CHAPTER 1
"Fakta pertama, terbangun karena ciuman pria asing tidak akan pernah membuatmu merasa berbunga-bunga bahagia selayaknya putri tidur yang terbebas dari kutukan."---15 Bulan
***
15 Bulan - Awakening
Seiring air matanya yang berjatuhan. Tiada terkendali. Mengalir selebat hujan di Bulan Februari. Irene tengah tersedu-sedu. Duduk di ujung ranjang tempat tidur. Seolah menumpahkan segala emosi di sana. Terisak secara berlebihan.
Irene yakin tidak pernah menumpahkan air mata sebanyak ini semenjak peristiwa naas itu. Semenjak dia menyandang status yatim piatu.
"Maafkan aku."
Suara panik seorang pria menyita seluruh perhatiannya. Duduk berjongkok di lantai dengan jari-jari besar menghapus air mata Irene dengan gusar. Namun, Irene tetap menangis. Dan, ia tidak dapat melihat wajah pria itu dengan jelas. Cairan bening yang keluar dari kelenjar lakrimalis itu berhasil mengaburkan seluruh pandangannya.
"Kumohon maafkan aku, Sayang."
Ucapan pria itu tidak membuatnya berhenti mengeluarkan cairan bening. Malah semakin membuatnya tersedan-sedan. Bahkan, kini Irene sepertinya sudah lupa apa yang membuatnya menangis sehisteris ini.
Sekonyong-konyong pria itu berdiri lalu menarik tubuh Irene ke dalam dekapannya. Memeluk erat tubuh bergetarnya. Seperti sesuatu yang tidak akan dilepaskannya lagi.
Tangis Irene pun tumpah ke dalam dadanya. Membasahi kemeja putih yang membalut tubuh rampingnya. Semakin terisak ketika tangannya membelai punggung Irene dengan lembut. Memperlakukan Irene dengan sangat lembut dan penuh kasih sayang.
Aroma maskulin perpaduan parfum dan keringat yang menguar dari tubuhnya entah kenapa membuat Irene merasa lebih tenang. Membuatnya merasakan kenyamanan. Seperti aroma rumah.
Terlebih, ketika pria itu mengecup ubun-ubunnya. Tindakan kecil itu berhasil membuat hatinya menghangat. Membuat Irene merasa sangat disayangi. Seperti sebuah porselen cantik yang rapuh.
"Jangan dengarkan omongan wanita itu karena sampai kapan pun aku tidak akan pernah menceraikanmu!" janjinya dengan suara tegas lalu kembali mencium puncak kepala Irene.
Irene mengangguk dalam dekapannya. Memercayai sumpah setianya. Dan, membalas perlakuannya dengan sebuah pelukan. Berusaha mempersempit jarak di antara mereka berdua. Berusaha mendekatkan tidak hanya raga, tetapi juga jiwanya.
Suamiku selalu menepati janjinya, Irene membatin dalam hatinya.
Irene tahu dia tidak akan melepaskannya. Hati Irene bersuka cita karena pria yang dicintainta itu memiliki perasaan yang sama dengannya. Irene terlena dalam dekapan hangatnya sampai sesuatu menariknya dengan kuat. Menariknya ke dalam kegelapan yang pekat.
Mimpi.
Irene terbangun dengan keringat dingin lalu menghela napas lega ketika menyadari jika terbangun dari sebuah mimpi buruk.
Suami?
Irene tersenyum mencemooh dan menggelengkan kepala. Tidak percaya pada alam bawah sadar jika dia menginginkan pria lain, selain Lucas Mahardika.
Ini sangat lucu!
Irene menertawakan mimpinya. Sayangnya, ketika Irene menggerakkan kepala, cairan bening merembes keluar. Mengalir dan membasahi pipi.
Irene menyatukan alis.
Sepertinya Irene menangis tidak hanya dalam mimpi saja. Nyatanya, dia benar-benar menangis dalam tidur.
Menghapus air mata yang membasahi wajah dengan punggung tangan, matanya pun mengerjab-ngerjab. Pemandangan asing segera memasuki netranya.
Ruangan yang didominasi dari kombinasi warna putih dan abu-abu. Sebuah ruang asing tapi juga terlihat familier. Cukup luas hingga tidak hanya ranjang tempat tidurnya yang ada di sana tetapi juga berisi sofa panjang berwarna keperakan dan meja kotak dengan empat kursi.
Di mana aku sekarang?
Mungkinkah aku berada di rumah sakit?
Irene mengernyitkan alis ketika rasa nyeri di kepala menghantam. Tangannya menyentuh perban tipis yang membalut dahi dan kepalanya. Sepertinya benturan akibat kecelakaan siang tadi sangat keras.
Melirik sekilas jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas malam, Irene pun menghela napas panjang.
Tidak ada hal yang dapat dilakukan Irene, dia pun memutuskan untuk melanjutkan tidur. Setidaknya itulah rencananya sampai terdengar suara pintu terbuka diikuti derap langkah kaki menghampiri.
Berpikir jika kemungkinan pengunjung tersebut merupakan perawat yang bertugas mengecek kondisi pasien, Irene memilih mengabaikannya. Irene sudah terlanjur dalam posisi nyaman dan dalam perjalanan kembali ke alam mimpi.
Itulah rencana awalnya sampai akhirnya Irene membelalakkan mata secara tiba-tiba.
Sebagai gadis kecil yang menyukai cerita dongeng, mungkin dulu Irene selalu berpikir jika kisah putri tidur yang terbangun karena sebuah ciuman sangat romantis. Banyak para gadis terbuai dengan adegan singkat tersebut. Termasuk Irene yang dulu masih polos. Dan, ini sebenarnya aib Irene yang cukup memalukan. Terutama, ketika Irene pernah berharap seorang pria melakukan hal itu padanya.
Fakta pertama, terbangun karena ciuman pria asing tidak akan pernah membuatmu merasa berbunga-bunga bahagia selayaknya putri tidur yang terbebas dari kutukan. Fakta kedua, bukan tatapan cinta yang dilayangkan Irene pada pria asing yang kini berdiri tegak dengan sebuah senyum kecil, melainkan sebuah tatapan tajam. Api kemarahan pun telah tersulut karena pria tersebut berhasil mengganggu tidur Irene. Bahkan, perbuatan lancangnya yang diam-diam mencium Irene itu seperti ribuan liter bensin yang sukses meledakkan amarahnya.
"Maaf sudah membangunkanmu," ucapnya sembari tersenyum kecil dan menggaruk tengkuknya dengan canggung. "Bagaimana keadaanmu? Apa ada yang sakit?"
Irene mengacuhkan pertanyaannya. Kini tatapannya berubah setelah melihat sosok pria tersebut.
Dugaan Irene salah!
Fakta ketiga, bukan pria asing yang mencium bibirnya.
Dia bukan pria asing!
Irene mengenal pria itu dengan baik. Cukup baik hingga membuatnya membenci segala tingkah kepongahannya.
Irene menyipitkan mata. Mempertajam pandangannya. Mungkin saja indra penglihatan Irene bermasalah setelah kepalanya terkena benturam keras. Atau kehadiran pria itu hanya sekadar halusinasinya saja.
Irene pernah mendengar seseorang bisa menderita halusinasi setelah mendapatkan benturan keras di kepalanya.
Setelah Irene menyipitkan mata, sosok manusia bertubuh tinggi dengan rambut tercukur rapi itu tetap ada. Berdiri tegak dengan kemeja berlengan panjang yang dilipat hingga ke siku. Irene yakin jika sosok tersebut bukanlah imaginasi dari kerusakan otaknya.
Dengan mulut bungkam. Tertutup rapat. Dan, hanya mata Irene yang tetap menatap nanar pada sosok pria berkulit putih berwajah oriental tersebut. Pada sosok asing sekaligus familier. Seorang pria yang membuatnya merasakan suatu perasaan yang saling berkontradiksi. Saling bertolak belakang.
Pria itu diyakini bernama... "Se-Sebastian Yahya?" tanya Irene memanggil nama lengkapnya dengan bingung. "Kenapa kau ada di sini?"
Sebastian mengernyitkan alisnya ketika Irene memanggil nama dan melayangkan pertanyaan tersebut. Terdiam sejenak dan tampak larut dalam pikirannya. Raut wajah Sebastian berangsur-angsur berubah dari sebuah tanda tanya, kebingungan lalu berakhir menatapku seperti melihat hantu.
"Sayang, kamu...." Ucapannya menggantung di udara.
Sebastian mengacak rambutnya di udara, tampak frustrasi. Pria yang memiliki julukan the heart breaker di SMA itu tampak gusar dan panik setelah memencet tombol pemanggil perawat. Dia berjalan mondar-mandir, ke sana ke sini. Nyaris seperti setrikaan di depan ranjang.
Irene masih membeku di tempat mengamati tingkah laku aneh pematah hati tersebut. Tidak mengerti apa yang sebenarnya tengah terjadi. Terlebih, ketika dia memanggil Irene... Sayang.
Bagaimana mungkin seorang Sebastian Yahya memanggil Irene dengan panggilan Sayang?
Oh, tidak!
Tidak hanya memanggil Irene Sayang tetapi juga pria tersebut mencium bibirnya secara diam-diam. Mencium Irene yang tengah terlelap dalam perjalanan ke alam mimpi.
Ini pasti kelanjutan dari mimpi buruk. Atau mungkin Irene memang telah mengalami sebuah halusinasi.
Ini tidak mungkin terjadi.
TIDAK MUNGKIN!
Pria bertubuh tinggi dan ramping itu merupakan teman satu sekolah Irene sejak SMP. Bahkan, mereka pernah terlibat pertengkaran hebat saat SMA. Pertengkaran yang membuat hubungan mereka berubah dari seorang teman biasa menjadi seorang musuh. Atau, seseorang yang paling dihindari. Satu-satunya orang yang membuat Irene patah hati untuk pertama kalinya. Orang yang membuat cerita cinta pertamanya berakhir dengan cara mengenaskan.
"Sebastian, kumohon jangan mondar-mandir seperti itu!" seru Irene setengah berteriak.
Teriakan Irene berhasil menghentikan aksi konyol Sebastian.
Sebastian membeku di tempat. Menatap Irene dengan roman yang sulit terbaca. Mungkin perpaduan dari bingung, kesal, marah dan takut.
Entahlah.
Irene tidak terlalu yakin karena tidak begitu pandai membaca ekspresi wajah seseorang.
"Melihatmu mondar-mandir, kepalaku semakin sakit," gerutu Irene sembari menghela napas dalam.
Anehnya, keluhan Irene dihadiahinya dengan senyuman sepuluh juta megawatt. Senyuman khas terlukis dalam wajah tampannya. Senyuman malaikat dari seorang iblis yang membuat banyak gadis patah hati. Dan, malangnya, Irene termasuk di antaranya.
Sebastian berjalan mendekati ranjang, "Maafkan aku, Sayang. Aku tidak tahu jika perawat-perawat di rumah sakit ini sangat lamban."
"Sayang?" tanya Irene membeo sambil menaikkan alis.
Irene mengulang panggilan Sebastian kepadanya. Panggilan yang membuat Irene merasa di alam mimpi atau halusinasi. Dan, ternyata Irene sedang tidak berhalusinasi. Sebastian memang memanggil Irene dengan panggilan Sayang.
"Kenapa kau memanggilku Sayang, Seb?"
Sebastian tersenyum getir. Ada roman sedih terpancar di dalamnya. Terlihat sedikit terluka ketika mendengar pertanyaan Irene. "Tentu saja aku memanggilmu Sayang karena kamu adalah istriku."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro