aku benar-benar memerlukan waktu untuk berpikir, Sebastian."

"Aku memberikanmu waktu berpikir..." Sebastian mengulum senyum kecilnya. "tetapi berada di sampingku."

"Aku butuh sendiri, Sebastian. Berdiam diri memikirkan semua hal."

"Tidak!" Sebastian dengan cepat menyela ucapan Irene. "Kau tidak boleh pergi meninggalkanku."

Irene memutar bola matanya melihat sikap Sebastian yang berbeda dari bayangannya. "Aku tidak tahu kalau kau menjadi suami yang sangat posesif dan overprotective."

"Dua kali, Irene!" Sebastian berkata dengan nada frustrasi. "Kamu mengalami dua kali kecelakaan. Aku tidak bisa menolerir kecerobohanmu lagi ketika kamu memutuskan pergi sendiri. Kau membuatku gila. Gila karena mencemaskan keadaanmu."

"Aku baik-baik saja, Sebastian. Bukankah dokter mengatakan jika aku baik-baik saja. Kenapa kau harus mencemaskanku?"

"Karena kamu sedang hamil, Irene. Dan, sekarang adalah masa-masa yang sangat rentan untuk kehamilanmu. Dokter bahkan mengatakan kamu sungguh beruntung karena kecelakaan itu hanya menyebabkan benturan di kepalamu."

Irene mengerjapkan matanya berkali-kali sebelum mencerna ucapan Sebastian. "Ha-hamil?" tanyanya tergagap karena terkejut. "Siapa yang hamil?"

"Kamu, Irene."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro