11. Mata Panda
"Nilai memang bukan segalanya, tetapi selain tuntutan, rasa puas yang dihasilkan selalu berhasil menjadi candu yang mematikan."
-- Athiya Cahyandini
"Baik buruknya suatu kejadian, bisa terjadi karena undangan pikiran sendiri."
Jujur, Athiya tidak percaya dengan kalimat itu. Amat sangat tidak percaya bahkan. Atau malah mungkin ... menolak percaya? Entahlah. Yang pasti, Athiya takut kalau hal itu benar adanya.
Karena ia sadar, dirinya tipe orang yang mudah terpengaruh. Mudah tergoyah oleh suatu keadaan. Apa lagi keadaan itu sudah menyimpang jauh dengan ekspektasinya sebelum itu. Dirinya takut kalau pikiran buruknya menjadi nyata.
Dan yah ....
Terbukti.
Keraguan pada diri sendiri langsung terjawab dengan kejadian setelahnya. Rasa tidak percaya dan takut yang mendominasi berhasil membuat pikiran jernih itu terganggu seketika.
Mata Athiya memanas. Bayangan seseorang tanpa kacamata dengan ikat kuda yang sudah tak lagi rapi itu tampak mengenaskan dari balik kaca sana.
"Bener. Gue udah goblok sekarang."
Athiya meremas kertas folio berisi tulisannya sendiri dengan angka 81 bertinta biru tercetak di pojok kanan atas. Pak Dodot baru saja membagikannya beberapa waktu lalu sebelum membubarkan muridnya agar pulang ke rumah masing-masing.
Mungkin, jika orang lain yang mendapat nilai itu akan biasa saja, atau bahkan ada yang senang sampai ke rasa bangga. Namun, tidak dengan Athiya. Apa lagi, Fisika merupakan salah satu mata pelajaran kesukaannya. Nilai 90-an sudah menjadi makanan sehari-hari bagi dirinya.
Lalu ini apa? Kenapa? Kenapa bisa semerosot ini nilainya?
Dan tadi ... dirinya sempat melirik kertas ulangan milik cowok di bangku depannya. Angka 86 yang tercetak di sana benar-benar membuat Athiya semakin merasa kalah oleh cowok itu.
"Kok bisa dia lebih unggul? Kok bisa?"
Katakan saja Athiya egois. Gadis itu tidak ingin ada orang yang nilainya lebih tinggi dari dirinya. Ia tidak ingin seorang pun lebih unggul dari dia. Apa lagi Zefran--saingannya.
"Gue harus belajar lebih giat lagi. Aya nggak boleh kalah dari siapa pun. Apa lagi Zefran!"
Mengusap wajah kasar, Athiya kembali memakai kacamata yang tadi diletakkan di samping wastafel. Netranya menyorot lurus bayangan dirinya di cermin sana. "Lo pasti bisa, Ay! Semangat!"
Athiya memasang senyum paling manis yang ia punya. Dirinya harus tampil seolah tidak pernah tergoyah oleh nilai itu di depan Zefran. Dirinya tidak boleh memperlihatkan kelemahannya di depan cowok itu!
***
Waktu bergulir begitu cepat. Tidak terasa, satu minggu semenjak kejadian ulangan Fisika itu sudah terlewati begitu saja. Namun, bukan hanya waktu yang bertambah, tetapi juga lingkaran hitam di balik kacamata kotak berbingkai hitam itu juga tampak bertambah dan semakin hitam hari demi hari.
Ternyata hal itu tidak luput dari pandangan Ita. Cewek itu tampak cemas saat melihat keadaan Athiya. Apa lagi setiap cewek itu memasuki kelas di pagi hari. Lingkaran itu benar-benar tampak nyata walau terhalang lensa.
"Ay, lo tidurnya jam berapa, sih?"
"Nggak nentu, sih. Emang kenapa?"
"Ya, jam berapa dulu?"
"Dua? Tiga? Nggak tau, gue lupa."
"Astaga! Pantesan!"
Athiya refleks menjauhkan kepala saat nada Ita terdengar memekik di samping telinganya. Dahinya berkerut. "Apa, sih, Ta? Heboh banget."
"Heboh kata lo? Lo tidur jam segitu ngapain? Jangan bilang lo belajar?"
"Yang pasti enggak scroll TikTok sambil overthinking." Athiya terkekeh saat melihat bibir Ita maju mendengar kalimatnya.
"Ay, ngejar nilai itu nggak papa. Tapi, ya, jangan sampe lupa sama raga sendiri juga." Ita menatap Athiya iba.
"Nih, coba, deh, lo ngaca." Gadis berpipi chabi itu menyodorkan kaca putih gading yang selalu ia bawa.
Walau heran, tetapi Athiya tetap menerima uluran kaca itu. Dirinya tertegun. Anjir, ini gue?
"Gimana?" tanya Ita saat melihat ekspresi sang sahabat. "Ngerasa asing, nggak, sama diri sendiri di cermin itu? Ya itu yang gue rasain tiap liat lo pas masuk kelas."
Seterlihat itu-kah?
Tanpa sepatah kata, Athiya meletakkan cermin milik Ita. Pandangannya kembali mengarah ke buku bersampul 'The King Saintek' yang dari tadi ia kerjakan. Namun tidak dengan pikirannya.
Akhir-akhir ini dirinya memang lebih ketat dengan diri sendiri. Selain karena ujian-ujian yang semakin dekat, tetapi juga karena melihat nilai-nilai milik cowok di hadapannya selalu lebih unggul dari dirinya. Jika tidak unggul, pasti hanya selisih dua atau tiga angka saja. Angka yang berhasil membuat Athiya overthinking setiap malam.
"Ay, are you okay?"
Pertanyaan Ita kembali membuat Athiya menoleh. Lagi-lagi dahinya mengernyit.
"Jangan jadiin saingan itu beban buat diri lo, Ay. Kalah juga nggak papa, kok."
Yap! Athiya memang sudah bercerita tentang ajakan Zefran untuk saingan di kelas dua belas ini. Tampaknya, Ita mulai paham dengan semua yang terjadi.
"Dia unggul terus, Ta."
"Enggak papa. Lo bisa lebih unggul."
"Dia asli pinter, Ta. Tanpa belajar mati-matian aja kayaknya bakal selalu lebih unggul dari gue."
Kalimat itu akhirnya terlontar dari mulut Athiya. Jujur, keheranan itu sudah memenuhi isi kepalanya dari lama.
Tentang Zefran si gamers yang selalu main game di mana saja.
Tentang Zefran si wibu yang tidak pernah belajar dan malah baca komik di kelas.
Dan hal negatif lain yang terpatri di diri cowok itu, seketika terpatahkan oleh nilai-nilai cowok itu akhir-akhir ini.
Apa mungkin benar Zefran belajar mati-matian dan mulai menyeriusi saingan ini? Atau cowok itu hanya belajar saat ujian?
Semua pertanyaan itu benar-benar memenuhi isi kepala Athiya.
***
Bohong! Semua yang Ita katakan bohong. Nyatanya, Zefran masih lebih unggul dari dirinya. Bahkan kini lima kali berturut-turut nilai cowok itu berada di atas nilainya.
Athiya membolak-balik semua buku yang ada di hadapannya. Meja belajar yang biasanya selau rapi, terstruktur, dan tertata walau sedang terpakai itu kini tidak lagi berbentuk. Bahkan warna mejanya saja tidak terlihat saking banyaknya buku serta kertas yang ada di meja itu.
Buku pake Biologi terbuka di sudut kanan. Di bawahnya buku Matematika tampak terbuka. Di samping kiri ada buku SBMPTN, dan di laptop yang menyala, soal Kimia tampak tampil di sana. Benar-benar seperti bukan Athiya yang berada di ruangan ini.
"Akar dua. Dua satu dibagi tujuh, tiga."
"Percepatan dikali kecepatan ...."
"Lambang unsur emas ...."
"Astaga, ini penghapus gue di mana?"
"Ini pulpen merah tadi gue taro di sini kok sekarang ilang?"
Athiya belajar seolah tidak ada waktu esok lagi. Semua menumpuk menjadi satu di kepalanya.
Kini, tidak ada hal lain lagi yang gadis itu pikirkan. Isi kepalanya sudah hanya tentang 'bagaimana caranya dirinya bisa lebih unggul dari Zefran'. Tidak ada ruang lagi yang tersisa. Bahkan untuk sekadar memikirkan isi perutnya.
Hewwo!
Athiya menurut kalian gimana gais?
See u next part ya!
Kamis 21 April 2022
©️wishasaaa
Jangan lupa jejaknya ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro