16. Akhirnya Luruh
"Nggak, nggak. Gue harus fokus, gue nggak boleh mikir aneh-aneh."
Mengabaikan pusing di kepala yang akhir-akhir ini sering menganggu, gadis itu menepuk kedua pipi sampai terdengar bunyi nyaring di tengah heningnya kamar bernuansa hijau mint. Mata itu memejam. Embusan napas berkali-kali pun tak ayal gadis itu lakukan sedari tadi.
"Fokus, Athiya, fokus!"
Sembari mencoba mengaburkan pandangan ke sekeliling dan memilih hanya melihat dan fokus dengan laptop serta buku di hadapannya, Athiya menulis apa pun yang ia tangkap di netra. Tak peduli dirinya paham atau tidak, yang terpenting sekarang adalah bayangan cowok itu hilang.
"Bukan cuma egois, tapi ternyata lo juga licik, Thi."
"Lo jahat, Athiya."
"Lo licik!"
"Egois!"
"AAARGH!" Athiya berteriak nyaring. Tangannya dengan brutal menarik rambut sampai ikatan yang tadi terpasang kini sudah hilang entah ke mana.
"Aya? Kamu kenapa, Nak? Kamu nggak papa, kan, di dalem?"
Hening.
Suara panik Renata hanya dibalas isakan dari dalam kamar. Membuat perempuan berkepala empat itu semakin gusar di luar sana.
"Athiya?"
Ceklek!
"Kamu kenapa, Sayang?" Renata langsung mendekap Athiya ke dalam pelukan. Cemasnya semakin menjadi-jadi ketika melihat putrinya itu meringkuk di bawah meja belajar.
Mata Renata memanas. Dadanya sesak. Oksigen-oksigen seolah menjauh dari jangkauannya. Sungguh, dirinya lebih baik menghadapi Athiya yang manja sampai tidak ingin lepas, daripada melihat keadaan putrinya yang seperti ini.
"Aya kenapa?" tanya Renata setelah beberapa saat, hening menyelimuti keduanya. "Aya capek belajar?"
Athiya menggeleng di pundak Renata. Raga yang tadi bergetar itu kini bergerak pelan menjauh dari diri sang bunda.
"Ayah ke mana?" Alih-alih jawaban, justru kalimat itu yang keluar dari mulut Athiya.
Hening.
Renata mencopot kacamata bulat yang bertengger di hidung mungil di hadapannya. Ibu jarinya bergerak pelan mengusap ujung mata sang putri yang masih basah. Sudut bibirnya tertarik pelan. "Ayah kamu lembur malam ini."
Dengan bahu melorot, gadis pemilik ginsul itu tidak menjawab. Dirinya lebih memilih kembali berhambur ke dalam pelukan sang bunda tanpa sepatah kata.
Renata ikut diam. Tangannya bergerak pelan menyisir rambut Athiya yang kali ini terlihat lebih kusut dari biasanya. Tidak peduli kini posisi keduanya yang masih di bawah meja belajar. Yang terpenting, Athiya merasa aman, sekarang.
"Aya nggak papa, Bunda." Athiya mengurai pelukan untuk yang kedua kalinya. Senyum simpul terpatri di bibir itu.
Renata mengernyit. Hampir tiga puluh menit dirinya di sana bukan untuk menunggu kata "nggak papa" keluar dari mulut mungil di depannya. Dirinya butuh kalimat penjelasan.
"Beneran Athiya nggak papa." Gadis pemilik ginsul itu masih kekeh meyakinkan sang bunda. "Tadi cuma ada cicak aja yang lompat ke sini. Karena takut, jadi Aya teriak terus sembunyi."
Walaupun mata Athiya bergerak ke sana-kemari--tidak berani menatap Renata langsung--tetapi dirinya berharap sang bunda bisa percaya dengan ceritanya itu.
"Beneran?" Mata Renata memicing.
"Bener, Bunda."
Renata masih memicing. Namun, ketika melihat posisi keduanya yang benar seperti tengah bersembunyi membuat dirinya mau tidak mau percaya dengan cerita putrinya itu.
"Oke," putus Renata akhirnya, "Tapi, kalo kamu ada masalah, janji buat nggak pendem masalah sendiri, ya."
Athiya tersenyum. "Iya, janji."
Kedua jari kelingking itu saling bertaut, sebelum akhirnya, keduanya kembali ke posisi awal--saling berpelukan.
"Maafin Aya, Bund. Aya belum siap buat cerita semuanya ke Bunda."
***
"Seriusan, Tay? Itu suaranya yang emang nyaring apa telinga kamu yang kelewat peka sampe sekeras itu suaranya?"
"Ya enggak tau. Pokoknya aku denger itu sepanjang jam pelajaran."
"Eh, tapi kayaknya kalo opsi kedua enggak mungkin, deh. Secara kamu agak budek anaknya--aw!"
"Makan, tuh, budek!" Ita melirik Tama sinis setelah jitakannya berhasil mendarat mulus di kepala sang pacar.
"Tapi ...." Seolah tersadar sesuatu, Ita menggantung ucapannya. "Ya udahlah, semoga aja dia bawa bekal hari ini."
"Kalo nggak bawa?" sambar Tama yang langsung mendapat pelototan dari Ita.
"Jangan ngomong gitu. Dia punya mag akut."
Tama tersedak. Dirinya terbatuk-batuk merasakan panasnya kuah bakso yang ada di hidungnya. "Njir, bahaya, dong?"
"Itu makanya." Gadis pemilik lesung pipi itu mengaduk es teh di hadapannya dengan gusar. "Sejujurnya aku nggak betah diem-dieman gini." Ita menghela napas. "Apa lagi sama Aya, sahabat dari SMP."
"Kalo gitu, kalian baikan aja."
"Enteng banget itu mulut," cibir Ita, "Belum waktunya," lanjutnya, "Aya udah kelewatan. Dirinya harus sadar kalo emang udah keluar jalur."
Tama mengangguk-angguk. "Tapi diliat dari sikapnya akhir-akhir ini yang kayak udah nggak terlalu mikir nilai kayaknya dia udah sadar, sih, Tay."
Ita terdiam. Dirinya berusaha mengingat kejadian akhir-akhir ini. "Semoga aja bener."
Setelah percakapan itu, keduanya melanjutkan sarapan masing-masing. Ita dengan roti selai-nya dan Tama dengan nasi soto-nya. Tentu dengan rutinitas seperti biasanya--berantem. Pertemuan mereka tidak afdol jika tidak ada drama dan debat.
Tidak terasa, jam istirahat pun berakhir. Kini keduanya sudah berjalan menuju ke kelas.
"Athiya, kok, keliatan pucet banget, ya, Tay?" bisik Tama setelah keduanya berjalan ke dalam kelas.
Ita bergeming. Diam-diam ikut mengamati objek yang pacarnya bicarakan.
"Lo ... nggak papa?" tanya Ita setelah sampai di bengkunya.
Terlihat bahu Athiya sedikit naik mendengar suara Ita. Gadis itu menoleh diiringi senyum simpul. "Gue nggak papa, kok," jawabnya. Lirih. Tidak seperti biasanya.
"Oh ... oke." Ita ikut kikuk merespons Athiya.
"Btw, makasih, ya, Ta."
Ita sontak menoleh. Dahinya mengernyit. "Thanks for what?"
Lagi-lagi senyum simpul terbit di bibir pucat itu. "Lo masih mau peduli sama gue."
Deg!
Dada Ita mencelos mendengar kalimat itu. Rasa bersalah langsung masuk ke dalam sana.
Memilih tidak menjawab, kalimat Athiya akhirnya menjadi penutup percakapan mereka sebelum akhirnya, guru dan soal ulangan lah yang mengambil percakapan.
Selama ulangan Biologi berlangsung, Ita melihat Athiya selalu memegang kepalanya. Ringisan pun ikut terdengar di sela-sela suara guru yang tengah mengajar. Jujur, Ita sangat khawatir dengan keadaan sahabatnya itu.
"Ssstt ...."
"Ay, lo serius nggak papa?" bisik Ita akhirnya.
Lagi-lagi senyum simpul yang Ita dapat. Disertai gerakan bibir berkata, "Gak papa." Athiya harap hal itu bisa membuat Ita tenang.
Namun di lain sisi, tidak dapat dipungkiri. Kepala Athiya sangat berat. Ruangan di sekitarnya seolah berputar sedari tadi. Huruf, angka, serta semua simbol yang ada di kertas ulangannya pun seolah memutar di raganya.
Ditambah dengan perut yang terasa diremas, kepala itu semakin berat detik ke detik.
Sampai akhirnya ... Athiya kalah.
Raga ringkih penuh ambisi itu ... akhirnya luruh.
HEWWO!! GIMANA PART INI?
C U NEXT PART YA!
Kamis, 12 Mei 2022
©️Wishasaaa
Jangan lupa jejaknya ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro