Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 2

15 Bulan - Awakening (2)

Wajah-wajah asing tetapi familier memenuhi pandangan Irene. Datang silir berganti. Menghampiri dan menjabat tangan lalu berbasa-basi bertanya mengenai kabar. Mengajak Irene mengobrol dan bernostalgia lalu kecewa luar biasa ketika mereka menyadari jika orang yang mereka ajak bicara adalah orang yang salah.

"Jadi, kau bukan Rina?" tanya wanita berbibir semerah darah dengan wajah tidak percaya. "Rina Wulandari angkatan 2006."

"Bukan, aku bukan Rina," jawab Irene sembari tersenyum masam. Lelah menjelaskan siapa dirinya berkali-kali. "Namaku Irene Sanjaya, angkatan 2004."

Irene bahkan tidak tahu wanita bernama Rina Wulandari. Sialnya, sudah empat kali nama itu diasosikan dengannya. Mau tidak mau membuat Irene penasaran mengenai sosok wanita bernama Rina Wulandari. Penasaran berapa persen tingkat kemiripannya hingga orang-orang salah mengenali. Namun, Irene tidak boleh kesal jika mereka salah mengenali karena penampilannya saat SMA sangat berbeda.

"Irene!"

Sebuah panggilan berhasil mengalihkan fokusnya. Dari kejauhan seorang wanita bergaun merah marun selutut melambaikan tangan dengan semangat.

Seperti bertemu dewi fortuna, Irene pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Segera berniat meninggalkan wanita keras kepala yang memaksa dan menuntutnya bernama Rina Wulandari.

Pamit dengan terburu-buru, Irene pun berbalik tanpa melihat ke belakang. Dia tidak menyadari kehadiran seseorang di belakang hingga Irene pun menabrak orang tersebut.

Benturan dengan tubuh pria itu membuat tubuhnya terhuyung ke belakang. Membuatnya kehilangan kendali dirinya. Terlebih, high heels setinggi 9 cm semakin memperparah keadaan.

Irene pun kehilangan keseimbangan. Dia menutup mata karena kejadian ini pasti akan sangat memalukan. Membayangkan dirinya terjatuh dengan cara mengenaskan dan kembali menjadi bulan-bulanan orang-orang seperti masa putih abu-abunya.

Irene segera merutuki keputusannya untuk mendatangi reuni sekolah ini. Namun, sepertinya pikiran negatif itu hanya berakhir di kepalanya saja. Irene tidak terjatuh dengan menyedihkan.

Seseorang menyangga tubuhnya dari belakang. Memegang pundaknya dengan kedua tangan yang kuat. Membantu Irene berdiri tegak.

Membuka mata, kepala Irene pun menoleh. Melihat pahlawan yang datang menyelamatkannya dari bencana memalukan.

Namun, ketika menyadari sosok pahlawannya. Irene segera membelalakkan mata. Bahkan, menahan napas ketika mendapati wajah seorang pria tengah menyeringai kecil.

Wajah seorang pria yang dikenalnya!

Seorang pria yang membuat kehidupan SMA menjadi masa paling membekas dalam ingatannya. Bukan sebuah ingatan yang indah, melainkan sebuah bencana tiada akhir. Mimpi buruk tanpa ujung.

Tergesa-gesa, Irene pun melepaskan diri darinya. Berdiri tanpa bantuan pria itu.

"Kamu masih saja tidak berubah, Ketua Kelas," ucap pria itu dengan senyum miring. "Tetap ceroboh."

Pria itu menunjukkan wajah pongah seperti sepuluh tahun lalu. Roman menjengkelkan itu tetap terukir jelas meskipun sudah dimakan usia.

Irene masih mematung dengan mata tidak berkedip. Menatap lurus pria yang memakai setelan mahal tersebut.

Ingatan masa lalu yang tersimpan dalam memorinya pun terbuka. Otaknya segera bekerja. Membandingkan sosok pria itu di masa lalu dan yang berdiri di hadapannya.

Suara pria itu terdengar lebih berat dari yang diingatnya.

Oh, tidak!

Tidak hanya suaranya yang berubah, sosoknya pun telah berubah total. Mata kecil yang menatap jahil itu kini berubah menjadi tatapan tajam. Pipinya terlihat lebih tirus akibat tulang rahangnya yang berubah lebih tegas. Terpahat dengan sempurna. Menunjukkkan sisi maskulinnya. Terlebih, bulu-bulu halus yang dibiarkannya tumbuh dengan sempurna di wajahnya. Dalam sekali lihat, Irene tahu jika pria itu benar-benar berubah dari seorang player tengil menjadi seorang cassanova berwajah tampan.

"Sebenarnya kamu boleh saja mengagumi wajah tampanku selama yang kamu mau, tapi aku harus menemui seseorang." Pria itu tertawa sumbang dan memaksa Irene tersadar dari lamunan. "Terlebih temanmu, Ganetha, sepertinya sedang menunggumu."

"Siapa yang mengagumi wajahmu, Seb?!" tukas Irene mendengus marah. Menatapnya dengan mata menyipit dengan kekesalan berada di ambang batas. "Kau tetap saja menjadi laki-laki menyebalkan."

"Dan, kamu pernah mencintai laki-laki menyebalkan ini," balasnya cepat dengan seringai mengolok. "Bahkan, mendapatkan ciuman pertamamu."

Sebastian tertawa dengan cara sangat menjengkelkan. Tawanya berhenti ketika Irene memberikan tatapan membunuh.

"Aku hanya bercanda, Ketua Kelas." Sebastian tersenyum dan mengerlingkan sebelah matanya. Menggoda Irene sebagaimana laki-laki ini menggodanya dua belas tahun lalu. "Senang bertemu denganmu, Ketua Kelas."

Ingatan pertemuannya dengan Sebastian pun mengalir dengan jelas di kepala Irene. Pertemuan malam itu memang membuatnya berhubungan kembali dengan Sebastian. Namun, tidak lebih dari itu. Irene tidak pernah lagi bertemu dengannya selama seminggu ini setelah malam itu.

"Cara bercandamu sama sekali tidak lucu, Sebastian!" tukas Irene mendengus marah.

Rasa nyeri di kepala Irene tiba-tiba menjalar. Membuatnya mengernyitkan alis. Irene pun menghela napas panjang. Mencoba meredam kekesalan. Berusaha bersabar seperti biasa.

"Bagaimana bisa kau menjadi suamiku jika baru seminggu kita bertemu dalam reuni sekolah?"

"Reuni sekolah?" tanya Sebastian bingung.

Irene menyatukan alis. "Sepertinya kau yang mengalami amnesia, bukan aku."

Irene benar-benar terkejut Sebastian sudah melupakan kehebohan reuni minggu lalu. Pertemuan pertama kali sejak sembilan tahun lalu. Sejak dirinya pindah sekolah karena suatu kejadian.

"Kau telah lupa kalau kita hanya bertemu dalam reuni akbar satu abad sekolah kita sabtu lalu!"

"Reuni akbar? Maksudmu reuni dua tahun lalu?"

"Seminggu lalu, Sebastian. Bukan dua tahun lalu." Irene kehilangan kesabaran menghadapi pria menyebalkan ini. "Memang kau kira sekarang tahun 2017?"

"Sekarang memang tahun 2017," ucapnya tenang. Nyaris tanpa ekspresi. Sepertinya mengatakan informasi jika matahari tenggelam di ufuk barat.

Irene memutar bola mata. Mulutnya bungkam tetapi matanya kembali menatap Sebastian tidak percaya.

Sepertinya Sebastian ingin bermain-main denganku!

Irene tahu Sebastian tetap memiliki kepribadian yang sama seperti dulu. Tidak berubah. Seorang pembuat onar, penggoda dan pematah hati yang handal.

"Aku tidak bercanda, Sayang!" serunya tidak sabar lalu merogoh saku celananya. Mengeluarkan  ponsel dan memberikannya kepada Irene.

Irene pun menerima ponselnya. Menatap ke layar ponsel tersebut. Sekonyong-konyong tangannya bergetar ketika melihat sesuatu dari layar ponsel itu.

Bukan!

Bukan hari dan tanggal yang tertera pada ponsel itu yang membuat Irene terkejut setengah mati.

Bukan itu.

Fakta itu tidak ada apa-apanya dibanding fakta lain yang jauh lebih mencengangkan. Beribu-ribu kali lebih mengherankan.

Sebuah foto.

Gambar latar pada layar ponsel yang membuat menggigil hebat. Sebuah foto selfi seorang wanita yang mirip dengan Irene menggigit es krim bersama Sebastian. Mereka berbagi es krim seperti sepasang kekasih. Terlihat pasangan yang manis. Terlebih, kedua pasang mata mereka menunjukkan binar yang sama. Sesuatu yang dapat dikatakan sebagai saling mencintai.

Dari foto tersebut, tentu saja Irene yakin jika wanita yang memiliki paras bak pinang dibelah dua tersebut bukanlah dirinya.

Wanita dalam foto itu tentu saja bukan Irene Sanjaya!

Lagipula, dandanan wanita itu terlihat lebih muda. Rambut hitam tergerai dan tanpa kacamata minus. Tidak seperti dirinya yang mengenakan kacamata minus.

Irene kembali terkejut.

Irene baru menyadari sesuatu. Tangannya lalu meraba wajahnya.

Tidak ada kacamata tebal menggantung di sana.

Ini aneh!

Irene merasa bingung karena matanya dapat berfungsi dengan normal tanpa bantuan lensa buatan tersebut.

Apakah kecelakaan itu membaiki syaraf penglihatanku?

Tiba-tiba sebuah ingatan menyeruak ke dalam kepala Irene. Sebuah petunjuk siapa gerangan kira-kira wanita itu.

"Ri-rina Wulandari?" tanya Irene tergagap dan mendongak menatap wajah Sebastian.

"Rina Wulandari?" Sebastian membeo dan membalas dengan tatapan tak mengerti.

"Apa wanita ini bernama Rina Wulandari?" Irene menunjuk foto pada gambar latar layar ponsel Sebastian.

Sebastian terkekeh pelan, "Tentu saja, bukan. Wanita itu adalah istriku, kamu, Irene Sanjaya."

❄❄❄

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro