Sins #24: Hari Bersejarah
🌊💘🎣
10 SINS OF
BEING SINGLE. |
Bangun-bangun, Tharene sudah ingin mengumpat kepada semesta.
Satu, karena alarmnya terlambat 15 menit. Meski ini tak tampak kritikal, tapi 15 menit di sela-sela acara penting itu sangat berharga. Bahkan awalnya Tharene merencanakan 15 menit ini bisa dipakai untuk mempersiapkan diri supaya semakin matang. Ugh, okay fine.
Dua, dia meninggalkan charger laptop di rumah, sehingga ia hanya bisa berdoa semoga perangkat yang tengah ia dekap erat sembari menunggu giliran tidak akan mati di tengah presentasiㅡuntunglah perkara yang ini sudah selamat. Rere sudah membawakan presentasi tentang risetnya. Dia kini hanya menunggu pengumuman.
Tiga, Raymond mengirimkan pesan horor yang baru ia baca setelah selesai sidang. Katanya, Tama cuti?! Aku lihat dia lagi ngurus dokumen di ruang layanan mahasiswa.
Demi apapun yang ada di galaksi, Tharene merasa dihantam komet dan planet Jupiter secara bersamaan.
Jadi itu alasan Tama tidak mau diantar ke Bandara Soekarna-Hatta esok?! Sial. Tega-teganya membohongi Tharene begitu. Dengan kemeja putih dan rok sepan hitam selutut yang tidak nyaman, gadis itu mendobrak pintu ruang layanan mahasiswa, membuat semua pasang mata hening menatap dirinya dengan terheran-heran.
God. Tamaheru tidak ada di situ.
Tharene mundur beberapa langkah dan membalikkan tubuh, nyaris menubruk seseorang yang sangat ia kenali. Ini dia si tersangka sialan!
"Heh, kamu!" Tharene langsung menuding sang pria. "Katanya nggak lama di Singapura, kok cuti?!"
Tama menganga bodoh. "Hah?" Pertanyaan yang keluar selanjutnya, membuat Rere terpekur semakin bingung. "Kata siapa aku cuti, Re?"
"R... Raymond?" jawab Tharene tidak yakin sendiri.
Mulut Tama membulat mengerti. "Hoax itu! Malahan, Bang Ray yang nyuruh aku ke sini! Aku juga nggak tahu kenapa disuruh kesini. Katanya dia mau ketemu curhat!"
Hah? Raymond bajilak!
"Terus?" tanya Tharene bingung.
"Ya, terus?" Tama balas bertanya karena dia juga betulan bingung. Mata polosnya meyakinkan sekali.
Gadis itu menganga sampai merasa mulutnya nyaris kering. Sialan. Apa-apaan ini? Bahkan si pelaku sebenarnya tidak memunculkan batang hidungnya di sini. "Kamu besok betulan ke Singapura, kan?"
"Ya, betulan kalau itu..."
"Terus?" Rere semakin tidak mengerti situasi apa. Otaknya bahkan tidak tahu kenapa dia melontarkan pertanyaan.
"Terus? Terus gimana?"
Rere mengernyit sebal mendengarnya. Roda pertanyaan terus berputar tanpa henti sampai akhirnya Tama gagal menahan senyum, membuat Tharene mengernyit. "TimTamTV is coming. Coba Ibu dilihat dulu di sudut sana ada tim saya."
Anjir lah. Kepingin sleding tapi tidak bisa.
"Ehe."
Rere kehilangan setengah jiwa dan dia hanya bisa menatap kosong pada tim Tama yang membawa begitu banyak deja vu.
Anggota tim amatir bermodalkan ponsel itu menahan tawa. Raymond melambaikan tangan dengan senyum polos yang semuanya hanya bisa Tharene balas dengan mulut yang menganga kering. Merasa dibodohi mati-matian.
"Kamu mah oon, Re. Yeri masih di rumah sakit, nggak mungkin aku ke Singapura. Siapa yang ngurus?"
"Katamu, tante kamu!?"
"Yeee, percaya aja kamu sama Tama, ah." Dia lalu tertawa puas karena rencananya tidak rusak sepenuhnya. "Aku malah ngira surprise-nya bakal gagal dan ketahuan ngibul. Memangnya akting aku bagus banget, ya? Apa aku jadi aktor aja, ya, habis ini?"
"ADUH!" Tama meringis karena lengannya dilempar bogem mentah oleh Rere. Gadis yang kini menatapnya dengan tangan terkepal punya mata yang basah. Dia tidak mau menangis di kampus. Memalukan.
Pandang mata Tama disejejarkan dengan Tharene. Tama mencondongkan wajah, nada ucapannya melunak. "Gimana? Lulus sidangnya?"
Dengan mata berkaca-kaca dan bibir cemberut, Tharene mengendikkan bahu. Dia tidak tahu. Mungkin pengumumannya 1 jam lagi. Entahlah, tergantung dosen penyidang selesai berdiskusi dan memberi nilai untuk peserta sidang yang tergabung dalam satu kloter yang sama dengan Tharene.
Tama merentangkan dua lengan lebar-lebar. "Sini peluk. Kangen, nggak?"
Tharene langsung menghamburkan diri kepada sang pemuda. Dia mengangguk pelan tanpa suara, memeluk erat Tama dengan gengsi yang telah diluruhkan.
"Diem banget kamu hari ini? Gugup nunggu hasil?" Tama bertanya lembut. Melepas dekapan, Tama mengekor di samping Tharene yang berjalan mendekati ruang sidang.
Keduanya berdiri di depan pintu kelas yang tadi dipakai sebagai ruang sidang kloter Tharene. Beberapa teman kuliah Tharene yang tidak Tama kenali sudah mulai mengerumuni sang gadis, bertanya ini-itu tentang siapa Tama dan bagaimana proses sidang barusan. Beberapa di antara gadis itu sudah membawa hadiah untuk menyambut pengumuman Tharene nanti. Dari semua gadis-gadis, ada Wendy yang mencolek bahu Tama. Membalas senyum ramah pada sang senior, keduanya mencari tempat lebih tenang untuk berbincang.
"Eh, Kak Wendy, sidangnya kapan?"
Dengan satu tangan yang memeluk buketㅡsiap diberikan kepada Tharene nantiㅡtangannya yang lain mengusap dagu, "Belum keluar jadwalku. Kayaknya minggu depan, deh." Wendy tertawa. "Ngapain kamu basa-basi sama aku?"
"Ehe." Tama menyengir malu. "Kebiasaan, Kak. Ngomong-ngomong nanti pada ramein sidang Rere? Bang Sagara kok nggak bareng kakak?"
"Dean sama Sagara emang tukang ngaret. Nanti juga muncul. Raymond kemana? Bukannya tadi sama kamu?"
Ah, benar juga. Dia baru sadar. Bisa-bisanya Tama meninggalkan pahlawan yang membantu prank-nya sejak pagi ini.
Kasihan Ray kita. Sudah diperbudak, dikatai bajilak, dilupakan pula.
Mendadak wajah Tama bergerak kaku, dia langsung cengar-cengir malu dan pamit undur diri pada Wendy untuk segera menemukan Raymond. "Kak Wen! Nanti kalau Tama dicariin Rere, tolong bilang aku nyari Bang Ray, ya."
Pemuda itu menyambungkan sambungan untuk Ray dan langsung bergegas ke kantin saat mendapat balasan. Dari balik salah satu stall makanan, dia melihat sosok Raymond yang sedang terduduk menikmati soda es bersama satu gadis familiar yang tidak akan ia sebut namanya.
Tama melenguh lega dalam hati. Pemuda itu mengirim pesan pada Raymond kalau ia tidak jadi menghampiri ke kantin karena sudah dicari oleh Tharene. Setelah melempar kebohongan putih seperti itu, Tama langsung pergi ke parkiran mobil, membuka bagasi mobilnya hanya untuk mengambil sebuket bunga kertas medium yang disusun sedemikian rupa meyerupai karakter anjing corgi serta memikul tas ransel navy di satu bahunya dengan cepat.
Ponselnya berdering.
"Tama, kamu dan Kak Raymond dimana? Pengumuman Tharene udah keluar! Dia lagi sibuk foto-foto tuh sama teman-teman." Wendy berkata saat pemuda yang sibuk grasak-grusuk itu mengangkat telepon. "Sagara dan Dean juga sudah sampai."
"Kak Raymond lagi ada urusan, nanti juga muncul sendiri. Ini aku lagi nunggu lift."
Timing begitu tepat tatkala sambungan terputus dan bunyi ting dari elevator terdengar. Tama langsung menyerempet masuk sembari mengangkat buketnya tinggi-tinggi agar tidak terhimpit manusia yang semakin memenuhi ruang kubus ini.
Setelah pintu terbuka dan menemukan gadisnya di tengah kerumunanㅡtertawa riang dengan senyuman paling cantik yang ia sukaㅡTama berdiri diam dari kejauhan, menunggu kontak mata yang terjadi beberapa detik setelahnya.
Tharene memalingkan wajah, rambut pendeknya bergerak sedikit tertiup angin ketika kembang di pipinya merekah. "Tama!"
Dengan wajah sesegar itu sudah dipastikan kalau pengumuman telah keluar dan menghadiahi kabar indah bagi sang gadis yang telah berjuang begitu banyak untuk satu jilid penelitian. Atribut selempang atribut yang diberikan teman-teman bertuliskan 'Tharene Irena, S.E.' sudah bergelantungan di bahu. Gadis itu meletakkan banyak buket yang tak bisa lagi dibendung tangan di kursi sebelum berlari menghampiri Tama, menggantungkan lengan di leher Tama dengan euforia maksimal.
"Aku lulus!" Gadis itu mendongak dengan wajah paling cerah yang pernah ia tunjukkan. Astaga. Ternyata seperti ini rasanya melepas beban setelah skripsi selesai. Rere bisa merasakan kalau pria di hadapannya ini tulus ikut senang menemani perjalanan skripsinya yang amburadul.
Tama menyodorkan buket bunga kertas karakter yang ia pesan sejak seminggu lalu kepada Rere. Ketika nama lengkap sang dara disebut dengan suara baritonnya, kepala Tharene diusap. "Congraduation, Tharene Irena. You did it."
Tama mengirim debaran menyenangkan ketika menatap Tharene dengan penuh rasa bangga dan sayang yang saling bertumpang tindih. Pipi gadis itu menghangat ketika Tama mengeluarkan sesuatu dari dalam ranselㅡmenepati janji sekaligus mengatakan hal yang paling ingin Rere dengar.
"As I promised, your graduation gift."
Rere menatap Tama dengan sepasang netra yang membendung rasa haru dan bahagia. Sungguh, di detik ini dia tidak butuh apapun atau siapapun selain sosok Tamaheru.
Yang disodorkan Tama itu adalah satu jilid skripsi berjudul Analisa 10 Dosa Menjadi Jombloㅡditulis oleh Tamaheru Hutomo, dengan banyak cinta dan tanpa joki. []
TO BE
CONTINUED. |
_______
NOTES
ONE. LAST. CHAPTER!!!! OMG!! BEBAN COPOT 1 JUGA AKHIRNYA. Pokoknya tidak pol kalau kalian tidak mengintip apa isi tulisan skripsi Tama!! AhaHAHAh
YUK YUK~ SAMBIL NUNGGU LAST CHAPTER MENDINGAN SEKARANG BANTU AKU BIKIN SPECIAL CHAPTER. Caranya mudah, kok. Cuman tanya ke karakter-karakter di 10 Sins of Being Single. Pertanyaan boleh apa aja, yang ngaco sampai serius. Bakal dijawab sama mereka masing-masing di satu chapter khusus.
[] Tharene (Rere)
[] Tama
[] Raymond
[] Andrean (Dean)
[] Wendy
[] Agus/Sagara
[] Yeri
[] Gianna
[] Aku (?)
Drop sesukanya, yaaa! Mohon bantuannya <3 Kalau aku ngerasa udah cukup banyak, aku langsung update chapter selanjutnya. Yay! See you!
[and this is it! SOUNDTRACK PENUTUP "10 SINS OF BEING SINGLE"]
Liriknya, dong. Cute bangeeeet. Kayak sahut-sahutan ala Tama-Rere gitu. <3
Thanks to spotify karena help me find a lot of suitable soundtrack buat cerita ini T_T
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro