Sins #23: Ditolak Ikan Salmon
🌊💘🎣
10 SINS OF
BEING SINGLE. |
Satu hari sebelum sidang dan tahu-tahu Tharene Irena membuat satu-satunya manusia yang berada di kamarnyaㅡRaymondㅡterkejut bukan main. Rahang pemuda itu nyaris jatuh ke tanah, terperangah takjub mendapati ujung surai Tharene kini menyentuh bahu.
"Kamu potong rambut?"
Masih berkutat dengan setumpuk buku dan jurnal yang harus ia kuasai, Tharene melirik sekilas. "Lah? Raymond di sini?"
Tharene jelas tidak mengundang pria ini kemari. Sidang sudah dekat, bahkan di bawah 24 jam. Dia merasa gelisah dan memilih potong rambut untuk mengurangi gugup. Entah kenapa, itu cukup bekerja untuknya.
"Kamu kenapa kayak orang patah hati, sih, pakai potong rambut segala?" Raymond mengernyit. Tharene tidak memberikan jawaban. "Masa serius karena Tama nggak mau diantar ke Bandara lusa?"
Yang mengisi ruangan cuman celetukan Raymond, melodi lofi dengan volume minim, dan bunyi cetik laptop Tharene yang terkadang diselingi bunyi kertas yang dibalik.
Tetapi, setengah dari yang diduga-duga Raymond benar adanya. Tama tidak mau diantar ke Bandara. Pemuda itu cuman beralasan kalau dia tidak mau melihat Tharene menangis di Soekarno Hatta. Di lain sisi, mereka memang memiliki kesulitan untuk menggabungkan jadwal lantaran sama-sama sibuk. Terutama Tharene, dia harus menyiapkan bahan materi untuk sidang besok. Kurang lebih skripsi Tharene membahas tentang perilaku online konsumen perempuan terhadap kosmetikㅡdia memilih itu karena dia pernah magang di perusahaan beauty jadi dia memilih topik yang bisa ia kelola dengan baik dan pahami secara dalam saja.
"Re?"
Gadis itu menoleh. Sebelum Raymond berbicara, dia mencuri start terlebih dahulu. "Kakak gimana tuh sama Neira? Kemarin makan malam, kan?"
Raymond melipat bibir, tidak bersuara untuk beberapa detik. Tharene melenguh karena tahu bahwa pemuda itu belum ingin bercerita. "Ya udah, ceritanya nanti, deh. Aku belajar dulu."
"Eiy, aku sama Rena baik-baik aja. Apa yang mau diceritain?" Raymond tertawa sekilas, kemudian dia menepuk kepala adik sepupunya sebelum berjalan menjauh. "Good luck."
"Mau balik, Kak?" Tharene menghentikan langkah Raymond di ujung daun pintu.
Pemuda itu mengangguk. "Tadi aku kebawah cuman bawain barang titipan Mama buat kamu."
"Serius? Apaan?"
"... Donat tabur gula?" Raymond tidak yakin. Dia hanya meletakkan kotak itu tanpa mencari tahu apa isi di dalamnya. Yang ia tahu bungkusan itu menguarkan aroma manis seperti gula bubuk dan adonan campuran kentang dan tepung manis. Pemuda itu melambaikan tangan. "Ya udah. Dadah, ya."
"Ray," panggil Tharene sejenak.
"Apa?"
"Mau dipeluk, nggak?" tanyanya dengan nada datar.
Menanti jawaban, Tharene menatap lurus menghadap mata sang sepupu yang tercenung bingungㅡbarangkali heran atas sikap panas-dingin yang merasuki Tharene. Ray diam sebentar sebelum membalas, "Nggak usah. Apaan, sih?" Tapi Tharene sudah lebih dulu beranjak dari bangku dan merentangkan tangan lebar-lebar.
"Kalau pelukanku ditolak, kupukul jidat kau pakai palu."
Glek. Raymond menegak ludah.
"Sini. Peluk."
Akhirnya karena Raymond yang masih diam saja, dipeluk Tharene yang tubuhnya jauh lebih kecil. Pemuda itu bisa merasakan puk-puk tulus di pundak. Dan entah kenapa, pria ini merasakan serangan gelisah melanda. "Ngapain sih Re, meluk-meluk?"
"Nggak apa-apa." Tharene berusaha menahan air mata. Dia sudah menganggap Raymond benar-benar seperti kakak kandungnya. Tidak ada manusia lebih keren dari pemuda di hadapannya ini.
Dulu ketika kecil, keduanya pernah tak sengaja memecahkan vas bunga di perkarangan nenek dan diomeli habis-habisan oleh ibunda Tharene yang terkenal paling galak dari satu keluarga besar. Raymond yang awalnya tidak menangis, jadi ikut meneteskan air mata saat Tharene mulai menangis sesenggukkan ketika diancam akan dilipat dan dimasukan ke dalam vas oleh ibunya sendiri.
Tharene jelas ingat bagaimana Raymond cilik---berusia 8 tahun dan sambil tersedu-sedu menyeka ingus---berusaha melipat diri ke dalam vas untuk menunjukkan kepada Rere 6 tahun bahwa manusia tidak bisa dilipat dan disumpal ke dalam vas. "Tuh! Nggak bisa, Rere. Kita nggak bisa dilipat. Gapapa, gapapa. Jangan takut," lalu keduanya kembali menangis lega dengan huhu yang tidak kunjung berakhir nyaris sampai penghujung acara keluarga besar.
Dan kini, Tharene hanya merasa kalau Raymond butuh satu pelukan. Entah mungkin karena pemuda tampan itu tampak kelelahan karena terlalu banyak bekerja atau apa.
Tharene menggigit bibir dan menarik isi hidung sebelum berdeham malu karena sisi emosional mulai menguasai dirinya. "Kan Raymond itu manusia yang paling baik di dunia Rere. Jadi pasti banyak pahala, siapa tahu kalau melukin kamu, akunya juga kedapetan berkat."
"Apa, sih? Nggak ada kayak gitu, ah." Raymond berkilahㅡsetengah canggung, setengah baruㅡnamun dia tetap menerima rengkuhan Tharene.
Walau Raymond mengenal baik adik sepupunya, dia masih tidak terbiasa menangani sisi lembut Tharene yang biasanya berkelakuan bar-bar. Bahkan sekarang bulu kuduknya merinding ketika Tharene makin mengencangkan pelukan sambil berucap, "Sayang Kakak."
Astaga. Apa Tharene punya penyakit mematikan?
Raymond langsung menggeleng kasar, berharap supaya pikiran menyeramkan barusan terbang memantul ke udara. Dari semua alasan---stres skripsi, stres sidang, dikerjai Tama, rambut dipotong terlalu pendek oleh Mbak Salon---Raymond sungguh-sungguh tidak tahu mengapa anak ini mendadak menempel padanya begitu erat seperti lem aibon. Dan acara diskusi pribadinya langsung buyar karena ia dikejutkan oleh suara ingus yang disedot kasar.
SROOOOT~!
Tharene mulai menangis, tidak peduli apa dia terlihat jelek apa aneh, dia mulai mengeluarkan suara merengek seperti balita yang langsung dikecam oleh Raymond.
"Heh! Jelek banget itu muka!"
"Udah woi, jangan nangis." Bahu Tharene digoyang-goyang. Raymond tidak bisa kuat melihat air mata. Dia bahkan pernah menangis karena melihat video sapi yang meneteskan air mata karena mau disembelih. Astaga, Tuhan. Tolong hentikan sesi tangis-idiot ini. "Nanti saya ikutan!"
"Woi, ah!" Raymond akhirnya tertular dan ikut meneteskan air mata konyol karena Tuhan tidak mengabulkan doanya.
Keduanya bahkan tidak mengerti kenapa mereka menitikkan air mata begitu banyak pada hari itu. Dan ketidak tahuan itu dikalahkan oleh absurditas karena kakak-adik itu tertawa malu meledek kekacauan di wajah satu sama lain.
"Ah, gebleg kamu, Re."
Tharene tersipu malu dan menyeka matanya yang basah. "Biarin. Ray juga cengeng."
"Ini semua gara-gara aku trauma lihat air mata banjir kamu karena takut dilipat dan disumpal ke vas, tahu!" Raymond tertawa-tawa. Kali ini dia benar-benar keluar dari kamar Tharene setelah mengusap hangat kepala adiknya. "Good luck besok sidangnya. Kamu pasti lulus."
"Mhm. Thanks."
***
"Haaa? Rere potong rambut?!" Suara Tama dari sambungan video menggelegar nyaring, membuat Tharene tanpa sadar menjauhkan diri dari ponsel yang bahkan sudah jauh dari telinganya.
"Kenapa dipotong?" desak Tama.
"Soalnya gugup. Sekalian buang sial. Doain aku dapat penyidang yang baik, ya."
Tharene serius. Politik kampus itu nyata adanya. Tak menutup kemungkinan jika Tharene sedang apes dan mendapat durian busuk menancap di jidatnya. Makanya dia berdoa banyak-banyak, setara dengan total materi yang ia pelajari sejak pagi bahkan sampai malam ini.
Tama menggembungkan pipi. "Wah, aku bakal kangen lihat rambut panjangmu pasti."
"Memangnya jelek? Nggak cocok, ya?"
"Nggak. Cantik, kok. Cuman..."
"Cuman?"
"Cuman aku belum kesampaian nguncirin rambut kamu." Tama menyengir lucu, membuat Tharene meledak dalam tawa. Itu tawa paling ikhlas yang keluar dari bibirnya hari ini.
"Ya udah, tungguin aja rambutku panjang."
"Iya, kupacarin sampai rambutmu nyentuh liang kuburan."
"Woi! Serem banget, gila kamu, ya!?"
Tama terbahak-bahak, nyaris tersedak ludah sendiri karena saking gemasnya melihat reaksi Tharene yang betulan takut. Gadis itu tadinya menanyakan topik serius seperti; bagaimana kabar Yeri dan apakah akan ada orang lain yang mengurusnya selain Tante dari keluarga mendiang ibu Tama; tentang kapan Tama akan kembali kuliah---yang jawabannya berupa ketaksaan yaitu belum tahu kapan, tapi nggak lama kok; serta mengeluh tentang betapa banyak jurnal dan artikel referensi yang otak karatnya ini berusaha telan selama seminggu ini. Akhirnya, Tama berhasil menggeser topik yang membikin penat mereda.
"Emm..." Tama bergumam sejenak. "Jangan panik dan grogi. Aku belum pernah sidang, sih, tapi aku pernah ngalamin hal yang sama seramnya dengan sidang. Jadi, kalau Tama aja bisa ngelewatin, Rere juga pasti bisa."
"Emang kamu ngelewatin apaan?" tanya Rere.
Tama menyengir kaku. "Dijambak dan ditampar sama strangers sewaktu siaran langsung."
"Geez. Rasain, pasti itu karena kamu yang kurang ajar."
"Berkahㅡjadi kenal Rere," balas Tama membuat kekehan panjang merembes dari celah bibir sang gadis.
Menatap pada Tama yang sedang berbaring di bantal, gadis itu mendadak ingin juga bergolek di sebelah ranjang pemuda itu. Huh, dia rindu sekali Tamaheru Hutomo.
"Tama. Mau nanya, dong."
"Ya?"
"Kalau aku nggak lulus sidang... gimana?" Apa Tama nggak jadi nembak Rere?
"Gimana apanya?"
"Apa kamu..." Tharene menggigit bibir malu, "...apa perjanjian kita kemarin batal?"
Oh! Seolah bohlam lampu menerangkan ingatan, Tama baru paham maksud Tharene setelah membuat sunyi bercampur bunyi gemerisik selama 10 detik.
"Hm?" desak Tharene lagi.
Tama mengendikkan bahu dalam ambiguitas.
"Ngapain mikirin itu? Lulus dulu. Nanti aku pulang dari Singapura baru dibicarakan."
"Nggak mau." Tharene menggeleng, ngotot sekali. "Jawab sekarang."
"Ya ampun, gimana ini," ujar Tama pusing. Dia menepuk jidat, berusaha membendung rasa gemas dengan senyum lebar. "Sebegitunya pengen jadi pacar aku apa? Bucin Tama banget? Katanya benci Ras Bucinoid?"
Tharene menatap Tama dengan perasaan campur aduk.
"Apa lo?" Tama menjulurkan lidah, mengundang desisan sebal.
"Ya udah." Rere menatap berani. "Aku aja yang nembak kamu kalau kamu nggak mau nembak aku."
Tama merasa kerongkongannya disodok kapuk bantal saat gadis di depannya dengan lantang dan tatapan lurus---merusak rencana sempurna bak mahligai indah Tamaheru Hutomo---dengan berkata demikian.
"WOI! ADUH!" Tama mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. Tentu saja dia akan tetap menyatakan cinta meski Rere tidak lulus sidang! Lagipula, kenapa juga dia harus menjawab jujur dengan berkata kalimat keju seperti iya, akan kunyatakan cintaku padamu meski engkau tidak lulus sidangㅡlike, the heck?! Tama menggeleng kasar. "Nggak, nggak! Anda saya tolak."
"Kenapa, sih? Repot banget! Pacaran doang padahal!"
"Ya, masalahnyaㅡ"
"Tama suka nggak, sih, sama aku?"
"SUKA, RERE! SUKAAA!" Tama gemas sekali, nyaris ingin memencet layar ponselnya sampai retak. "Tapi jangan bikin kaget tiba-tiba ditembak gitu, dong!? Saya juga punya kemaluanㅡEH, MAKSUDNYA RASA MALU!"
"Ya, nggak usah malu. Langsung terima aja lah?"
"NGGAK!" Tama meninggikan suara, salah tingkah. Tharene benar-benar tidak mengerti. "POKOKNYA KAMU SAYA TOLAK! BYE!"
Sambungan langsung dimatikan secara sepihak.
Tama kabur, meninggalkan Rere yang menatap layar smartphone dalam keheranan yang bercabang-cabang.
Astaga. Ini serius. Tharene barusan ditolak sama Tamaheru Salmon Hutomo. LMAO. []
TO BE
CONTINUED. |
NOTES.
BENTAR LAGI 10 SINS OF BEING SINGLE TAMAT GAESSSSSSSSSS. SIAP-SIAP BERPISAH YA SAMA SEMUANYA DISINI T_____T <///3
BY THE WAAAYYYYYYY!! Web-drama favorit Tama (+Dean & Ray) "1997: One For Sure" bakal jadi salah satu judul buku baruku!!!
(((WKWK yes guys, selama ini aku promosi diam-diam. S4 Marketing.)))
Itu tentang 1 cewek punya 6 sahabat cowok yang dekeeet banget, like literally what Tama & Dean said.
Pokoknya konsep work tersebut bakal setipe bahasa web-drama atau intinya kekorea-korea-an gitu. Jadi nggak ada kaitannya sama Semesta Lokal Elisa.
Aku juga nggak tahu work itu bakal rilis kapan, tapi aku udah siapin webtoon (abal-abal ☻) sebagai prolog spesialnya.
Semoga kalian tertarik juga sama work aku yang itu. Meski gatau kapan di-UP.
See you all ( ^3^)/
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro