Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kalajengking Biru

Saat meraih kesadaran, pandanganku disambut sosok yang aneh di atas pasir. Langit hitam menaungi gurun tempatku terlungkup setelah jatuh, menggigil tak berdaya. Makananku habis. Minumku habis. Rasanya perutku amat sakit dan kerongkonganku kering. Jelas aku akan mati sebentar lagi. Disergap kedinginan yang menggerogoti tubuhku perlahan. Namun, sosok itu berhasil mempertahankanku untuk sadar. Meski buram, aku masih bisa menangkap sosoknya.

Seekor kalanjengking.

Jadi … beginikah aku akan mati? Disengat kalajengking di tengah gurun pasir … di tempat antah berantah .. tanpa siapa-siapa. Apa yang membuatku pantas? Apa yang membuatku tidak pantas?

Kalajengking itu biru gelap, tapi sesuatu bercahaya dari dalam ekor beracunnya yang melengkung, siap menyengat siapa pun. Dia bergerak menjauh. Mengapa? Seekor hewan bahkan tidak berminat membunuhku. Aku mengerahkan sisa tenagaku untuk terus merayap, mengikutinya. Jejak kaki-kakinya yang kecil di permukaan pasir tersapu oleh tubuh yang kuseret. Aku tidak sanggup berdiri. Tidak ketika kakiku sudah berjalan amat jauh tanpa menemukan apa-apa yang berarti. Untuk apa kita berusaha untuk kesia-siaan?

Kepalaku terasa amat berat, napasku tersengal. Segalanya memburam. Aku kehilangan kalajengking itu. Aku kehilangan satu-satunya hal yang bisa menjadi penyebab matiku selain ketidakmampuanku. Namun, entah sejauh apa aku menggeret tubuhku, ada hal lain di depan sana. Bukan lagi sebatas perbukitan pasir-pasir yang membuatku muak. Itu sebuah pintu kayu. Aku tidak tahu kalau gurun pasir memiliki pintu, atau, aku tidak tahu kalau ada orang yang meninggalkan pintunya di sana. Berdiri tegak seperti tidak memedulikan apa-apa.

Pintu tidak butuh untuk peduli. Dia hanya pintu. Bahkan ketika orang-orang yakin kalau pintu lebih wajar berada di sebuah bangunan, pintu juga bisa berada di tengah gurun pasir. Bukan aku yang bilang. Pintu itu yang menunjukkan dirinya di depanku. Aku terus merayap hingga mencapainya. Tidak ada apa pun lagi, tidak sebongkah bata pun di sini. Aku tetap berusaha bangkit meski sudah mencapai batas. Hanya untuk ini. Terakhir kali.

Dan, kenop pintu itu kuputar.

Buku-buku menghambur keluar menimpaku ketika pintu terbuka, seolah-olah tumpukan yang sudah penuh dan akan meledak. Anehnya, aku tidak terganggu. Sakit, tapi tidak menyebabkan apa-apa. Justru setelah seluruh buku tadi berserakan di sekeliling kakiku, pemandangan berikutnya membuatku termangu.

Sebuah ruang raksasa yang seolah tak terbatas. Langit-langitnya gulita persis sekelilingnya. Tanah yang kupijak seperti pantulan kaca hitam. Ada banyak buku. Banyak sekali sampai tak mampu kuhitung. Mengambang di udara, tersebar di daratan, bertumpuk, bertabrakkan, bergerak … seolah-olah setiap buku itu hidup dan memiliki kehidupannya sendiri.

Aku melangkah masuk dan merasakan sesuatu yang aneh.

Aku berdiri.

Aku berdiri seolah-olah tidak pernah merangkak menjelajahi gurun pasir karena hampir mati. Aku tidak lagi haus. Tidak lapar. Tidak ada perasaan apa pun. Kosong. Di belakangku, pintu itu masih terbuka menampakkan ranah yang tidak pernah lagi ingin aku sentuh.

Sebuah buku melayang di hadapanku sebelum kuraih. Aku membukanya. Sebuah gambar muncul di sana seperti lukisan minyak yang sedikit abstrak, tapi masih bisa membuatku paham. Bayi baru lahir. Perawat membawanya ke seorang wanita yang terbaring lemah, tapi menjadi amat antusias saat bayi itu digendongnya. Matanya berbinar. Halaman berikutnya adalah kehidupan si bayi mulai dari balita, anak-anak, remaja, dewasa, dan mati.

Aku meraih buku lain, kali ini lebih tipis. Sangat tipis. Aku mendapati awalan yang sama. Bayi baru lahir. Bedanya, tidak ada perawat. Tidak ada ibu. Dia tergeletak di dalam kardus di antara semak-semak sebelum seekor anjing liar datang. Aku tidak mau membalik halaman berikutnya. Halaman terakhir.

Sebuah buku jatuh menimpa kepalaku. Aku memungut dan membukanya. Lagi-lagi seorang bayi. Dia lahir tanpa perawat atau peralatan profesional, tapi ia dikelilingi orang-orang yang bahagia dan menyambutnya dengan hangat. Ketika membalik halaman, aku terperanjat dengan bunyi dentuman yang keras. Rumah tempat bayi itu hancur lebur akibat bom yang jatuh meledakannya. Orang-orang kocar-kacir walaupun lebih banyak yang tidak sempat melakukan apa-apa. Mati. bergelimpangan. Darah dan organ tubuh mereka tercerai berai. Tapi, buku itu tebal. Aku membuka cepat semua halaman yang menampakkan kehidupan si bayi, mulai dari balita, anak-anak, remaja, hingga dewasa.

Aku tertegun.

Aku berkeliling lebih lama lagi, membuka buku lebih banyak lagi, memperhatikan setiap kehidupan orang-orang yang tak kukenal. Aku tak kenal mereka, tapi aku juga manusia, dan entah sudah berapa hari aku habiskan tanpa melihat satu pun. Jadi mungkin saja aku rindu meski aku sendiri adalah manusia. Di dunia ini, manusia-manusia itu tidak hadir secara langsung, tapi aku melihat dan merasakan mereka. Aku larut dalam kehidupan mereka.

Sampai kemudian, aku menemukan buku yang jauh dari segala tumpukan buku. Seolah-olah ia menyendiri tanpa ingin diganggu. Aku berbalik dan pintu ke gurun itu lenyap. Entah di mana dia, atau di mana aku. Aku sudah berjalan terlalu jauh tapi aku tidak akan berhenti. Aku mengambil buku penyendiri itu dan membukanya. Kosong. Buku itu kubolak-balik, kusingkap setiap halamannya, tapi nihil. Tidak ada apa pun padahal tebalnya jauh melebihi buku kehidupan seseorang yang hidup seratus tahun.

Ingat.

Aku tersentak. Suara itu bergema di dunia ini, atau hanya dalam kepalaku. Mungkin itu aku, mungkin sesuatu yang lain yang aku tidak tahu apa. Tidak ada siapa pun di sini. Aku tidak memiliki siapa-siapa. Aku hidup sendiri sepanjang waktu terus berjalan melingkupi semesta.

Kamu hanya lupa.

Lupa apa?

Aku diam. Menunggu. Namun, suara itu tak kunjung membalas. Ataukah itu aku? Aku harus menjawabnya? Untuk apa menjawab pertanyaan yang kita sendiri mengajukannya akibat pernyataan yang kita sendiri melontarkannya?

Buku di genggamanku bergerak terbuka. Setiap halaman terbalik sendiri seolah-olah ada angin dahsyat yang melewatinya. Melewatiku. Melewati buku-buku di dunia ini karena semuanya, sekarang juga, mulai melayang dalam ketidakteraturan. Bertubrukkan. Meledak dan hancur menjadi sesuatu yang tidak berarti dan berbekas. Aku menunduk seraya melindungi kepalaku. Suara di sekelilingku begitu kencang. Begitu mengerikan. Ketika tidak ada sesuatu pun yang mampu melakukan apa-apa selain energi tak kasatmata ... setiap kehidupan, yang indah, yang nestapa, dihancurkan olehnya hanya dalam sekali kedipan mata.

Aku menangis. Meminta ampun. Aku tidak tahu kenapa buku itu kosong ketika buku-buku yang lain memiliki kehidupan. Mereka hanya terus hidup. Entah menderita, entah bahagia. Sengsara, atau penuh cinta. Mereka menjalaninya. Entah segera mati atau ditangguhkan lebih lama lagi. Mereka bersyukur. Dan, mereka sabar.

Tidak sepertiku.

Maafkan aku.

Aku membungkuk, menelungkupkan kedua wajahku tanpa ingin melihat apa-apa, hanya mendengar suara kehancuran yang memekikkan telinga. Seluruh tubuhku gemetar ketakutan.

Ingat.

Ingat ….

Ya, aku ingat.

Jadi ... tolong ampuni aku.

Ampuni aku yang telah membunuh diriku sendiri bahkan sebelum aku lahir ke dunia.[]

2/2/24
Airu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro