Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kini Janji Hangus Dibakar Api

"Aku akan mengisahkan padamu, Nak, tentang riwayat di desa kecil kita. Bertahun-tahun silam. Sebuah jalan sesat yang memiliki gerbang seindah surga. Apa kamu tahu bahwa manusia yang terkenal sempurna ... bisa sangat bodoh di hadapan iblis yang durjana?"

***

Semua orang mengenal pria muda itu. Avram. Telah pulang dari perantauannya di semenanjung Asia untuk mengkaji agama dengan teguh. Kini ia tumbuh amat bijaksana, mulia dan berilmu di kediamannya di tempat ibadah desa. Maka dibukalah sebuah kelas pengkajian agama kecil di sana. Anak-anak lelaki ramai belajar bersamanya. Saking salehnya, ia selalu ditemukan sedang beribadah atau mengajar. Tak pernah ada wanita yang menjumpainya karena ia menjaga diri bahkan sampai tak menikah. Sungguh, aku mencintai Tuhanku dan hanya Dia, tuturnya.

Suatu ketika, seorang kakek datang kepadanya dengan penuh permohonan. "Wahai, aku bersumpah melihatmu dalam mimpiku. Dan Izrail begitu dekat sedangkan cucuku masih tidak menemukan jalan. Maka engkau yang dapat menuntunnya."

"Tidak bisa, demi Tuhan. Dia adalah wanita. Aku tidak ingin menimbulkan fitnah."

Sang Kakek kini bertekuk lutut dengan suara batuknya yang mengeras. Sangat serak, sakit dan putus asa. Memang Izrail sudah dekat. Sekali lagi ia memohon hingga air matanya bercucuran. "Wahai, aku tidak menemukan orang yang dapat menuntun Galilah selain engkau. Maka tuntunlah ia ke jalan yang benar. Aku tidak ingin melihatnya dalam neraka."

Akhirnya, sang Kakek terbaring lemah menunggu ajal di rumah. Para tetangga merawatnya sementara Avram dilanda kegundahan. Hati itu tak bisa mengelak betapa besar simpatinya terhadap sang Kakek dan nasib cucunya. Dia pun tergerak menyiapkan ruangan khusus bagi Galilah. Dia bersama murid lelaki lain dipisahkan oleh sekat yang tebal dan tirai, sehingga Avram harus mengajar ke sana-ke mari. Sangat melelahkan. Para murid juga tak dapat menguasai pelajaran menulis dan membaca kitab dengan optimal.

Avram kembali gundah di biliknya di tempat ibadah itu, menatap langit malam berkabut. Di sana ia mendengar sebuah suara. Bergamang dalam benaknya. Aku pernah menemukan ini, dan satu-satunya cara adalah dengan memisahkan waktu. Avram mengernyit. Siapakah engkau? Suara itu tertawa. Aku ciptaan Tuhan yang paling agung dan begitu pula engkau. Kita hampir sederajat. Maka sangat diperkenankan agar kita saling menghargai pendapat.

Keesokan harinya, Avram membuat jadwal yang teratur. Murid-murid lelaki di waktu pagi. Galilah di waktu siang. Pembelajaran berjalan lancar. Galilah kini dapat lebih fokus dan mampu menulis dengan baik. Namun, tetap saja interaksi antara dia dan Avram terbatas. Avram tak dapat melihat bagaimana proses muridnya itu sebab terhalang sekat. "Apa engkau sudah selesai?" Ia bertanya. Galilah menjawab belum dengan samar karena suaranya teredam. Avram hanya bisa menunggu ia mengeluarkan kitabnya dari celah kecil mirip jendela.

Malam itu, ia kembali galau. Perkembangan Galilah akan lambat jika metode pengajarannya seperti ini. Engkau mendapatkan ilmu dengan sempurna karena para guru berada dalam satu ruangan. Engkau hanya akan menghabiskan waktu terlalu lama dengan wanita itu jika terus dipisah. Segera selesaikan pengajaran ini sebelum terjadi fitnah. Avram berpikir. Sungguh begitu? Maka suara gamang menjawab, Sungguh engkau tak mempercayai rekan sederajatmu?

Metode pun diubah. Kini Avram dan Galilah berada dalam satu ruangan dengan tirai sebagai pembatas sehingga membawa kemajuan. Galilah lebih cepat mengerti pembelajaran terutama karena suara keduanya lebih jelas. Avram menyimak suara yang ternyata lembut nan merdu itu, menenggelamkannya dalam lamunan yang ganjil. Terkadang, siluet Galilah tampak di sana dengan pakaian panjang yang menutup seluruh tubuhnya. Ada sedikit rasa penasaran aneh dalam diri Avram meskipun ia abaikan. Yang penting adalah perkembangan ilmu beliau, bisik suara gamang. Sang Kakek bahkan berkunjung. "Wahai, sudah kukatakan bahwa engkau orang yang tepat. Aku telah merasa baik dan cucuku hampir menemukan jalannya."

Sang Kakek tampaknya ikut pulih akibat gembira dan Galilah semakin giat belajar. Tetapi, di sela-sela kelas mereka pada hari itu, mendadak saja Izrail tiba. Sejak dulu ia memang sudah mengawasi, tinggal menunggu ajal sang Kakek. Maka Galilah tak mampu menahan kesedihannya. Dia menangis. Tersedu-sedu. Avram dengan spontan menyibak tirai itu untuk menenangkan Galilah. "Setiap orang akan masuk surga bukan karena amal melainkan rahmat Tuhan. Rahmat Tuhan amat luas dan beliau akan mendapatkannya."

Galilah hanya mampu menangis, pundak wanita itu terguncang hebat. Tentulah ia membutuhkan seseorang di sisinya. Namun, Avram masih menjaga kesucian mereka. Ia hanya tertegun saat pertama kalinya melihat wajah Galilah dan suara itu kembali berbisik. Sungguh tiada yang menandingi kecantikannya, maka setelah kepergian orang tua, perlu ada yang menjaganya. Avram mengangguk. Dia memang tak punya apa pun lagi. Kakeknya tak meninggalkan sedikit saja harta dan hak tempat tinggal mereka akan dicabut. Suara itu bergamang. Ada ... satu ruangan kosong .... Avram menawarkan Galilah jika hendak tinggal di sana dengan syarat tanpa ada penduduk yang tahu. "Ini adalah tempat ibadah yang menerima seluruh tamu. Namun, tak bisa jika tamu-tamu itu disatukan." Galilah hanya mampu mengangguk, mengobati kesedihannya.

***

"Ini, minumlah air. Kenapa kamu sampai terisak-isak, Nak? Tenanglah. Kisah ini akan segera berakhir."

Namun, tangisannya justru semakin deras. Itu yang anak ini takutkan. Akhir itu.

***

Hari-hari berkabung telah lewat. Para penduduk sudah merelakan kepergian sang Kakek sedangkan cucunya dikabarkan ikut bersama kerabat jauh. Murid-murid juga kembali belajar bersama Avram di tempat ibadah. Hanya ada satu hal berbeda. "Mengapa ruangan itu berisik sekali?" tanya salah seorang murid. Teman-temannya mengangguk sama heran. Avram hanya tersenyum. "Tikus." Jelas jawaban itu tak memuaskan mereka. Mereka hanya mengedikkan bahu. "Kami kira tempat ibadah seharusnya bersih. Mana boleh ada tikus."

Sepulangnya mereka, Avram mengetuk pintu ruangan yang tadi disebut berisik. Menanyakan bantuan. Rupanya wanita yang tinggal di sana kerepotan dengan lemari yang pincang. Engkau perlu memperbaikinya atau orang-orang akan curiga karena tak melihat tikus. Avram menggeleng ketika suara gamang berbisik. Sungguh hina apabila aku memasuki ruangannya sedang kami hanya berdua. Suara itu tertawa. Justru jika engkau tak memperbaiki lemari itu, penduduk akan segera tahu dan terjadi fitnah yang lebih besar.

Maka, dengan separuh hati, Avram meminta izin untuk memperbaiki lemarinya. Galilah yang masih lugu pun mempersilakan. Ia juga takut kalau-kalau benda itu rubuh menimpanya. Namun, keheningan justru merayap di antara mereka. Avram, yang seumur hidupnya tak pernah lagi bertemu wanita, kini menemukan Galilah tanpa purdah yang biasa menutup wajah. Dia tenggelam di setiap detail yang terbentuk indah. Putar kunci itu. Avram melakukannya tanpa sadar tepat setelah pintu tertutup. Menyimpan kunci di balik saku. Galilah terkejut. Pintu itu memang sering tertutup sendiri, tetapi kali ini tak dapat terbuka.

Engkau tak boleh panik, bisik suara gamang. Engkau tak boleh menjadi munafik. Tuhan tak suka manusia yang munafik. Avram menggeleng. Lantas apa yang harus kulakukan? Suara itu terbahak. Tuhan mencintai manusia yang jujur. Maka jujurlah di hadapan-Nya. Dia berada di mana pun. Engkau dapat melakukannya di mana pun. Ini, Rekanku, sesuatu yang tak dapat engkau hindari lagi. Aku tak bisa! Munafik! Engkau mau dan engkau bisa!

Mendadak saja Galilah jatuh berlutut, gemetaran. Pintu itu mengunci mereka di dalam. Air matanya kembali bercucuran. "Tidak, jangan khawatir. Kita akan menemukan kuncinya," tutur Avram sambil berlutut. Dia tak mampu lagi membiarkan Galilah sendiri dalam kesedihan. Wanita perlu seseorang di sisinya. Kali ini Avram membenarkan. Dia butuh. Maka Avram meraih pundaknya untuk disandarkan. Menguatkannya. Di dunia ini hanya tinggal kita. Tak ada lagi siapa-siapa. Suara tangis Galilah teredam karena ia terus menutup mulutnya seiring Avram membelai kepalanya. Jantungnya berdebar akan ketakutan dan kejutan yang terawang.

Engkau tahu sesuatu yang pertama akan selalu terasa indah. Avram mengangguk. Hatinya berdesir. Kejujuran bukanlah dosa. Tuhan akan memaklumi itu. Tuhan Maha Pengampun, ingat? Ini tempat ibadah. Engkau dapat beribadah setelah ini. Sebanyak yang engkau mau.

Esok hari, esok lusa, dan waktu yang bergulir semakin membubuhkan senyum di wajah Avram. Para muridnya sampai heran. "Raut orang saleh memang selalu berseri." Lalu mereka belajar seperti biasa dan pulang. Tak pernah tahu bahwa setelah itu guru yang mereka sanjung-sanjung sedang menderma. Membawakan makanan ke sebuah bilik di seberang biliknya sendiri.

"Engkau butuh energi." Tetapi, yang diberikan derma justru menangis lagi. Dia pun tak bisa mengelak betapa ada rasa kebutuhan yang kuat terhadap Avram. Lama-lama, bisikan itu juga hadir dalam benak Galilah. Tiada yang menandingi ketampanan dan kemuliaan hatinya. Bersegeralah dengan orang yang tepat sebelum terlambat. Maka mereka terus mengulang kegiatan yang sama hingga seolah-olah tak ada apa pun selain kebahagiaan.

Sayang. Sesuatu yang ditanam tentu akan menuai. Gerak-gerik mulai terasa dalam diri Galilah. Sesuatu yang hidup. "Aku bersumpah," lirihnya dengan air mata berderai. Avram terbelalak. "Telan sumpahmu karena Tuhan tak menyukai orang-orang yang berbohong." Galilah menggeleng. "Engkau akan mencintainya seperti mencintaiku."

"Telan sumpahmu dan makhluk itu!" bentak Avram. Galilah kian tersudut di kamarnya dengan jantung berdebar. "Sudah cukup dosa ini. Engkau gila jika menambahnya!"

Avram tertegun. Emosinya mereda seiring ia mendekat pada Galilah. Membelai pipinya. "Pintu taubat amat luas. Lakukanlah demi kita. Tuhan Maha Pengampun." Namun, kelembutan itu sirna ketika Galilah menggeleng kuat dengan pendiriannya. Bisikan kembali hadir dalam benak Avram. Dia sudah berubah. Dia bukan lagi sesuatu yang patut dilindungi. Tiada yang melindungi dirimu selain dirimu. Sebilah pisau entah dari mana ia ambil. Ia acungkan. Benar, Avram. Cinta manusia tak bertahan lama. Buat dan selesaikan. Buka dan tutup. Mata Galilah yang dahulu indah kini terbelalak saat darah terciprat dari mulutnya.

Dia lempar pisau itu ke sembarang arah, menatap seluruh lantai dan tangannya yang berlumuran darah. Dua telah pergi. Apakah Tuhan juga? Tidak ... dia terduduk penuh penyesalan. Tangannya terkepal kuat seolah remuk dan hancur. Dia tak bisa beranjak ke mana pun sampai penduduk menemukan mereka saat pintu didobrak. Mengamuk. Beberapa mengurus jasad Galilah sedangkan Avram diseret paksa ke tengah desa. Malam itu rusuh penuh ketegangan. Obor-obor meliuk liar. Penduduk menyorakkan berbagai cemooh hina terhadap Avram yang terikat di bawah, dekat seorang pria yang mengasah kapak.

Air mata bercucuran dari wajahnya yang merah. Apa yang harus kulakukan? Maka suara gamang menjawab. Engkau tahu bahwa aku yang paling benar dan engkau salah. Maka dengarlah aku. Avram meneguk air liurnya yang asin darah. Aku mendengar. Suara itu bertitah, sujudlah padaku maka aku akan menolongmu. Avram bangkit dengan sisa tenaganya lantas bersungkur ke tanah dengan khusyuk. Aku bersujud padamu.

Kemudian, satu tawa melengking dalam benaknya. Sungguh, Tuhan berjanji dan aku pun berjanji, tapi Dia membenarkan sedang aku menyalahinya. Aku tak punya kuasa bagimu. Jangan engkau mencerca aku, tapi cercalah dirimu sendiri. Aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Tuhan) sejak dahulu.

Avram semakin tersungkur dalam tangisan melengking dan sengsara, namun segalanya sudah tak lagi berguna. Tuhan kini menutup pintu baginya dan kapak telah diangkat, meluncur mulus melalui lehernya yang penuh linangan air mata dan darah.

***

"Manusia adalah makhluk paling sempurna yang Tuhan ciptakan di antara malaikat dan jin, namun memiliki kelemahan terbesar yang menentang kodrat mereka. Tak seharusnya mereka angkuh. Tak seharusnya mereka patuh terhadap janji-janji yang akan hangus dibakar api. Kita tentu tak ingin sedikit pun terjilat bara neraka-Nya? Maka dari itu, Nak, ambillah pelajaran dari kisah ini."

Tetapi, anak itu masih menangis tersedu-sedu seperti tuli. Air di gelas tak lagi ia hiraukan. Matanya sembab merah dan napasnya tersengal seolah ia akan mati. Dia mencengkeram tanganku. "Lalu ... jika Tuhan Maha Pengampun ... mengapa aku hidup ...?"

***

Kaltara, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro