20. Rahasia
"Zef, makasih buat yang tadi."
Kalimat itu terdengar bersamaan dengan sepotong sandwich alpukat yang diletakkan di meja--yang kursinya si pemilik gunakan untuk merebahkan diri dengan ponsel miring serta telinga tersumpal earphone.
Dahi cowok itu mengernyit, membuat gadis yang memberi sandwich tadi seketika membenarkan letak kacamata bulatnya dengan pandangan mengedar--sedikit salah tingkah.
Untung Ita sama Tama udah keluar, batinnya saat melihat kelas hanya berisi orang-orang bodo amat yang suka sibuk sendiri seperti orang di hadapannya.
Zefran membangunkan diri. Dilihatnya roti isi alpukat beserta si pemberinya itu secara bergantian. Alisnya naik sebelah.
"Sebagai ucapan makasih buat yang tadi pagi," jawab Athiya, seolah mengerti dengan kebingungan cowok di hadapannya.
Oh ....
Kini Zefran yang terlihat salah tingkah mendengar kalimat itu. Dirinya benar-benar merutuki kejadian tadi pagi. Bisa-bisanya tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba dirinya menawari Athiya boncengan. Meminta izin langsung dengan bunda-nya, lagi.
Untung saja parkiran di sekolah ini berada di depan. Jam mereka saat melewati gerbang pun bisa dibilang di detik-detik penutupan. Jadi, hanya tinggal hitungan jari saja murid yang masih ada di parkiran. Aman.
"Ng-nggak usah." Zefran mengalihkan pandangan. "Gue udah kenyang," alibinya.
"Bohong. Tinggal makan aja nggk papa. Gue ikhlas, kok."
"Gue udah kenyang." Zefran masih kekeh dengan jawabannya.
"Ck!" Tanpa pikir dua kali, Athiya langsung menempatkan diri menjadi duduk di sebelah cowok itu. Kotak bekal yang sedari tadi ia pegang langsung dibuka dengan badan condong ke arah Zefran.
"Lo ngapain?" tanya Zefran panik. Dirinya kaget melihat Athiya yang tiba-tiba agresif.
"Nemenin lo." Athiya mengangkat sandwich di tangannya. "Ayo makan."
"Dibilang--"
"Udah, tinggal makan aja apa susahnya, sih, astaga!"
Berhasil! Zefran langsung kicep begitu mendengar gertakan Athiya. Keajaiban dunia cowok itu mau mengalah dengan wanita selain mamanya.
"Nah, enak, kan? Bunda yang bikinin tadi pagi," jelas Athiya saat melihat Zefran mulai menggigit roti isi alpukat itu.
Tidak ada percakapan. Keduanya sama-sama khidmat dengan makanan di tangan. Atau mungkin malah terlalu larut dengan pikiran masing-masing?
Seperti Athiya. Dalam diamnya, pikiran gadis itu melayang ke mana-mana. Berbagai pertanyaan bahkan mungkin sudah beranak pinak di sana. Terutama pertanyaan-pertanyaan tentang cowok di sebelahnya itu.
Tidak bisa. Athiya tidak bisa larut dengan rasa penasarannya sendiri. Dirinya tidak mau tenggelam dengan spekulasinya sendiri.
Bodo amat dengan respons Zefran nantinya. Yang penting isi kepalanya bisa keluar.
"Zef, gue mau tanya. Sebelumnya sorry, tapi gue beneran penasaran."
Zefran menoleh dengan dahi mengernyit.
"Lo ... kok sekarang jadi ... rajin, Zef?"
Siapa pun, tolong kubur Athiya di gumpalan kapas! Atau ubah gadis itu jadi kipas angin yang kerjaannya cuma muter-muter. Dirinya benar-benar merasa ingin hilang setelah melempar kalimat itu.
"Kenapa emang? Udah mulai merasa kesaing, ya?"
Tuh, kan!
Ekspresi mengejek disertai tawa menjengkelkan cowok itu benar-benar membuat Athiya ingin memukul dada cowok itu sampai terdengar bunyi "bug". Sial!
"Salah gue, sih, tanya," gumam Athiya sambil menggigit rotinya brutal.
Diam-diam Zefran tersenyum. Salah jika Athiya mengira dirinya tidak mendengar gumaman penuh kesal itu.
"Baru dapet pencerahan," jawab Zefran setelah menyuapkan gigitan terakhir rotinya, yang membuat atensi Athiya langsung beralih seketika.
"Maksudnya?"
"Gue sekarang udah punya tujuan. Biar nggak setres pas mau UTBK, sama ... ngalahin lo di ranking pararel nanti." Zefran melirik Athiya sejenak, sebelum akhirnya pura-pura sibuk dengan ponsel miringnya.
Ternyata bener kata ayah.
"Tapi, gue nggak pernah, tuh, liat lo belajar. Kok nilai ulangan lo selalu bagus?"
"Jangan setres."
Jawaban enteng itu benar-benar kontras dengan ekspresi Athiya. Kalimat Zefran yang setengah-setengah membuat kepalanya loading untuk mencari artinya.
"Kuncinya rileks." Cowok berambut cokelat itu menatap Athiya. "Kadang, otak juga butuh hiburan. Hidup udah keras, jangan dianggep keras mulu."
Zefran kembali menatap layar touchscreen di tangannya. "Itu makanya, nonton, main game, baca komik, liat alam, itu perlu buat nge-refresh otak. Salah kalo lo bilang hal itu malah bikin beban."
***
"Ay, anter ke toilet, yuk! Udah nggak tahan, nih!"
"Bentar, gue belum cari temen kelompok. Lo, kan, sama Tama."
"Ck! Udah sama Zefran aja." Ita menghampiri Zefran yang tengah mencatat dengan sebelah kaki terangkat. "Zef, lo sama Aya, ya!" ujarnya.
"Udah, ayo buru!"
Tanpa babibu, Ita langsung menarik Athiya begitu saja. Cewek itu bahkan tidak peduli dengan Athiya yang melangkah cepat dengan hati-hati. Takut kaki jenjangnya menginjak kaki mungil Ita.
Ita langsung masuk ke salah satu bilik yang pintunya kebuka begitu keduanya sampai di toilet wanita. Sepertinya benar-benar sudah di ujung tanduk.
Netra berbingkai hitam Athiya mengedar sembari menunggu Ita. Sepi. Hanya mereka yang ada di sana.
Kaki jenjangnya melangkah ke wastafel dengan kaca besar di belakangnya. Gadis itu tersenyum melihat dirinya sendiri. Menampilkan gingsul mungil yang selalu tersembunyi di balik ekspresinya yang jarang senyum akhir-akhir ini.
"Lo hebat udah bertahan sampe detik ini, Ay. Tinggal selangkah lagi," gumamnya. Masih dengan senyum, sampai tidak sadar, Ita sudah berada di belakangnya.
"Cie, udah baikan sama rival, nih, ceritanya?" Cewek mungil berpipi chabi itu berujar genit. Terdengar menyebalkan di telinga Athiya.
"Baikan apaan?"
"Halah ... ngomongin apa aja, tuh, tadi? Sampe nggak sadar bel udah bunyi."
Sial! Percakapan kecil tadi ternyata menarik banyak buntut. Bisa-bisanya tadi keduanya tidak sadar kalau bel sudah bunyi. Lebih herannya lagi mereka tidak sadar kalau Ita dan Tama sudah ada di belakang mereka.
"Ahay. Rival to love, ya, ay?"
"Apa, sih, Ta. Cuma ngobrol biasa, kok. Udah, ah, ayok balik kelas."
"Dih, tumben banget. Udah nggak sabar mau satu kelompok sama rival, ya? Eh, rival apa crush, sekarang?"
Astaga!
Sama halnya dengan Athiya. Di lain sisi, Zefran juga merasakan hal yang sama.
Kata "aman" yang tadi Zefran syukuri kini ia ralat. Cowok itu lupa kalau mata seonggok makhluk di sebelahnya ini sangat jeli. Sial! Pipinya bahkan sampai terasa panas gara-gara godaan yang Tama lempar.
"Sok-sokan ngatain bau buku. Sekarang malah boncengin aja mau. Padahal biasanya paling anti kali boncengannya berpenghuni."
"Berisik!"
"Udah mulai terpesona, ya?"
"Bacot!"
"Eh, udah kenalan sama keluarganya juga pasti, kan? Waduh, bau-bau otw jadian, nih. Oh, atau mau gas langsung lamar?"
"Diem atau bibir lo gue tabok?"
Rasa kesal cewek dan cowok beda tempat itu dirasakan dalam satu hal yang sama. Atau mungkin bukan kesal? Namun, sikap menyembunyikan salah tingkah. Ahay!
"Eh, waktu itu pas gue bilang ada orang yang panik selain gue, gue belum bilang, ya?"
Ita dan Athiya masih berada di dalam toilet. Samar-samar bau pesing yang masih tercium agaknya sudah jadi bestie bagi mereka.
"Siapa?" Terdengar tidak seantusias biasanya, tetapi tetap dengan rasa penasaran yang tinggi.
"Mau tau banget apa mau tau aja?"
"Ta ...."
"Dia juga yang gendong lo, loh. Yang ngusulin supaya lo pulang duluan juga dia. Serius nggak mau tau?"
"Ta! Kalo nggak niat ngasih tau gue ting--"
"Zefran!"
"Hah?"
"Zefran orangnya!"
----- tbc -----
HEWWO!
GIMANA PART INI?
MANA SUARANYA YANG NUNGGU MEREKA UWU-UWU?
C U NEXT CHAPT🌝
Kamis, 26 Mei 2022
©️Wishasaaa
Jejaknya dungh🤗
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro