15. Distant Star
"Yah, aku mau ikut les, boleh?"
"Boleh. Mau ikut les apa emang?" Arkan menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop di pangkuannya.
Athiya beringsut mendekat. Kepalanya ia sandarkan ke pundak sang ayah. "Semuanya ... maybe."
"Serius semuanya?" Kepala Arkan langsung menoleh ke arah Athiya. Membuat kepala yang baru menempel itu jadi ikut tegak lagi.
"M-maksudnya guru yang bisa menguasai semua pelajaran gitu, yah. Terutama saintek."
"Oooh ...." Seolah baru saja diberi cahaya, mata Arkan yang tadi melotot kini normal kembali. "Boleh-boleh." Diikuti kepala manggut-manggut, pandangan Arkan kini kembali menghadap ke laptop-nya.
"Btw, tumben anak ayah butuh bantuan. Udah mulai memasuki masa remaja jompo kah, Nak?"
Berbeda dengan hari-hari biasa, di mana gadis berkacamata itu akan protes dan mencak-mencak bila diledek sang ayah. Kini, boro-boro mau tersinggung. Suara ledekan Arkan saja sepertinya tidak menyentuh indra pendengaran Athiya. Alias pikirannya sedang tidak di tempat.
Hal itu tentu membuat gelombang samar muncul di kening Arkan. Atensinya kembali beralih ke anak remaja di sebelahnya.
"Aya kenapa?" Arkan menyimpan laptopnya di meja. Badan yang tadi menghadap ke televisi kini menghadap ke sang putri sepenuhnya. "Sini cerita."
"Eh ... ng-nggak ada apa-apa, kok."
Bohong. Sangat jelas terlihat kalau gadis pemilik ginsul itu kini tengah berbohong di hadapan ayahnya.
Mata Athiya bergerak gelisah. "C-cuma ... Aya ... agak keteteran! Ah, iya! Aya mulai keteteran kalo belajar sendiri, Yah ...."
Arkan mengernyit. Matanya menatap netra Athiya dalam-dalam. Berusaha mencari hal apa yang sang putri sembunyikan, sebelum akhirnya ... memilih percaya. Yang membuat helaan napas lega lolos dari mulut Athiya.
"Oke, nanti Ayah bantu bilangin Bunda. Siapa tau Bunda kamu punya kenalan yang cocok."
"YES!" Athiya melompat dari sofa yang baru saja ia duduki. "Makasih, Ayah! Ayah hari ini ganteng, deh." Athiya mengecup kedua pipi Arkan. Modus.
"Aya ke kamar dulu, ya. Dadah, Ayah! Jangan lupa bilangin Bunda!"
Arkan hanya geleng-geleng melihat kelakuan anak keduanya yang tengah berlari ke kamarnya itu. Tidak beda jauh dengan abangnya yang kini tengah menempuh S2 di London.
Sama-sama pintar dan penuh semangat.
Apa lagi perihal menutupi masalah masing-masing.
"Proses pendewasaan emang berat. Tapi Ayah percaya, putra-putri Ayah udah dewasa sekarang."
***
Bak sulap, ruangan penuh buku yang tadinya rapi, wangi, dan penuh kenyamanan karena AC-nya disetel di 16° derajat itu, kini seketika berubah. Bahkan bisa dibilang sudah tidak mirip dengan perpustakaan lagi karena pemiliknya sudah memindahkan buku yang tadinya di rak menjadi berada di lantai.
Tentu dengan alasan biar mudah belajarnya lah yang membuat sang ayah, bunda, bahkan guru lesnya menyetujui ulah Athiya. Padahal dengan begitu lebih susah mencarinya.
"Jadi ... perbedaan polimer berstruktur tidak teratur dan teratur adalah di bagian kristalinitas-nya, Aya."
"Oalah ... gitu, ya, Kak. Oke-oke paham." Athiya mengangguk sembari menulis pemahaman dia dari materi yang baru Kak Alina--guru lesnya--jelaskan di papan tulis kecil di hadapannya ke buku catatan sekolah-nya.
"Udah? Kimia ad lagi yang bikin kamu bingung?"
Gadis berkacamata itu membolak-balikan modul di hadapannya. "Sejauh ini udah paham semua, sih, Kak. Nanti kalo ada yang kurang paham lagi aku langsung tanyain ke Kakak, deh."
"Oke, siap." Wanita dengan model rambut layer dengan soft bangs yang kini tengah menginjak semester 6 itu menghapus coretannya di papan tulis kecil di hadapannya. "Sekarang mau lanjut ke materi apa?" tanyanya.
"Mm ... kalo UTBK sama sama ujian akhir sekolah gitu biasanya materinya apa, sih, Kak? Aku cari-cari di internet tapi hasilnya beda-beda. Jadi bingung."
"Mm ... apa, ya." Alina berusaha mengingat-ingat. "Duh, Kakak juga lupa kalo bab-bab nya, Ay. Udah lumayan lama. Ketutup sama bab-nya matkul kuliah yang selalu bikin kepala Kakak mau pecah, sekarang." Alina terkekeh.
"Ah, iya juga, ya, Kak. Aku lupa kalo Kakak masih kuliah. Pikirku Kakak udah jadi guru, sekarang." Athiya ikut terkekeh di akhir kalimat.
"Duh, kamu. Tapi aamiin, deh." Keduanya terkekeh setelah percakapan kecil itu.
"Eh, ngomong-ngomong, gurunya enggak ngasih tau, kah, bab-bab yang bakal keluar di ujian nanti?"
Athiya menggeleng. "Enggak. Atau mungkin belum, sih."
"Mm ... kamu nggak mau coba tanya dulu?" Alina bertanya hati-hati.
Lagi-lagi Athiya menggeleng. Kalo posisinya aku di beberapa bulan yang lalu, pasti paling semangat aku tanya, Kak. Sayangnya, sekarang udah beda.
Athiya menghela napas. Entahlah, kini dirinya merasa bukan dirinya.
Kalau dulu Athiya paling semangat menyambut guru masuk dan selalu siap angkat tangan jika ditanya, kini menjadi Athiya yang kebalikannya.
Bukan tanpa sebab, melainkan karena tiap dirinya ingin angkat tangan, suara yang beberapa hari terakhir memanggilnya dengan sebutan "Anak Ambis" selalu tiba-tiba mengusik telinganya. Seperti lampu merah yang menandakan Athiya harus diam saat itu juga.
Tidak hanya itu. Tapi bayangan Zefran berkelahi karena membelanya--walaupun tidak benar-benar membelanya--yang berakhir membuat cowok itu masuk ruang BK pun tak luput membuat Athiya merasa bersalah.
Jadilah, beberapa hari terakhir ini, Athiya menjadi pribadi yang pasif saat di kelas. Benar-benar pasif sampai tidak akan bersuara kalau tidak ditanya terlebih dahulu.
Itulah mengapa dirinya tiba-tiba minta tambahan les saat di rumah dan memilih menambah jam belajarnya agar tidak ketinggalan dalam semua pelajaran.
***
"Athiya, ajarin gue, dong. Gue kurang paham."
Athiya yang tengah fokus dengan soal di hadapannya akhirnya mau tidak mau menoleh ke dua cewek yang entah mengapa di jam istirahat ini malah di kelas.
"Ini dieliminasi dulu, Ran. Baru dipindah--"
"Gue nyontek aja, ya. Pusing sama penjelasan lo." Rani langsung kembali ke bangkunya setelah berhasil membawa lari buku tugas Athiya.
Tangan Athiya tidak pindah dari posisi saat menjelaskan tadi. Dirinya terlanjur syok dengan hal yang terjadi barusan. Sungguh sangat berbanding terbalik dengan Rani yang tampak semringah menulis ulang ke buku catatannya bersama Anjani.
Jujur, Athiya ingin marah. Gadis itu ingin menangis, bahkan berteriak kalau bisa. Akhir-akhir ini, banyak yang semakin berlaku seenaknya dengan dirinya. Bahkan hal seperti ini sudah terjadi berulang kali. Namun, lagi-lagi rasa takut dan tidak enak selalu mendominasi isi kepalanya.
Brak!
Pikiran Athiya langsung buyar ketika seorang cowok berambut cokelat dengan dasi melorot tampak masuk ke kelas dengan tergesa-gesa. Lebih mengejutkan lagi, cowok itu tanpa babibu menarik pergelangan tangan Athiya agar bangkit dari tempat duduk.
"Ini punya dia, kan? Pinjem. Gue juga mau nyontek." Zefran merebut buku catatan Athiya yang tengah disalin oleh Rani. Cowok itu lalu membawa buku itu beserta pemiliknya pergi dari kelas itu.
"Maksud lo apa?" serobot Zefran ketika keduanya sampai di taman belakang.
Athiya mengernyit. Berhasil membuat Zefran semakin gusar. Benar-benar seperti bukan Zefran yang ada di hadapan Athiya.
"Maksud lo apa selalu nyontekin babi-babi itu secara cuma-cuma? Mau jadi pahlawan? Biar dapet validasi dari mereka kalo lo emang pinter?"
Kerutan di dahi Athiya semakin dalam mendengar kalimat itu.
"Dan lagi." Zefran semakin mendekat ke arah Athiya. "Kenapa lo sekarang jadi pasif? Nggak pernah jawab kuis, nggak pernah tanya-tanya ke guru, nggak pernah ngumpulin jawaban dulu. Udah ngerasa pinter banget sekarang?"
Kalimat-kalimat itu terus kaluar dari mulut Zefran. Mencecar Athiya tanpa memberi gadis itu kesempatan untuk membela diri.
"Oh ... atau lo mau nyerah, dan biarin gue menang gitu aja tanpa perlawanan lo? Biar nanti kalo gue menang, lo tinggal bilang, 'Gue nggak niat ngelawan lo.' Gitu? Bener gitu, Athiya?"
Athiya menggeleng. Tanpa sadar, air mata sudah luruh dari kedua netranya.
"Kalo bener itu tujuan lo. Bukan cuma egois, tapi ternyata lo juga licik, Thi."
Haihai! Aku kembali! Gimana kabarnya, nih??
Pstt dapat THR berapa? 🌝
__________
See u next part!
Senin, 9 Mei 2022
©️Wishasaaa
Jangan lupa jejaknya <3
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro