III. Maret: Kesialan Ketiga
***
Kesialan Ketiga
***
Kyoto, 14 Maret 2017
Salju-salju mulai mencair. Di jalan, rumah, juga sekolah aku mulai merasakan perubahan suhu. Pergi ke sekolah pun sudah tidak perlu mengenakan mantel ataupun sarung tangan. Anak-anak yang ditemui pun sudah tidak memainkan boneka salju. Musim dingin memudar lalu akan terganti oleh musim semi.
Sudah dua bulan lebih pula aku menikmati musim dingin di Kyoto. Rasanya nyaman, sunyi, dan tradisional. Di Tokyo jauh berbeda dari Kyoto. Sasuga jantung dari Jepang. Budayanya masih kental hingga terasa kembali ke masa lalu.
Meski sudah bertukar malam pun, perbedaannya masih kentara ketimbang Tokyo. Bintang-bintang di sini terang berderang. Membuat sejuk pemandangan dan suasana malam.
Dan suara pintu terbuka membuyarkan lamunanku. Sungguh mengganggu.
Kutengok, mendapati Ketua OSIS datang menghampiri. Ekspresi tenangku otomatis berubah datar.
Pakaiannya belum berganti. Masih dengan pakaian latihan basketnya. Kaosnya pun tampak basah. Keringat membanjiri permukaan kulitnya. Aku melihat layaknya dia sehabis kehujanan. Padahal jelas-jelas tidak hujan.
Meski begitu, bau asamnya tidak menguar, malah terganti dengan wangi parfumnya. Jelas-jelas ia berkeringat, tapi wanginya seperti akan ke pesta.
"Habis latihan Akashi-kun?" tanyaku spontan. Sebenarnya aku tidak niat bertanya.
Akashi menggumam singkat. Ia mengiakan. Kepalaku anggut-anggut lalu tidak bertanya lagi.
"Apa yang kau kerjakan? Kegiatan klub dan OSIS seharusnya sudah selesai sejam yang lalu." Padahal dia sendiri masih ada kegiatan klub. Tidakkah dia berkaca?
"Melanjutkan proposal. Ada revisi soal proposal event. Dan tenggat waktunya lusa," sahutku sambil kembali melanjutkan mengetik proposal.
Ia tidak langsung membalas. "Oh. Lebih cepat memang lebih baik."
Aku hanya mengangguk-angguk singkat.
"Tapi, aku tidak akan memaafkanmu bila kau sakit," celetuknya yang sejenak membuatku berhenti mengetik, otomatis suara papan ketik tidak terdengar. Jeda waktu lama, aku mencoba memahami maksudnya. Rasanya tidak mungkin otakku serta-merta selambat ini. Sulit untuk mengungkapkan, tetapi kenyataannya sarafku sudah blank. Namun, kalimat selanjutnya membuatku dongkol dan merasa malu, bahkan pipiku nyaris bersemu–sedikit tersisip kepercayaan diri yang berlebih, "Karena kau dapat mengganggu kegiatan OSIS. Aku tidak akan menerima itu."
Aku tidak menanggapi imbuhannya. Terlalu ogah, lagi pula sudah malas. Lebih baik aku makan saja. Omong-omong, ada sekotak makanan ringan yang kudapatkan. Lantas kukeluarkan saja dari dalam tas yang berada di sebelahku.
Mengambil sebungkus dari kotak, membuatku tidak langsung memakannya. Sebenarnya sayang karena bungkusan dan kotaknya cukup bagus. Mungkin akan aku foto saat di rumah lalu kumasukan ke sosial media. Lumayan kan, bungkusannya saja sudah estetika, jika aku ambil sudut yang tepat, mungkin akan banyak yang suka.
Pandanganku cukup jeli. Sejenak Akashi melihatku makan. "Mau?" tawarku yang merasa tidak tega karena ia terlihat ingin memakannya juga.
Dia menghela napas. "Tidak. Tidak usah," tukasnya.
Aku memberengutkan bibir. "Padahal cokelat putih ini enak. Sayang saja jika ditolak," gerutuku.
***
[name] membereskan buku-buku dan alat tulisnya. Bel pulang sudah menari lima menit yang lalu. Padahal mejanya masih berantakan.
Tak sengaja ritsleting tasnya tersangkut oleh sweternya, beberapa buku-buku di dalamnya pun berhamburan keluar. Ia mendesah keras.
Tiba-tiba saja sebuah kotak berukuran buku tulisnya ikut terjatuh. [name] merasa heran sejenak lalu mengambil kotak tersebut. "Kapan di tasku ada kotak?"
Tangannya lalu tergerak untuk membuka isinya. "Cokelat? Cokelat putih? Untukku?" tanyanya heran. Tanpa berpikir panjang ia lekas memasukan buku-buku yang tadi terjatuh serta yang berada di meja juga alat tulisnya. Tak lupa kotak terkait lalu lekas meninggalkan kelas.[]
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro