6. Rapor
Alunan melodi dari aplikasi pemutar musik terdengar merdu memenuhi ruangan bernuansa hijau mint. Warnanya yang kalem selalu berhasil membuat si pemilik kamar betah dan nyaman di dalam sana.
Kamar seluas 3×4 m tersebut memiliki rak buku non fiksi di sudut ruangan, papan tulis selebar 100×50 cm dengan to do list tertulis di sana pun tampak tergantung di sebelahnya.
Ditambah lagi meja belajar dengan latar beberapa notes berisi harapan serta kata penyemangat yang tertempel di besi di atasnya. Sungguh, siapa pun yang memasuki ruangan tersebut akan otomatis tahu, kalau si pemilik ruangan merupakan orang yang penuh ambisi dan terorganisir.
Suara ketukan mengalihkan atensi seorang perempuan dengan kacamata bulatnya di kursi meja belajar. Kucir kudanya bergerak mengikuti pergerakan kepala yang menoleh ke arah pintu.
Klek!
"Ayah boleh masuk?"
"Ayaaah ...."
Pertanyaan tadi dabalas hamburan oleh si pemilik ruangan. Membuat orang yang memanggil dirinya sendiri "ayah" terkekeh geli karenanya.
"Orang Ayah tanya, bukannya dijawab malah ditubruk. Aya ini gimana, sih?"
Athiya menarik diri. Bibinya maju beberapa senti. "Biarin. Orang nggak mau jawab. Maunya nubruk."
"Kayak kambing." Arkan--ayah Athiya--menarik gemas hidung mungil sang putri. "Mbek ...."
"Ayah, ih."
Lagi-lagi Arkan terkekeh. "Ini Ayah disuruh jadi patung selamat datang, nih? Enggak disuruh masuk? Ya udah, selamat datang, guys. Selamat memasuki kamar Aya yang bau mbek," Arkan berdiri di sebelah pintu dengan tangan seperti kucing-kucing di toko Cina. Semakin membuat Athiya sebal sekaligus gemas.
"Enak aja bau mbek. Ya udah sini, Profesor, silakan duduk di kursi laboratorium kebanggaan." Athiya menepuk-nepuk pinggiran kasur. Senyum manis ia tunjukkan ke arah sang ayah.
Arkan memasang wajah angkuh--walau di mata Athiya malah terkesan seperti wajah menahan pup--lalu duduk di kasur yang tadi Athiya bersihkan--dengan bersila. Memang ada-ada saja ayahnya ini. "Terima kasih, Bu Dokter."
Athiya terbahak. Walau tak urung, dirinya pun ikut bersila di depan ayahnya itu. "Tumben, Yah. Ada apa?"
"Halah, kamu ini soksokan. Ayah tau, kali. Kalau malam ini Bu Dokter cilik ayah lagi dalam mode gelisah galau merana."
Athiya nyengir. Ayahnya ini memang orang paling peka sedunia.
"Sekarang aja pasti lagi dalamin materi UTBK, kan?" tanya Arkan sembari melirik meja belajar sang putri.
Lagi-lagi Athiya nyengir. Memamerkan deretan gigi rapinya.
"Sini-sini. Mendekat ke Ayah." Tiba-tiba Arkan menurunkan kaki. Membuat dirinya kini duduk menghadap pintu putih dengan logo salah satu universitas di Yogyakarta tertempel di sana.
Athiya mendekat ke sang ayah. Kepalanya langsung menyender di bahu lebar itu.
"Ayah tau, Aya udah berusaha semaksimal mungkin. Ayah juga tau, kalau kemarin-kemarin pas ujian, Aya tidurnya jam dua pagi, kan?"
Athiya bergeming. Tidak mengiyakan, tidak juga membantah, yang artinya memang benar.
"Kenapa?"
"Kenapa apanya, Yah?"
"Kenapa Aya se-sick itu sama diri sendiri? Bukannya tiap pengambilan rapor putri ayah selalu masuk tiga besar?"
Athiya bergeming.
"Aya masih nggak percaya sama diri sendiri kalau bisa? Atau Aya pengin selalu jadi nomor satu?"
Athiya masih bergeming. Perkataan ayahnya saat serius seperti ini selalu berhasil membuat dirinya bungkam seketika.
"Kalau yang kedua jawabannya, berarti Aya egois."
Athiya langsung menarik diri. "Kok egois, Yah?"
"Nah, itu. Sesekali kamu harus peka sama sekitar, Ay. Coba buka mata pake sudut pandang lain."
Dahi Athiya berkerut. Tidak paham.
"Bisa aja ada tuntutan dari orang tua di anak yang suka nyontek. Pasti satu dua anak ada yang nyontek di kelas, kan?"
Athiya mengangguk. Pikirannya langsung mengarah ke Rani yang selalu masuk tiga besar, tetapi tidak pernah lepas dari yang namanya mencontek.
"Dia berusaha apa pun caranya biar bisa memenuhi ekspektasi orang rumah, karena dia tahu, saingannya kamu. Dan dia sadar, nggak bisa menyetarakan dirinya dengan kamu makanya dia ngambil jalur itu."
Lagi-lagi hening menyelimuti mereka, dengan pikiran Athiya yang mencoba mencerna sekaligus mencoba menyambungkan perkataan ayahnya dengan keadaan Rani saat di kelas.
"Ayah bukan mau matahin semangat Ayya. Bukan. Ayah tau anak ayah ini hebat. Hebat banget malah. Calon dokter muda yang nantinya bakal famous di kalangan siapa saja masa nggak hebat." Arkan merangkul bahu Athiya.
"Tapi Ayah cuma nau ngingetin, kalau nggak jadi yang nomer satu itu nggak papa. Nggak jadi yang paling unggul itu bukan masalah besar." Arkan melirik sang putri di sebelahnya. "Jadi, jangan risauin hasil besok lagi, ya. Apa pun hasilnya Aya tetep jadi putri Ayah paling cantik, kok."
Athiya tersenyum. "Makasih ya, Yah." Dirinya tidak bisa menahan untuk tidak memeluk erat diri Arkan. Benar-benar merasa beruntung mempunyai sosok seperti ayahnya ini.
***
Kantin tampak tak seramai hari-hari biasanya. Hanya satu-dua meja yang penuh, selebihnya, kosong. Ibu penjual pun hanya ada tiga yang buka dari total lima stand. Mungkin karena mereka tahu hari ini hari pengambilan rapor.
Untung saja ibu penjual jajanan langganan Athiya dan Ita tidak ikut meliburkan diri. Jadi, hari ini keduanya bisa bebas jajan di kantin sekaligus sembunyi karena tidak ingin berpapasan dengan wali murid lain.
"Bunda lo udah dateng belum, Ay?"
"Lagi di jalan, sih, katanya. Kenapa?" Athiya mengalihkan atensi dari jus alpukat miliknya.
"Tuh, kan. Ini loh mami gue. Masa dari tadi masih dandan mulu cari baju yang pas katanya. Buat apa, coba? Keburu telat bisa-bisa." Ita bersungut-sungut di depan ponsel yang tengah menampilkan room chat dengan maminya.
"Masih jam sembilan, kok. Kan nanti kumpulnya jam setengah sepuluh."
"Ck! Setengah jam itu cepet loh, Ay."
"Udah, nggak papa. Mami lo udah pro. Pasti nggak telat, lah."
"Semoga, deh." Ita meletakkan ponselnya dan kembali melanjutkan memakan batagor di depannya.
Namun, seolah teringat sesuatu, cewek itu tiba-tiba melihat Athiya dengan pandangan yang sulit diartikan. "Ini lo, kan, Ay?" tanyanya.
Athiya mengernyit. "Lah?"
"Iya apa bukan?"
Athiya semakin bingung. "Iyalah. Siapa lagi?"
"Tumben lo santai banget pas hari keramat ini, Ay? Kesurupan apa lo?"
"Oh ...." Athiya terkekeh. "Iya, tadi malam juga gue tidur nyenyak. Berkat ayah, dong."
"Pantesan."
Keduanya tertawa satu sama lain. Tidak perlu banyak penjelasan dan pertanyaan lagu, karena masing-masing dari mereka sudah saling paham. Hanya saja, lupa sering menutup kepahaman itu. Jadi perlu sedikit pancingan agar bisa muncul memorinya.
Azan Zuhur sudah terdengar dari musala sekolah, yang artinya, sebentar lagi wali murid akan dipulangkan setelah rapat dengan wali kelas masing-masing.
Athiya dan Ita tampak sudah siap menyambut ibu mereka di koridor depan kelas. Tama sendiri, cowok itu tidak berangkat hari ini. Ita bilang, sih, karena kesiangan. Syukurlah. Setidaknya hari ini mata dan telinga Athiya tidak ternodai dengan bualan bucin mereka.
"Siang, Bu."
Bertepatan dengan kalimat serentak itu, wali murid tampak mulai berhambur keluar dari kelas 11 IPA 2. Tidak terkecuali dengan ibu dari dua anak tadi. Ternyata, mereka juga sama seperti anaknya--berjalan sembari mengobrol. Benar-benar sudah seperti bestie.
"Ayaaa, selamat! Kamu ranking satu lagi, loh. Pinter banget, sih, kamu? Rahasianya apa? Biar nanti Ita Tante ajarin biar seenggaknya masuk lima besar." Perempuan nyentrik dengan berbagai perhiasan menghiasi tubuhnya itu menepuk nepuk pundak Athiya. Membuat gadis itu terkekeh, sedangkan Ita manyun di sebelahnya.
"Ita juga pinter, loh, Jeng. Sedikit lagi masuk lima besar. Ada perkembangan juga dari ranking yang kemarin. You did it, girl!" puji Renata--Bunda Athiya--sambil mengusap ujung kepala Ita.
"Tuh, Mi. Kayak Bunda, dong, kasih apresiasi. Bukan kayak Mami yang malah jatuhin anaknya sendiri." Ita manyun--bukan benar-benar tersinggung dengan sang mami atau semacamnya. Itu hanya salah satu strategi supaya dibelikan es krim oleh maminya.
Ketiga perempuan itu terkekeh melihat kelakuan Ita. Benar-benar pencair suasana.
"Ngomong-ngomong, kita duluan ya, Jeng. Pak Sopir ngabarin udah di parkiran katanya," pamit Renata.
"Oh, iya, Jeng. Ini kita juga mau pulang. Ita, nih, dari tadi belum berangkat sekolah udah bawel minta dibeliin es krim," balas Anggi--mami Ita.
Keduanya salaman. Athiya pun berpelukan sebentar dengan Ita. Keduanya terkekeh, sebelum akhirnya Athiya menyadari, ada sosok cowok jangkung dari ujung koridor sana, dengan di sampingnya, perempuan seumuran dengan bundanya tampak tengah bercengkrama dengan seseorang.
Hewwoooo
Maaf telat soalnya kemarin kehabisan kuotaaa 😫😫😫😩
Sebagai gantinya, hari ini update dua kali yeayyy 😋 tunggu yakkk
Kamis, 7 April 2022
©️wishasaaa
Jejaknya jgn lupaa ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro