Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. Remedial


"Tugas Matematika lo udah, Ta?"

"Udah, dong. Gini-gini Ita rajin, tau!"

Athiya terkekeh. Walaupun agak tersinggung, tetapi Ita tetap tidak melepas pandangan dari ponsel yang tengah menampilkan video dirinya dan sang pacar di suatu aplikasi edit itu. Sepertinya usaha Tama tadi pagi berhasil. Buktinya, Ita sudah balik jadi anak bucin lagi.

Baru saja Athiya hendak meneliti kembali pekerjaannya, tetapi suara di depan sana membuatnya urung melakukan hal tersebut.

Bu Ratih, guru muda dengan kerudung yang selalu diikat rapih ke belakang itu datang dengan setumpuk kertas ulangan di dekapan tangan kirinya.

"Selamat pagi, semua," sapanya, "Hari ini Ibu bagikan kertas ulangan semester yang minggu lalu kalian garap, ya. Nilai yang berada di bawah KKM, langsung bikin soal yang nanti Ibu tampilkan di layar LCD. Deadline-nya sampai pulang sekolah nanti."

Penjelasan panjang lebar itu dijawab serentak oleh seluruh penghuni 11 IPA 2. Setelah mengerjakan ulangan semester, dua minggu sebelum pengambilan rapor memang hari-hari sibuk untuk memperbaiki nilai.

"Oh, iya. Tugas yang sempat Ibu kasih juga dikumpulkan, ya. Buat tambahan nilai kalian."

Mendengar kata "tugas" seketika semua langsung mengambil buku catatan dengan berbagai macam ekspresi. Ada yang kaget, panik, ada pula yang senang. Athiya ada di opsi terakhir.

"Arfan Kalandra." Bu Ratih sudah mulai memanggil nama-nama yang tertera di kertas di depannya. Satu per satu, sampai akhirnya, tibalah di giliran Athiya. Gadis itu dipanggil tepat setelah nama Zefran.

Keduanya maju bersamaan. Tanpa menutup nilai yang tertera, Zefran mengambil dan langsung kembali melangkah ke bangkunya, membuat Athiya bisa dengan mudah melirik nilai bertinta biru itu dari kacamata minus miliknya.

Namun, ternyata Athiya terlalu mengurusi nilai orang lain, sampai tidak sadar, ternyata nilainya sendiri bertinta merah.

Matanya membulat melihat angka itu. Dahinya mengernyit sembari melihat Bu Ratih, seolah mengatakan, "Ini beneran, Bu?" tanpa suara.

"Lebih fokus lagi, Athiya."

Jantung Athiya berdegup kencang mendengar itu. Dirinya langsung buru-buru kembali ke bangku, membuat kucir kuda miliknya bergerak ke sana kemari mengikuti irama kaki.

"Kenapa, Ay?" Ita ikut panik melihat air muka Athiya.

"Gue remed."

"H-hah? Kok bisa?"

"Nggak tau. Perasaan gue udah bener bikinnya. Rumus-rumus yang gue masukin juga udah berkali-kali gue cek. Tapi ternyata banyak yang kelewat di pengerjaan."

Athiya tampak grasak-grusuk menulis deretan angka yang tertera di layar LCD. Berkali-kali tulis, berkali-kali hapus, bahkan, berkali-kali gadis itu ganti kertas folio. Selalu saja ada yang typo. Kalau tidak typo, malah banyak yang ketinggalan alias tidak tertulis. Panik benar-benar menguasai dirinya saat ini.

"Ta, lo ada kertas folio lagi, nggak?"

"Ada, ada, Ay. Bentar." Ita yang tengah meng-highlight rumus-rumus di buku paket langsung mengambilkan kertas yang sahabatnya maksud. Dirinya memang tidak ikut remedial, jadi lebih memilih belajar semaunya saja.

"Astaghfirullah, Ayaaa! Ini kertas bekas lo?" Mata Ita dibuat membulat setelah melihat kurang lebih lima tumpukan kertas bekas di bawah folio yang barusan ia kasih.


Athiya sendiri tidak merespons. Gadis itu kembali menulis soal yang ada di layar sambil sesekali membenarkan letak kacamata bulatnya.

"Eh, stop! Tenang, Ay. Tenang!" Ita langsung memegang tangan kanan Athiya yang hendak mencoret tulisannya sendiri--lagi--setelah melihat beberapa teman kelasnya sudah mengumpulkan hasil remedialnya di meja Bu Ratih. Gadis itu buru-buru menuntun sang sahabat agar menghadapnya.

"Ay, tarik napas ... buang."

Athiya mengikuti arahan Ita.

"Lagi sampe lo tenang."

Athiya kembali mengikuti arahan itu. Sampai dirasa dirinya sudah agak baikan, kepalanya mengangguk.

"Udah?"

"Udah."

"Eits, bentar!" sergah Ita saat melihat Athiya akan kembali menulis. Sebelah tangannya menutup kertas yang hendak sahabatnya gunakan.

"Ay, dengerin gue dulu."

Athiya menatap Ita lurus.

"Inget tujuan lo. Lo mau jadi dokter, kan?"

Athiya mengangguk.

"Perlu lo tahu, jadi dokter pembawaannya harus tenang. Lo harus bisa ngendaliin emosi lo. Fokus, Ay. Jangan ngurusin orang lain."

"Nggak bisa, Ta. Gue remed aja artinya gue udah goblok. Gue harus belajar lebih lagi."

"Enggak! Kata siapa remed artinya goblok? Teori dari mana?"

Athiya terdiam.

"Itu artinya lo kurang teliti. Buktinya, ini baru kali kedua lo remed di Matematika, kan? Berkebalikan sama gue yang baru kedua enggak remed. Jadi di sini yang bego siapa?"

"Tapi ini ulangan semester, Ta. Penting."

"Sssttt!" Ita menggelengkan kepala kuat-kuat. "Semuanya penting! Udah, cukup. Intinya lo tenang. Fokus! Kalo lo kayak tadi terus, mau jadi sampe kapan ini tugas, padahal harus dikumpulin hari ini. Lo nggak mau kepikiran Matematika di pelajaran Biologi kan, Ay?"

Sukses. Athiya langsung terdiam setelah mendengar perkataan panjang lebar itu. Dari sini dirinya mulai paham kenapa Tama sangat bucin dengan gadis manis di depannya ini. Ternyata, di balik sifat kekanak-kanakannya, tersimpan sikap dewasa yang begitu besar.

Lamunan Athiya buyar setelah mendengar bel istirahat berbunyi. Hampir saja dirinya kembali dirundung panik, tetapi lagi-lagi elusan tangan Ita berhasil meluluhkannya.

"Ayo ke kantin, Tay. Isi tenaga pacarmu ini dengan makanan. Otak gue kekuras habis gara-gara Matematika itu astagaaa!" Tama datang sambil memegang kepala. Rupanya, cowok itu juga remedial. "Eh, lo juga remed, Thi?" tanya Tama, "Loh, kok baru segini?"

"Ssst! Berisik, ih, kamu." Ita menyentil mulut Tama yang sedari tadi berisik.

"Ih, enggak. Heran aja aku, Tay," elak Tama, "Oh, iya, minta ajarin sama Zefran aja, Thi. Dia nggak remed. Tadi gue juga gitu, walaupun kalo ngajarin kayak nggak ikhlas." Tama melirik Zefran yang hendak berjalan ke arahnya. Alis cowok itu naik sebelah.

"Tuh, Zef. Bantu. Lo, kan, jago di Matematika."

"Nggak. Gue sibuk."

"Pelit, anjir! Kuburannya sempit lo!"

"Ish, berisik kamu." Lagi-lagi Ita menyemprot. "Oiya, Ay. Aku ke kantin dulu nemenin orang gila ini, ya. Nanti aku bawain jus alpukat sama siomay mau?"

"Boleh. Gue tunggu di kelas, ya."

***

Tok tok tok!

Suara ketukan itu mengalihkan atensi si pemilik kamar yang tengah menonton series anime di layar yang ia pangku.

Sembari menekan tombol pause, cowok itu beringsut turun untuk membuka pintu.

"Lagi sibuk? Papa boleh ngobrol sebentar?"

Tanpa menjawab, Zefran mempersilakan papa-nya masuk ke dalam. Pria berkaus oblong itu bergerak mengikuti pria dewasa di depannya yang mengarah ke balkon kamar.

"Ada apa, Pa?"

"Kamu udah ada planning mau kemana nanti?"

Zefran diam. Bukannya menjawab, cowok itu malah memantik rokok yang terletak di meja.

Zefran tahu apa maksud 'kemana'-nya sang papa, tetapi ia memang tidak berniat menjawabnya, karena dirinya sendiri belum tahu mau kemana.

Jangankan PTN, jurusan yang mau dirinya masuki saja belum tahu.

Hendri--sang papa--menghela napas. Paham dengan maksud diamnya sang putra.

"Papa enggak mau ngekang kamu dengan keinginan Papa. Kamu berhak menentukan masa depanmu sendiri."

Lagi-lagi Zefran hanya diam.

"Tapi Papa harap, secepatnya kamu tentukan mau kemana."

Setelah berkata demikian, Hendri berlalu. Meninggalkan kamar dengan pemiliknya yang tengah mengisap rokok dalam-dalam.

Jujur, Zefran belum pernah sedikit pun terpikir mau kemana dirinya nanti. Berapa bulan lagi pendaftaran berlangsung, dan kapan dirinya akan memulai status baru. Entah dirinya yang terlalu tidak mau tahu, atau bagaimana Zefran juga kurang paham.

Namun perkataan papa-nya tadi, sungguh seperti sentilan bagi dirinya. Apa karena Zefran anak satu-satunya sampai sang papa yang notabene orang sibuk dan selalu cuek itu sampai mencari tahu kapan pendaftaran akan dimulai? Entahlah.

Menurut kalian, Zefran gimana?

Kalo Athiya?

Ita?

Tama?

Authornya? Muehehehe 😋

See u next part! Jangan lupa vote 😙
_________
17 Maret 2022
©️Wishasaaa

Ayo vote 😙❤
👇

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro