9. Sick Of My Self
Gara-gara nilai ulangan Matematika anjlok sampai membuat Athiya remedial di ujian kenaikan kelas kemarin, kini gadis itu menjadi lebih protektif pada diri sendiri.
Seperti sekarang, gadis berkacamata bulat itu kini tengah berkutat dengan buku catatan serta buku paket tebal sedari pulang sekolah tadi. Dengan ditemani segelas jus buah alpukat, Athiya tampak sudah tidak perlu lagi untuk makan nasi. Padahal jam digital yang berada di meja belajarnya sudah menunjukkan pukul 19.21.
Renata bahkan sudah capek menyuruh Athiya keluar dari kamar supaya makan terlebih dahulu. Namun, Athiya tetap Athiya. Gadis itu masih kekeh bilang kalau belum lapar. Padahal, alasan lain Athiya belum makan, ya, karena takut kekenyangan. Yap, kekenyangan yang bisa mengundang rasa ngantuk. Athiya takut kalau nantinya dirinya ketiduran.
"Ayaaa, kalau sampe di menit tiga puluh kamu belum makan juga, Bunda gembok pintu kamar kamu dari luar. Biar sekalian nggak usah berangkat sekolah besok!"
Deg!
"Ih, Bundaaa ... Aya belum laper, tau. Nanti malah nggak nafsu makannya," teriak Athiya masih di meja belajar. Pintu kamar memang sengaja dirinya kunci untuk menghindari penyeretan oleh sang bunda tercinta.
"Nggak ada nggak nafsu-nggak nafsu. Ayo makan. Bukunya bawa ke luar."
Athiya menghela napas. "Iya, deh." Terpaksa, akhirnya mau tidak mau gadis berkucir kuda itu turun dari kursi meja belajarnya. Di sebelah tangannya sudah ada buku catatan, alat tulis, serta buku paket seperti yang bundanya sarankan.
"Nah, gitu, dong." Suara Renata menyambut di depan pintu. "Makan dulu baru nanti lanjut lagi biar lebih fokus."
Athiya diam. Gadis itu hanya mengekor di belakang sang bunda.
"Duduk sini, Bunda suapin."
Yap! Seperti inilah hari-hari Athiya jika gadis itu sampai melupakan makannya. Renata sampai bela-belain menyuapi saking gemasnya dengan sang putri. Lagi pun, dia tahu alasan di balik Athiya yang seperti ini. Apa lagi kalau bukan ulangan di mata pelajaran yang paling sulit gadis itu kuasai.
"Loh, Bund. Kok kita udah punya debay lagi? Perasaan baru dibikin kemarin, deh. Kok udah jadi aja?"
Uhuk!
Athiya meraih minum sambil melirik Arkan kesal. "Ayah, ih."
"Ih, kok debay-nya udah bisa ngomong, sih, Bund? Bisa baca sama nulis juga, lagi. Aj--aw!"
"Ayaaah ...."
"Hust, udah-udah. Kalian ini berantem mulu kerjaannya." Renata menyuapi Athiya, sebelum pandangannya beralih melirik Arkan di samping kanannya--bersembunyi. "Ayah juga. Jangan ganggu Aya mulu, ih. Sana nonton bola aja."
"Tuh, Yah. Dengerin. Nonton bola aja sana." Athiya ikut mengompori.
Namun, bukannya pergi, Arkan malah memeluk tubuh Renata dari samping. Kepala pria itu mendusal di ceruk leher Renata. "Nggak mau. Masa Bunda tega, sih, nyuruh Ayah nonton sendiri."
Athiya berlagak mual mendengar kalimat itu. Tidak di sekolah, tidak di rumah, kenapa semuanya sama saja, sih? Isinya orang-orang bucin semua. Memang seenak apa, sih, menjadi bucin?
"Jijay, Yah. Mual Aya dengernya."
"Halah, palingan juga kamu iri. Cari pacar sana!"
"Dih, apa-apaan iri. Jomlo lebih enak, tau. Bisa bebas."
"Tapi punya pacar enak, tau. Bisa manja-manjaan." Arkan semakin memperrapat jarak dengan Renata. "Apa lagi punya istri. Istrinya kayak bunda kamu, lagi. Ah, bikin debay, yuk, Bund!"
Tak!
"Makan, tuh, debay! Udah sana ngapain, kek, astaghfirullah. Nempel mulu kayak tokek. Bunda geli, tau."
"Nah, marahin, Bund!" Athiya mengompori. Tawa mengejek lolos dari mulutnya.
Arkan mengusap tangannya yang barusan Renata sentil. Bibirnya manyun. Athiya jadi heran. Sebenarnya yang bocah di rumah ini siapa, sih?
"Iya, deh. Ayah pergi. Awas kangen!"
Arkan pergi dengan kaki dientak-entakkan. Membuat Renata geleng-geleng, sedangkan Athiya menjulurkan lidah mengejek.
"Nih, satu suapan lagi."
Athiya mangap bersamaan dengan sendok berisi nasi yang masuk ke mulutnya. "Makasih, Bundaaa. Sayang, deh."
"Halah, kalian sama aja. Tukang gombal."
Athiya terkekeh. Gadis itu kembali fokus ke soal di depannya.
"Tapi ngeliat kamu yang sering ngelupain makan kalo lagi belajar gini Bunda jadi takut, deh."
"Kok gitu, Bund?"
"Ya nanti siapa yang mau nyuapin kamu di kos kalo udah kuliah? Masa Bunda harus ke sana tiap jam makan?"
Pensil yang tadi menggores kertas kotak-kotak itu seketika berhenti di tempat.
"Ih, Bunda jangan gitu, dong."
"Jangan gitu gimana?"
"Aya bisa mandiri, kok."
"Mandi sendiri? Kalo itu, sih, percaya."
"Ih ... bukan." Athiya menghadap Renata. "Aya janji, deh, nggak bakal ngelupain makan lagi kayak tadi."
Renata mengangkat kedua alis.
"Ih, serius, Bundaaa ..."
Renata terkekeh. "Iya, iya. Bunda pegang janji kamu, ya. Awas aja kalo diingkari. Beneran Bunda kabulin permintaan ayahmu tadi."
***
"Itaaa! Astaga gue kesiangan!"
Teriakan Athiya menggelegar dari pintu kelas. Membuat semua penghuni kelas--yang hampir terisi penuh--menjadi mengalihkan atensi mereka. Jarang-jarang Athiya yang terkenal kalem berteriak seperti itu.
"Serius lo kesiangan?" Ita ikut panik. Tangannya langsung ikut bergerak mengambil buku catatan milik sang sahabat yang masih berada di dalam tas.
"Iya. Tadi malam gue tidur jam satu. Eh, pas Bunda bangunin tadi pagi malah gue nggak denger. Alhasil jam enam gue baru bangun."
Athiya grasak-grusuk membuka buku catatannya--berharap rumus-rumus dan latihan soal yang tadi malam dia garap tidak hilang begitu saja.
"Pagi, Anak-anak!"
Sial! Athiya belum sempat mengulas pemahamannya lagi!
"Hari ini kita ulangan harian yang pertama, ya. Pasti sudah siap, kan, semuanya?"
"Belum, Bu!"
"Bagus! Silakan taruh tas kalian di bawah papan tulis, ya. Lima menit lagi ibu tampilkan soalnya di layar LCD."
Desahan kecewa terdengar memenuhi ruangan 12 IPA 2. Tentu karena rata-rata belum pada siap untuk ulangan. Bahkan mungkin tidak pernah siap untuk ulangan Matematika.
Salah satu di antaranya adalah Athiya. Ekspresi gadis itu benar-benar kontras dengan ekspresi orang di depannya.
"Ay, minum dulu. Lo bawa, kan?"
Athiya mengangguk, lalu mengikuti saran Ita.
Ita tersnyum. "Sip! Semangat! Jangan panik. Lo bisa, kok!"
Athiya tersenyum. "Lo juga. Makasih, ya, Ta."
"Semangat, Tayang," bisik Tama dari depan. Jari telunjuk dan jempolnya menyilang membentuk lambang hati.
"Kamu juga," balas Ita. Dengan berbisik pula. Jarinya juga mengikuti jari Tama.
Zefran? Seperti biasa. Cowok itu tampak dingin dan tidak peduli. Bahkan menoleh sedikit saja tidak. Padahal Tama dan pemilik bangku di belakangnya sedari tadi riweuh sendiri.
Soal sudah ditampilkan di layar LCD. Seperti biasa, semua siswa akan menulis ulang soal itu sebelum akhirnya menjawab setelah semua soal tertulis.
Kepala yang tadi terangkat dan tertunduk kini satu per satu mulai fokus menunduk. Tangan kiri ya tadi di meja pun kini banyak yang mulai pindah posisi ke kepala.
Mungkin jika semua bisa berwujud, kelas ini akan penuh dengan kepulan asap hitam yang keluar dari kepala. Menandakan pemiliknya benar-benar mumet dan otaknya benar-benar panas!
"Lima belas menit lagi."
Kalimat itu seolah alarm bom waktu yang sebentar lagi akan meledak. Benar-benar menjadi misteri, kenapa setiap ulangan jamnya selalu bergerak lebih cepat. Terutama ulangan yang berhubungan dengan hitung-menghitung. Kenala, coba?
"Ish, masih dua lagi!" gerutu si pemilik kacamata bulat. Tangannya tiada henti mencoret kertas coretan di hadapannya.
"Lima menit lagi!"
"Astaghfirullah, Bu. Sabar."
"Kok jam-nya cepet banget, Ya Tuhaaan."
"Astaga, gue kurang banyak!"
Gerutuan itu terdengar bersahut-sahutan. Tentu bersamaan dengan grasak-grusuk mencontek berkedok meminjam barang.
"Ta, gue kurang satuuu!"
"Kalem-kalem, Ay. Gue juga kurang ini."
Kedua gadis itu sibuk dengan soal masing-masing.
"Dahlah, isi sembarang yang penting isi!"
"Waktu habis!"
Mampus!
"Yok, tangan di atas!" Guru muda itu berdiri mengamati murid-muridnya. "Kumpulkan ke depan berurutan dari pojok kanan depan."
Haiii!
Gimana part ini?
Kira-kira yang batin 'mampus' tadi siapa? 😋
C u next part!
Kamis, 14 April 2021
©️wishasaaa
Jangan lupa jejaknya!
👇
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro