7. Holiday
Sudah tiga hari berlalu semenjak hari pembagian rapor dilaksanakan. Dan selama itu pula, semua waktu Athiya habiskan dengan di rumah saja. Jangan berpikir kalau gadis itu cuma belajar saja dan tidak ada kegiatan lain. Jelas kalian salah.
Nyatanya, walaupun di rumah, Athiya tetap bisa mengembangkan bakat. Seperti membuat kue bersama bundanya, berkebun bersama sang ayah ketika sore tiba, membersihkan rumah, main air berkedok mencuci mobil ayah, dan satu lagi--memberi makan kucing jalan di sekitar komplek rumah.
Seperti sekarang, Athiya tengah menyiapkan makanan yang mau dia berikan ke kucing-kucing jalan. Dari mulai nasi ikan asin, nasi ikan mentah, bahkan makanan bermerek yang biasa dijual di supermarket terdekat pun Athiya berikan. Biasanya, sih, Athiya jadwalkan saat memberi makan biar kucingnya tidak bosan. Dan sekarang adalah jadwalnya nasi ikan mentah.
"Ini banyakin ikannya, Aya. Nasinya jangan banyak-banyak. Kamu kira kucingnya kamu, yang suka ngabisin nasi di rumah."
Athiya terkekeh ketika bundanya datang sembari menambah ikan mentah di atas nasi dan ikan yang sudah dirinya aduk. "Diet, Bund. Biar mpus-nya enggak kegendutan."
"Ya nggak apa-apa. Tandanya kamu berhasil ngerawat mereka." Renata mencubit gemas hidung Athiya.
"Berhasil, dong. Tiap hari aja personel-nya selalu nambah." Athiya mendengkus. Dirinya melepas sarung tangan plastik yang tadi dibuat untuk mengaduk nasi, lalu membuangnya ke tempat sampah. Antara bangga dan miris menjadi satu. "Aya suka kesel, deh, bund, sama orang-orang yang suka buang kucing di sekitar komplek kita. Apa mereka nggak mikir kalo kucingnya kelaparan? Lebih parah lagi kalo kucingnya ketabrak motor karena mereka nggak terbiasa liat kendaraan. Kok nggak merasa bersalah, gitu."
"Ya namanya juga nggak suka. Bisa jadi juga karena mereka udah punya kucing banyak, terus kewalahan? Kan kita enggak tau."
"Tapi kan eng--"
"Ssst! Udah-udah. Kamu ngomel mulu keburu kucingnya pada kelaparan. Udah sana kasih mereka makan."
"Oiya! Astaghfirullah! Abisan Bunda ngajakin ngerumpi, sih. Kan Aya jadi lupa." Athiya memasukkan dua styrofoam berisi nasi ikan tadi ke dalam kantung plastik.
"Kan? Jadi Bunda yang disalahin. Udah sana."
Athiya buru-buru menyalami tangan Renata. "Assalamualaikum."
Baru saja selangkah Athiya keluar dari dapur, tetapi suara sang bunda kembali menghentikannya.
"Pulangnya beliin Bunda kecap sama minyak goreng di warung depan, ya. Uangnya di saku kulkas."
"Iya, nanti kalo nggak lupa. Assalamualaikum!"
Gadis berkacamata bulat itu buru-buru membawa makanan kucing itu ke luar rumah. Dengan kaus oblong berbawahan boxer serta sandal jepit berwarna hijau kesukaannya, Athiya berjalan ke tempat tujuan.
Sampai di sinilah dia sekarang. Di ujung komplek--tepatnya di bawah tiang listrik yang bersebelahan dengan kebun kosong. Di kebun itulah tempat para kucing bersembunyi.
Athiya mulai membuka styrofoam yang ia bawa dan meletakkannya berdampingan--tetapi tetap berjarak.
"Pus ... makanan udah dateng, nih. Yuk, makan, yuk."
Belum ada tanda-tanda.
"Pus ... mam, yuk ...."
Meong ....
Seekor kucing bercorak oren coklat berlari menghampiri Athiya. Tidak berselang lama, kucing dengan corak lain mengekor di belakangnya. Hal itu terus berlanjut sampai akhirnya kini total ada delapan kucing di depan Athiya, dengan tiga di styrofoam kiri dan empat di styrofoam kanan. Satunya lagi, merupakan kucing usil yang selalu bergerak ke sana kemari tidak bisa diam.
Senyum Athiya mengembang tanpa sadar. Angin sepoi seolah tengah meniup rongga dadanya saat ini. Benar-benar definisi rasa yang tidak bisa digambarkan.
"Makan yang lahap, ya. Biar bisa bersihin diri sendiri. Soalnya kalo aku yang bersihin, aku nggak yakin kalian mau nurut."
Gadis yang kucir kudanya kini diikat asal itu mengelus satu per satu dari mereka yang tengah makan dengan lahap. Jujur, tangannya gatal ingin sekali membersihkan kotoran yang ada di mata mereka, di bulu, di kaki. Semuanya. Athiya ingin sekali membuat mereka bersih dan sehat.
Apa lagi saat melihat salah satu dari mereka terluka--seperti kemarin. Entah terkena apa, yang pasti kucing oren yang tadi datang pertama kali itu kemarin ada luka di kepalanya. Di badannya pun tampak ada baret dengan bekas darah yang mengering. Mungkin itu sebabnya dia datang paling awal saat Athiya memanggil.
Tidak terasa, dua styrofoam yang tadi penuh kini sudah habis tidak bersisa. Kucing yang tadi delapan pun kini hanya tampak tiga. Sepertinya yang lain sudah kenyang dan kabur duluan.
"Alhamdulillah. Kenyang, ya, Meng." Athiya memungut styrofoam bekas makan mereka lalu membuangnya di tempat sampah berbentuk bak di dekatnya. "Besok aku dateng lagi, sekarang pulang dulu, ya. Dadah ...."
Athiya berbalik badan. Agendanya untuk memberi makan kucing sudah ia laksanakan. Kini, tinggal membeli pesanan bundanya.
Kaki jenjang berbalut sandal hijau itu mengayun ke warung yang letaknya tak jauh dari tiang listrik tadi. Bibirnya melengkung saat melihat warung itu sepi. Syukurlah, setidaknya dirinya tidak perlu menjawab pertanyaan tetangga.
"Bu, beli kecap yang ukuran sedang sama minyak goreng satu liter, ya."
"Oke, Neng. Siap."
Sembari menunggu ibu warung memberi barang yang Athiya beli, netra gadis itu mengedar. Mengamati barang apa saja yang ibu warung itu jual. Saking asyiknya, sampai dirinya tidak sadar kalau kini ada orang lain yang berdiri di sebelahnya.
"Bu, ini titipan dari Mama saya taruh di sini, ya."
Kepala Athiya refleks menoleh mendengar suara tidak familier itu. Matanya seketika membulat.
"Loh, Zefran? Ngapain di sini?"
Berbeda dengan Athiya, orang yang namanya dipanggil malah melirik sekilas gadis itu. Tidak ada niatan menjawab sedikit pun.
"Ini, Neng, barangnya." Bu warung datang sembari menyerahkan barang yang Athiya beli. "Oh, iya, Tong. Taruh aja situ kuenya. Duitnya bentar, ya."
Barang sudah di tangan, tetapi gadis pemilik kacamata bulat itu masih bergelut dengan rasa keponya.
"Lo tinggal di sekitar sini juga?" Pertanyaan itu akhirnya disuarakan.
Zefran tampak mengernyit. Matanya menatap Athiya tajam. "Kepo banget, sih, lo."
"Dih, tanya doang, kali. Nggak mau jawab juga nggak papa." Athiya langsung berbalik setelah berkata demikian. Kakinya berjalan dengan sedikit dientak-entakkan.
"Dasar cowok setres! Cowok gila! Tinggal jawab doang apa susahnya, sih? Gue kan cuma tanya. Bilang 'iya' gitu aja emang bisa bikin dia kejang-kejang? Kan eng--Ayaaah!"
Arkan dengan tampang tidak bersalahnya tampak nyengir dengan sebelah tangan membawa selang. Benda berisi air itulah tersangka yang membuat omelan Athiya seketika hilang.
Athiya mencopot kacamatanya yang basah. Bibirnya manyun. Matanya menatap tajam sang ayah diikuti kakinya yang bergerak ke arah Arkan. "Kenapa Aya disemprot?"
"Biar kucelnya ilang kayak mobil ayah."
HAAII AKU DATENG LAGIII 😚
Gimana part ini???
C u Senin besok, guys! 😚
Jejaknya jangan lupa
👇
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro