Sins #9: Tingkat Nyebelin Akreditasi A
🌊💘🎣
10 SINS OF
BEING SINGLE. |
Dasar orang gila gila gila.
Isi kepala Tharene terus-terus menderingkan frasa tersebut tanpa ampun. Semua tentu saja terjadi karena Si Tama Sableng. Orang itu memang juaranya mainin jantung orang. Casing hape dilempar, jantung Rere juga. Heran. Kok manusia kelakuannya kayak kentut yang terjebak di dalam liftㅡngeselin, ngagetin, bikin ingin kabur cepat-cepat.
Wendy tidak berhenti tertawa mendengar cerita Tharene-terutama di bagian metafora kentut.
"Kepikiran aja, Re. Tiati, habis kelar kentut biasanya rasanya jadi nyaman."
"Ngaco!"
Logika Wendy berkata, "Loh, logic aja, Sis Rere. Habis kentut enak, 'kan? Nyaman, 'kan?"
"Kaitannya ya nggak gitu, Sis Wendy!"
"Firasat Wendy mengatakan, no offense but Tharene Irena alias Rere naksir dan jadian sama Tamaheru Hutomo is actually sucks."
"Amit-amit. Plis plis. Enggak." Tharene menggoyang bahu Raymond. "Dokter Cinta-ku, tolong, bekap mulut kawanmu si Wiryana!"
Raymond sedari tadi ingin sekali menutup mulut Tharene. Malu banget gila diteriaki Dokter Cinta di tengah kafe. Ya, dia tahu, dia ini Dokcikiber. (Iye, Dokter Cinta Kita Bersama). Yang mengantri cerita padanya banyak karena dia bijaksana. Dia juga sudah biasa mendapat reaksi bin aneh. Termasuk state parno histeris norak seperti ini. Ya ampun, kalau kalau bukan saudara, kepala sepupunya ini bakal sudah dia jepit pakai ketiak. Bodo amat bau.
Ini nih yang bikin Raymond nyaman banget sama pacarnya. Neira itu kalem, tenang, imutㅡah, mantap deh pokoknya. Tidak masalah jadi Bucinoid. Raymond bangga jadi bucin asal Neira Irena majikannya.
"RAY!"
Astaga. Malaikat, ini nyawa sodara gue lo pause bentar aja gapapa, dah.
Raymond malu. Kalau bukan karena sayang Rere, Raymond tidak akan tahan duduk di sini. Sudah beberapa pasang mata sesama tamu kafe melihat meja mereka dengan tatapan yang agak-agak alias menyiratkan, Mbak, suara lo gede banget, elah.
"Rere, mending kamu kecilin volume suara sebelum kita ditendang lalu ditelanjangi secara tidak hormat akibat suara kamu."
"BODO."
Ya Tuhan. Raymond memalingkan wajah malu. Mirip sekali congor Tharene dengan punyanya Gianna Senja.
Untung Tharene tidak bertemu dengan kawan SMA-nya yang itu. Takut-takut pabrik penutup telinga kehabisan stok jualan karena seluruh manusia di muka bumi harus pakai penyumpal kuping.
Tuhan memang baik. Pantas temannya Artha Timo-chan taat ke rumah ibadah. Betapa rindu Raymond terhadap kedamaian batiniah ini. Raymond cuman bisa mengelus dada dalam hati.
"Kenapa Tamaheru dari semua cowok? Gosh," dengusan Tharene tidak kunjung berhenti. Marah melulu.
"Aduh, Re. Tapi Tama itu lucu, tahu. Gemesin. Baik dan nggak tarik-ulur segala. Kamu sama dia aja. Umur hanyalah angka, Re. Tidak apa brondong."
Wendy mencoba mempersuasi sahabatnya-sebenarnya Wendy dan Raymond ini sedang menjalankan misi rahasia. Iya, iya. Misi rahasia yang kalian semua sudah tebak, yaitu menjodohkan Rere dengan Tama.
Tapi belum sempat Wendy mengeluarkan puji-pujian untuk Tamaㅡsupaya sedikit mengubah impresi Tharene terhadap pria tersebutㅡpintu kafe terbuka. Lalu tiga pasang mata semeja itu pun menoleh ke satu arah yang sama.
Pintu masuk. Cowok tinggi rambut hitam dengan sweater turqoise. Senyum kotak.
Mata Tharene membulat, setengah bete. Kok Tama lagi-lagi bisa berada di sini?!
"Aku yang ngajak." Raymond berdeham, berkata begitu saja seolah tahu apa isi kepala Tharene yang sedang menggebu-gebu dan kehilangan kontrol.
"BIAR APA?!"
"Eh, rem atuh, sister," potong Wendy mengingatkan, dia sudah mulai takut karena hawa tamu sekitar mulai memanas. "Ngegas hajima."
"Lagian nggak baik ngomong teman sesama circle sendiri. Gimana kalau kau lampiasin protes kamu aja ke orangnya langsung?" Raymond menyarankan.
Tharene mendesis bete, tidak tahu lagi deh gimana bentukkan muka Tharene. Yang pasti, saat bola matanya menatap Tama, si bayi besar menyebalkan itu malah memberikan tatapan polos-idiot. Menyuarakan melodi telepati; 'ayo-hujat-aku'.
Haish. Apa sengaja supaya Tharene marah?
Tapi Tharene tidak bisa melakukan apapun selain menyesuaikan diri. Gadis itu mengira bahwa mereka akan lanjut berbincang, tapi kenapa sahabatnya dan sepupunya yang paling jahanam ini malah berdiri serentak bangkit dari kursi?!
Oh tidak, tidak, tidak. "Jangan tinggalin Rere, plis, plis plis!" bibirnya mengerut, memelas.
Do you think it will work? Ha. No, of course.
"Kepalaku pusing. Terus masih mau ngurus kerjaan."
"Aku dicariin Agus. Kamu tahu 'kan pacarku-" ucapan Wendy terpotong. Tharene merengek dengan cengkeraman di tangan. "Wen! No way! Jahat banget kamu giniin aku."
"Sagara Agus galak, weh. Kamu tahu 'kan aku sama dia pernah putus gara-gara perkara telat? Aku udah janji harus ketemu dia jadi..." kalimat Wendy berhenti dengan sendirinya saat Tharene merelakan cengkeraman yang bersuara, 'ya udah lo pergi aja dah. Sebel.'
Kemudian Tharene mencari Raymond, "Kak Raymond," menambahkan embel-embel ‘kakak’ yang sebenarnya tidak pernah dipakai Tharene selama ini. Padahal Raymond dan Rere memang terpaut 2 tahun. Namun saking dekatnya, yah begitu. Kata-kata kakak cuman bakal muncul ketika ada maunya. "Kakak?"
Boro-boro melanjutkan, Tharene hanya bisa menganga saat yang ia dapatkan hanya punggung Raymond yang sudah menjauh dari pintu kafe berbahan kaca transparan.
Dia ditinggal.
Tharene bersumpah. Kalau bukan hari ini, berarti besok-ia bakal menabrakkan kepala Raymond ke akuarium sampai lumut di sekeliling kotak kaca itu pindah ke otak Raymond, biar membusuk benyek di sana. Ew!
Tapi tidak sampai 10 detik, Raymond kembali.
Seolah-olah baru saja membaca pikiran Tharene yang jelas sangat membahayakan nyawanya, Raymond mengulas satu cengiran kaku bak robot.
"Kok balik?" tanya Tharene setengah mengusir.
"Iya, kok balik?" Tama membeo. "Pulang aja."
"Takut ditimpuk. Takut diambekin satu abad," ucap Raymond.
Lagipula, setelah dipikir-pikir, kalau sepupu rempongnya ini tidak mau dijodoh-jodohkan dengan Tamaheru Hutomo, maka hasilnya pun bakal sama aja. Nihil.
Jadi, Raymond Hernando, sang manusia paling pintar pada masanya di SMA Chandrawaka pun punya ide lain yang lebih bagus.
Well, selamat datang di program Marketing Cinta!
Kalian tahu apa soal Marketing? Menjual barang supaya customer ingin beli? Tidak, tidak.
Strategi pemasaran itu sama seperti strategi cinta, guys. Beri mereka apa yang mereka butuhkan. Temui mereka di titik tempat yang sering mereka kunjungi.
Intinya, jangan dorong pelanggan untuk melirik, pokoknya buatlah alat penarik supaya doi melirik dengan alamiah. Biasanya sesuatu yang positif seperti... hmm-sial, Tama punya apaan, ya?
Baik sih, tapi bodoh. Baik sih, tapi suka malu-maluin. Baik sih, tapi terlampau polos. Bisa-bisa kalau mereka berdua pergi minum ke klub, malah Tharene yang menggendong Tama di punggung kali, ya? Raymond belum pernah coba membuat Tama passed out karena alkohol. Dan ogah coba. Trims.
Menyerah saja, deh. Raymond Hernando kehilangan ide tentang apa yang harus dibanggakan dari Tamaheru Hutomo.
"Nanti pulang naik apa, Kak?" tanya Tama di tengah perbincangannya dengan Tharene-yang sedari tadi tidak Raymond dengar.
"Bareng Raymond, rumah kita searah."
"E-eh, nggak bisa," tukas Raymond begitu saja.
Aduh, mulut. Raymond memijat pelipisnya yang berdenyut pusing. Kok kamu gitu sih ngomongnya, mulut? Kamu nggak ada takut-takutnya, ya, sama Tharene? Bagooos. Yang takut mah telorkuㅡdipecahin nanti. Sial.
Alis Tharene menukik galak. "Kenapa nggak bisa?"
"Ehm," Raymond menggaruk tengkuk, kebingungan, "Aku ada urusan ke gudang. Di Bintaro."
"Aku gabut, kok. Nggak apa-apa aku ikut jauh-j---"
"Nggak, ng---"
"Kenapa nggak bisa?" potong Tharene dengan cepat.
Bagi Tama yang menonton, dia bingung sekali, kok bisa-bisanya mereka sudah tahu apa yang akan dikatakan selanjutnya. Padahal isi konversasi mereka hanya memotong satu sama lain.
"Aku mau pacaran."
"Pacarmu lagi liburan di Bandung."
Jawaban Tharene otomatis membuat dusta Raymond bungkam dan tak bisa dilanjutkan, apalagi saat sepupu wanitanya mencebik. "Tingkat halu kamu akreditasi A, ya?"
"Aku bisa pacaran dimana-mana." Kokoh sekali pendirian Raymond. "Udah plis, jangan bacotin privasiku. Mau enak-enak di gudang. Bye!"
Kemudian pria itu segera berdiri saat berhasil membuat Tharene menganga tak percaya.
Enak-enak di gudang, katanya? Ha.
Tharene pengin sekali tertawa sekencang-kencangnya. Dia pikir ini film Call You By My Name, apa? Dia pikir dia si pemeran utama Park Jimin dan Kang Seulgi yang punya gudang di atas toko buku, huh?
Tharene menggeleng tak habis pikir. Sejak menonton film itu, Raymond suka ngawur bilang; Enak-enak di gudang kayaknya enak. Coba ah sama istri entar.
Luruh sudah citra Raymond yang keren dan bisa diandalkan. Jadi pengin taruhan. Siapa yang masih mau jadi istrimu kalau habis baca ini, heh? Kalau ada, aku joget dangdut koplo bareng Tama.
"Kak," panggil Tama menyadarkan Tharene dari lamunan. "Lama juga mangapnya."
"Oh? Sori, sori. Aku balik naik MRT aja."
"Ke arah MRT harus putar balik, Kak. Sekalian aja, yuk."
"Sekalian apa?"
"Sekalian pulang dianterin sama saya, dong. Masa sekalian mendekatkan diri?"
Masyaallah, Gusti. Nggak ada tobat-tobatnya ini salmon. Panggang saja, apa, ya?
Tharene jadi punya pertanyaan.
Pernahkah kalian bertanya-tanya dimana tempat Tamaheru Hutomo belajar menjadi orang yang menyebalkan? Apa tempat kursus tersebut terakreditasi A, ya?
Heran, kok jago. []
TO BE
CONTINUED. |
NOTES:
DOUBLE UP SOALNYA AKU BAIK. SINI KALIAN SEMUANYA SUNGKEM SAMA AKU! >:(
Eh ada yang kepo gak sama pacarnya dokcikiber Raymond?
Itu clue buat cerita vrene baru aku! Iyaaaaz yang bandung2 itu 🤤
Aku spill dulu deh Raymond-nya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro