17. Jujur
"Ay? Lo udah sadar?"
Suara panik langsung menyambut pendengaran Athiya begitu mata yang biasanya berbingkai itu berhasil menyesuaikan dengan cahaya di ruangan serba hijau itu. Tanpa menoleh pun dirinya sudah tau siapa orang pemilik suara. Kepalanya masih pening untuk sekadar mencari keberadaan si pembicara.
"Kok gue di sini?" tanyanya lirih.
"Lo pingsan." Ita mendaratkan bokongnya di kursi sebelah ranjang setelah membantu sang sahabat mendudukkan diri dengan bersandaran bantal. Helaan napas lolos setelah tangannya meletakkan bubur ayam ke meja nakas.
"Nggak gue beliin jus dulu biar buburnya kemakan." Ita mengambil air mineral yang ia beli di warung dekat rumah Athiya. Membukanya, kemudian disodorkan ke cewek di hadapannya. "Gue tau lo belum makan dari pagi," ucapnya sambil melirik Athiya yang tengah minum dengan mata berusaha tidak menatap matanya.
Sembari mengambilkan kacamata Athiya di nakas, gadis berpipi chabi itu mendengkus.
"Ay, lo kok bisa enggak sarapan sama nggak bawa bekal, sih? Padahal lo penganut kepercayaan kalau sarapan itu baik dan penting. Kok bisa sampe kelupaan? Padahal tadi lo juga nggak telat loh."
Athiya menghela napas. Kepalanya terasa semakin pening mendengar ocehan Ita yang sudah seperti kereta api itu.
Namun, di lain sisi, tidak dapat dipungkiri, dirinya juga senang dengan hal ini. Dirinya senang Ita kembali peduli padanya. Dirinya rindu omelan dari bibir mungil itu.
Heran dengan Athiya yang diam saja dan malah senyum-senyum menatap dirinya membuat rambut-rambut halus gadis itu seketika berdiri. Kursi beserta tubuh mungil itu berangsur mundur dari ranjang Athiya.
"Ay, lo nggak berubah jadi--"
"Makasih, ya, Ta."
Kalimat itu sontak membuat bibir Ita berhenti bergerak. Kursi yang tadi dipaksa mundur pun kini seketika berhenti bersamaan dengan si penunggang. "Makasih?" tanyanya.
Athiya mengangguk. "Makasih udah peduli lagi sama gue." Seulas senyum terbit di bibir pucat itu. "Maaf buat semuanya, ya."
Entah mengapa, udara di kamar Athiya terasa menipis setelah kalimat itu terucap. Dada yang menyesak itu memancing buliran-buliran bening untuk menciptakan embun di netra masing-masing.
"Aya ...." Ita langsung berhambur memeluk tubuh lemas di hadapannya. Buliran bening yang sedari tadi ia tahan akhirnya tumpah di pundak sang sahabat. "Harusnya gue yang minta maaf."
Ita menarik diri dari pelukan. Matanya yang basah menatap penuh sesal ke arah Athiya. "Maafin gue karena malah ikut-ikutan jauhin lo kayak yang lain. Maafin gue yang udah ikut-ikutan jadi beban kepala lo. Maafin--"
"Sstt ... udah, udah." Athiya kembali menarik Ita ke dalam pelukan. "Nggak papa," katanya, "harusnya gue yang makasih, malah. Berkat kalian, gue jadi sadar kalo ternyata gue terlalu mementingkan diri sendiri selama ini."
Keduanya menarik diri. Saling lempar senyum, sebelum akhirnya kembali saling peluk.
Namun, seperti tersadar, tubuh Ita langsung menegak. Cewek itu mengusap bekas air mata serta ingusnya dan menggantinya menjadi menatap Athiya jail. "Lo mau tau nggak, Ay, siapa yang tadi heboh pas lo pingsan?"
Gelombang samar terbit di dahi lebar Athiya. "Tama?" tebaknya.
Ita menggeleng. Senyuman penuh makna samakin jelas terpatri di bibir mungil itu.
"Terus siapa? Emang ada?"
"Ada--"
"Athiya, kamu udah bangun, Sayang?"
Suara panik Renata dan Arkan memotong ucapan Ita. Pasangan suami istri itu tampak langsung berhambur ke arah Athiya yang langsung membuat Ita menjauh dari sang sahabat.
Athiya tersenyum simpul begitu tubuhnya dipeluk bergantian oleh kedua orang tuanya. Wajah panik mereka membuat rasa bersalah menelisip ke dalam dada. Pasti acara meeting mereka batal gara-gara dirinya.
Sadar kalau keluarga di hadapannya butuh waktu, Ita yang masih berada di kamar itu dengan bibir tersenyum pun akhirnya pamit. Dirinya tidak ingin menganggu privasi mereka.
"Bunda ditelepon pihak sekolah katanya kamu pingsan? Mag kamu kambuh? Kamu nggak sarapan tadi pagi?" Pertanyaan bertubi-tubi meluncur dari mulut Renata. Tatapan penuh kekhawatiran itu membuat netra Athiya bergerak ke mana-mana.
"Aya, tatap mata Bunda."
"Udah, Bund. Tanyanya nanti lagi aja. Kasihan Aya-nya."
***
"Loh? Kok udah belajar aja, Bu Dokter? Udah makan? Pusingnya udah ilang?"
Athiya tersenyum begitu suara tenang dengan sedikit bumbu tengil itu menyapa indra pendengarannya. Bibirnya semakin merekah begitu menyadari sang ayah memijit pundaknya pelan.
"Udah, dong. Calon Bu Dokter ini, kan, kuat." Athiya memutar kursi menjadi menghadap Arkan dengan senyum pongah.
"Halah, palingan juga tadi disuapin Bunda. Huuu ... bilang aja mau manja-manja." Arkan mencibir. "Oh ... Ayah tau. Pasti Aya sakit ini karena kangen Ayah, ya? Duh, padahal baru dua hari nggak ketemu udah kangen aja. Emang anak dan ibu sama aja." Arkan bersedekap. Nada penuh kebanggaan terdengar jelas.
"Dih, enggak, ya. Ngapain kangenin Ayah yang bucin. Mending kangen sama Gembul." Athiya menyebut nama kucing tetangganya. Membuat bibir Arkan sontak maju.
"Udah, udah. Sekarang Ayah mau tanya serius sama Aya." Arkan terlihat mendudukkan diri di ranjang Athiya. Pandangan penuh jenaka itu kini menatap serius ke arah Athiya.
"Tanya apa, Yah? Udah kayak polisi aja serius-serius." Athiya terkekeh, tetapi kakinya tetap melangkah mendekat ke arah Arkan.
"Bunda bilang, waktu itu kamu tiba-tiba teriak, terus sembunyi di bawah meja belajar."
Deg!
"Kalo boleh Ayah tau, Aya sebenarnya kenapa? Ayah nggak percaya kalo Aya hampir keloncatan cicak kayak yang Bunda bilang, secara Aya malah sembunyi di bawah meja sambil nangis. Bukan lari ke luar kamar."
Netra Athiya langsung mengedar begitu mendapat tatapan penuh intimidasi dari sang ayah. Sebis mungkin dirinya menghindar dari tatapan itu.
"Ayah juga sebenarnya udah curiga sejak Aya minta les privat. Tapi Ayah diemin karena percaya kalo Aya bisa. Tapi sejak Bunda ngadu, sampe kejadian kamu pingsan tadi pagi, Ayah jadi khawatir." Arkan menangkup pipi Athiya. "Aya kenapa? Ayah boleh tau, kan?"
Damn! Pertahanan Athiya luruh seketika. Air mata yang sedari tadi mati-matian ditahan kini luruh seolah keran yang baru saja dinyalakan.
Ini hal yang paling Athiya tidak sukai dari Ayahnya. Pria itu terlalu peka. Ucapannya selalu bisa membuat pertahanan Athiya runtuh. Tatapan intimidasi yang selalu tersembunyi di balik tatap jenaka itu selalu berhasil membuat Athiya tak berkutik.
"Maafin Aya, Yah ...," lirihnya. Tangannya tidak lepas dari tubuh Arkan. "Maafin Aya karena udah langgar permintaan Ayah. Aya ... Aya udah egois, Yah. Maafin Aya."
Arkan pelan-pelan melepas tubuh Athiya. Jemari besarnya bergerak mengusap air mata yang meleleh dari netra sang putri. "Coba cerita pelan-pelan. Ayah dengerin."
Athiya mengangguk. Helaan napas berkali-kali ia keluarkan dengan maksud agar dirinya bisa lebih tenang.
Athiya menarik napas dalam-dalam. Matanya memejam sebelum berkata, "Aya lagi saingan sama seseorang di sekolah, Yah. Dan saingan Aya makin baik hari demi hari."
***
"Apa liat-liat? Iya, tau, gue lagi kucel."
- Athiya -
HEWWO!
Gimana part ini gais??
Kira-kira siapa orang paling panik pas Athiya pingsan? 🌝
Apa tanggapan Arkan kalo tau saingan anaknya itu cowok. Zefran, lagi 🌝
Nahloh! 🌝
🌝🌝🌝
🌝
__________
Senin, 16 Mei 2022
©️Wishasaaa
Jangan lupa jejaknya!❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro