Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25. Pacar?

"Aya nggak mau berangkat ke acaranya Ita, ah, Yah."

"Loh, kenapa?" Renata menyambar.

"Enggak, ah, Bund. Aya mau di rumah aja."

Renata menghampiri sang putri yang tengah mengerucutkan bibir di kursi makan. Senyum lembutnya terulas. "Ita sahabat Aya, kan? Masa nggak ikut seneng liat temen sendiri lolos?"

"T-tapi, kan ... Aya ... nggak lolos, Bund ...." Nada Athiya melirih di akhir kalimat.

"Bukan nggak lolos, tapi belum rejeki," timpal Arkan sembari menoel hidung mungil Athiya. Memilih mengabaikan laptop di depannya, dan mulai memfokuskan diri menghadap ke sang putri.

"Sama aja."

"Loh, beda, dong. Ini, tuh, ibarat Aya mau ke mal sama Ita."

Athiya mengernyit. Tidak paham.

"Iya. Nih, misal, ya." Arkan mengambil tiga sendok yang ada di wadah alat makan di depannya. "Misal kalian janjian pulang sekolah mau ke mal bareng. Tapi ketemuannya di mal itu."

Arkan menata tiga sendok itu menjadi saling berpencar. "Sendok ini ibarat rumah Aya." Arkan menaruh alat makan itu di dekat Athiya. "Ini rumah Ita, dan ini mal," lanjutnya sembari memosisikan sendok itu seolah simbol dalam sebuah peta.

"Nah, dari sini ketahuan, mana jarak yang lebih deket sama mal. Rumah Aya. Kan?"

Athiya mengangguk.

"Tapi Aya bisa jamin, nggak, kalo Aya bisa ke mal lebih cepet dari Ita?"

"Bisa." Athiya menjawab mantap. Mengingat dirinya adalah pribadi yang terorganisir dan bermoto, "lebih baik menunggu daripada ditunggu".

"Iya kalo nggak ada kendala, terus Aya bisa ngelakuin sesuai dengan apa yang udah Aya susun. Tapi kalo ada kendala? Misal ada tamu di rumah, atau Aya disuruh beli sesuatu sama Bunda, atau di jalan macet, jalan ditutup karena hajatan, dan semacamnya, yang bikin perjalanan Aya enggak semulus ekspektasi. Bisa aja telat, kan?"

Bener juga.

Bibir Arkan terangkat saat melihat sang putri sudah mulai paham dan setuju dengan apa yang ia jelaskan. "Nah, jadi nggak bisa jamin, kan?"

Athiya mengangguk pelan. "Kan beda rumah, beda jalan--"

"Itu dia!" Arkan menyambar cepat. Kedua bibirnya merekah. "Beda jalan, beda jalur, beda nasib. Sama kayak SNMPTN kemarin, Bu Dokter." Arkan tersenyum. Sebuah lengkungan bibir yang selalu berhasil membuat hati Athiya tenang karenanya. Pantas saja bundanya selalu tidak masalah dengan kebucinan sang ayah.

"Jadi?" Renata duduk di samping kanan Athiya. Mengapit gadis itu di antara dirinya dan Arkan.

Athiya melirik bergantian kedua orang tuanya yang tersenyum. Perlahan bibirnya ikut tertarik. Helaan napas keluar dari bibirnya. "Oke, Aya mau berangkat."

***

Semesta telah berganti suasana. Cahaya yang tadi menyinari bumi beserta isinya kini sudah terganti dengan gemerlapnya gemintang di angkasa sana. Bersama dengan lampu-lampu yang mulai menyala, semesta tetap tampak menawan walau rembulan yang meratu di gulita.

Namun, indahnya malam bukan hal yang dinanti kedatangannya oleh Athiya. Bahkan kalau bisa, gadis ambisius itu ingin sang raja siang tidak pergi untuk hari ini.

Ya, hari ini. Cukup hari ini.

Sejujurnya, dirinya sangat belum siap untuk menampakkan diri dan menyaksikan keberhasilan sang sahabat nanti.

Katakanlah Athiya orang egois yang tidak pernah mau kalah. Sekalipun dengan orang terdekat. Dan dirinya sangat benci dengan itu.

"Ay, menang kalah itu biasa. Hal wajar." Athiya menatap pantulan dirinya di cermin. "Nggak berhasil itu nggak papa. Lo udah hebat."

Gadis berkacamata bulat itu tersenyum menatap dirinya sendiri. Kata-kata dari sang ayah, bunda, dan sang abang, tengah ia sugestikan ke dalam diri. Berharap tidak akan terlalu kentara di acara Ita nanti.

"Lo bisa! Pasti bisa!" Athiya berucap mantap. "Ita itu sahabat lo. Dia orang yang nggak pernah absen ngasih lo semangat tiap mau ulangan. Singkirin ego. Singkirin iri. Singkirin semua yang bikin lo nggak mau liat orang lain berhasil."

Gadis yang sudah siap dengan atasan kemeja hijau toska yang dipadu dengan bawahan jeans hightwes lengkap dengan rambut diikat kuda yang masih menyisakan beberapa helai poni di bagian depan itu menghela napas.

"Lo bisa, Athiya!"

kalimat itu terucap bersamaan dengan pintu kamar yang diketuk. Suara Arkan terdengar setelahnya.

"Ayaaa, udah siap belum?" Wajah Arkan muncul dari balik pintu. "Udah ditungguin, tuh, dari tadi."

"Ditungguin? Ditungguin siapa? Bukannya Ayah yang nganter? Bentar, Aya pake sepatu dulu." Athiya yang tadinya berdiri di depan cermin bergegas ke tempat sepatu di pojok ruangan.

"Ada temen kamu, tuh, di luar. Udah nunggu dari tadi. Kamu, sih, dandannya lama. Padahal anak Ayah nggak usah diapa-apain aja udah cakep."

Athiya mengernyit. Tidak menggubris ucapan sang ayah yang tengah memuji sekaligus mengomelinya. Dirinya terlanjur penasaran dengan maksud 'teman' di ucapan Arkan tadi. Setahunya, perayaan ini cuma diikuti teman dekat Ita saja. Yang berarti, cuma Tama dan dirinya. Eh, apa mungkin ada Zefran?

Lalu, apa yang ayahnya maksud 'teman' itu juga Zefran?

Athiya menggeleng. Menepis pikiran mustahilnya itu. Tidak mungkin cowok bodoamatan seperti Zefran mau menjemputnya. Rasanya bisa gempar dunia kalo hal itu sampai terjadi.

"Siapa, sih, Yah? Cewek? Cowok? Kayaknya Ita nggak ngundang banyak orang, deh," tanya Athiya sambil berjalan ke Arkan yang tengah senyum-senyum tidak jelas di depan pintu. Athiya jadi curiga.

"Ya nggak tau, kok tanya saya," jawab Arkan sambil menahan senyum, "kalo punya pacar, tuh, dikenalin gitu, loh, sama Ayah. Kok Aya diem-diem aja, sih?"

WHAT? PACAR?

Athiya sudah tidak peduli dengan Arkan. Gadis berkacamata bulat itu lebih memilih segera mengayunkan kaki jenjangnya ke ruang tamu.

Siapa orang yang sudah berani-beraninya mengenalkan diri sebagai pacar?

Mata Athiya membulat sempurna. Jantungnya langsung berdetak dua kali lebih cepat. Kaki yang tadi berayun cepat seolah tengah direm dengan kekuatan maksimal.

"Lo ngapain?"

***

"Ayaaa!" sambut Ita. Gadis bertubuh mungil itu langsung berhambur memeluk Athiya. "Gue kira lo nggak bakal dateng," adunya.

Athiya menyambut pelukan itu. Kekehan keluar dari mulutnya. Apa lagi saat melihat Ita menggembungkan pipi. Gaun bunga-bunga yang seharusnya memberi kesan dewasa malah jadi seperti seorang anak yang tengah menyambut ibunya pulang kalau seperti ini.

Sementara di belakang Ita, Tama tampak manyun. Cowok itu tidak berani terlalu posesif di sini. Jadi cuma bisa mengawasi.

Namun, tetap saja. Sesekali mulutnya tetap komat-kamit diikuti gerakan tangan yang mengisyaratkan kalau jangan terlalu dekat dengan Ita. Benar-benar posesif!

"Maaf, ya, Ay. Ini bukan mau gue, kok. Beneran. Mami yang nyiapin. Gue udah bilang kalo nggak usah, tap--"

"Sstt ...." Athiya menyentuh pundak Ita. "Nggak papa," katanya, "gue nggak papa," lanjutnya lagi. Senyumnya terulas. Lebar. Dan begitu menenangkan, seolah mengatakan, kalau dirinya memang benar-benar baik-baik saja.

"Selamat, ya!" Athiya menyalami tangan Ita. Senyum tidak luntur dari bibirnya. "Bu Dokter Gigi Alita Zoraya," lanjutnya.

Ita tidak bisa menahan harunya melihat Athiya yang seperti itu. Dia tahu kalau Athiya sebenarnya rapuh. Dia tahu kalau senyum itu bukan senyum sebenarnya. Dia tahu semua kepalsuan yang tengah sahabatnya pertontonkan di matanya ini. Ita tahu semua itu.

Ita semakin merasa tidak enak melihat Athiya yang seperti ini. Semua kepalsuan itu malah membuat dirinya semakin merasa bersalah.

Gadis berlesung pipi itu sudah bilang ke maminya kalau acara ini tidak perlu. Dirinya sudah bilang juga kalau yang bernasib baik di kelasnya cuma ada beberapa dan tidak termasuk Athiya dan Tama, tetapi maminya tetap kekeh ingin mengadakan acara ini.

Ita jadi seperti manusia tidak punya hati yang menari-nari di atas penderitaan orang lain.

"Loh, kok, malah pada kumpul di sini? Ayo pada masuk! Makanannya ada di depan kolam renang. Ih, Tante udah nyiapin makanan enak di dalem malah dianggurin." Felita--mami Ita muncul dari balik pintu. Membuat remaja-remaja yang masih ada di pintu masuk itu langsung mengikuti arahan wanita kepala tiga itu.

Acara makan malam berlangsung dengan sedikit awkward. Namun, masakan yang enak-enak bisa sedikit mengobati itu. Ternyata, alasan di balik Felita membuat acara ini karena dirinya sangat bersyukur dan bangga dengan anaknya itu mengingat Ita yang tidak pernah masuk lima besar.

Athiya hanya bisa tersenyum kecut mendengar Felita yang membanggakan Ita di antara nilainya yang pas-pasan.

"Enggak, Mi. Ita cuma lagi beruntung aja, sama kebetulan Ita ngikutin jejak Kak Tora, alumni yang keterima di sana, sama kebetulan kata guru BK yang daftar di universitas sama jurusan itu cuma Ita doang, jadi peluangnya lebih besar."

Mendengar penuturan Ita, Athiya jadi mengingat perihal dirinya yang tidak mendengarkan saran Bu Pur. Padahal guru itu sudah bilang kalau jurusan yang ia pengin masuki itu berpeluang kecil, eh, malah diterobos saja.

"Oiya, Ay. Gue baru sadar, lo kok bisa bareng sama Zefran berangkatnya?"

"Iya juga, ya," timpal Tama, "jangan-jangan ... KALIAN UDAH PACARAN YA?"

----- TBC -----

Waduh waduh ada apaniii? 🌝

Btw, KEBUT HARI INI SAMPE TAMAT MAU?

DIMULAI DARI DINI HARI GAPAPA YAK?

SEMANGATIN AKU YANG MAU MARATHON DONG! 🔥

Happy Reading, gais!
Hari ini tamat.

HARI INI!

TUNGGU YAK!

©️wishasaaa
20/6/2022

Jejaknya jangan lupa!🔥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro