Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sins #18: Akhirnya Serius...

🌊💘🎣

10 SINS OF
BEING SINGLE. |

"Aduh, stres."

Entah sudah berapa ribu kali Raymondㅡyang masih pakai kemeja kantornya plus lanyard kantor Tokopedioㅡmengeluh seperti itu. Bahkan Gianna yang notabene cerewetnya bukan main sampai kehabisan kata-kata. Akhirnya sang gadis cantik menyerah dan memilih menegak lagi soju yakult sampai gelasnya kosong.

Seolah melengkapi suasana, lagu Hindia, Secukupnyaㅡyang sekarang dimana-mana iniㅡkini juga teralun di Pub. Pub ini cukup pewe dan suara musiknya tidak terlalu kencang seperti di kelab malam. Jadi mereka masih bisa berbincang, atau lebih tepatnya, mendengarkan curhatan Raymond.

Titel Dokter Cinta Kita Bersama yang Raymond sanding selama ini harus runtuh sementara lantaran Dokcikiber yang satu ini juga sedang butuh pendengar.

Tama, Tharene, dan Giannaㅡmanusia yang ada di sana hanya bisa melengos bingung mendengar persoalan yang Raymond hadapi. "Seminggu lalu, yang habis dari ultah Bang Sagara, aku berantem mulu dah sama Rena. Hiks."

Gianna menepuk bahu Raymond tanpa suara. Bertahun-tahun mereka bersahabat, baru kali ini dia melihat Raymond begitu berantakkan. Raymond adalah tipe teman yang dijadikan pilar dan bank saran ketika dibutuhkan. Jarang sekali Raymond yang curhat.

"Aku nggak mau begini terus, sumpah."

Ini alasan kenapa Tharene benci jatuh cinta dan Ras Bucinoid.

Sakit hati itu tidak menyenangkan, tahu. Coba lihat berapa botol yang telah diteguk sepupu kesayangannya sampai mabuk begitu. Besok pagi Raymond pasti sakit, mengingat dia punya maag. Tapi apa daya, pria ini sedang mau minum-minum demi melepas penat. Kasihan juga, besok dia harus tetap berangkat kantor dengan suasana hati buruk begitu.

"Ya, kenapa? Kamu belum cerita. Daritadi cuman ngeluh stres-stres, nggak mau putus. Ya, kenapa?" Tharene teman Rena, tapi dia tetap kesal. Meski dia belum tahu seluk-beluk masalah, tetap saja dia lebih sayang Raymond lebih dari apapun.

"Udah, Ray. Kamu jangan minum lagi," kata Gianna lembut, lalu menarik gelas alkohol milik Raymond yang masih terisi setengah.

Raymond membenamkan wajah diatas lengannya yang terlipat. Sudah mulai tipsy. "Hiks."

Mereka bertiga semuanya bungkam. Tidak ada yang berani berkomentar karena ketiganya tahu betapa cintanya Raymond pada si pujaan hati.

"Kak, ceritanya pelan-pelan aja. Kalau udah mau.' Tama berusaha menyemangati.

"Heh. Manja amat sih, Kak." Tharene mendengus sebal. Tidak tahan melihat Ray yang begitu kacau. "Kalau cewekmu bikin salah, marahin makanya. Jangan pendem-pendem apalahㅡ"

Gianna menyela, "Bukan gitu, Re. Ini rumit."

"Ini bukan cerita perselingkuhan." Di antara semua orang di meja ini, hanya Gianna yang tahu cerita lengkapnya. Sebab, selain sahabatnya Rena, dia juga lah yang mengenalkan Rena dengan Raymond.

"Aku tuh berat banget mau ceritainnya," lirih Raymond. "Aku takut kalian ngejudge Rena."

See? Raymond soft hour is open. 

"Nggak, Kak. Kalau bikin kakak lega dengan cerita, kita bukan siapa-siapa buat ngejudge, kok." Tama memastikan dengan wajah serius. Dia berkata dengan sabar dan lembut sekali. Sedari tadi, dua cewek itu sudah sama-sama capek (apalagi Rere) untuk menarik gelas Raymond, tapi hanya Tama yang masih berkata dengan begitu sabar.

Raymond kemudian bangun, mengusap wajahnya, lalu membuang napas. "Ini kalian dengar dari sudut pandang aku aja, ya. Aku sendiri belum tahu sudut pandang Rena gimana. Jangan judge Rena-ku," ujarnya tersendat, Raymond menyedot hidung. "Dia pasti punya alasan dia sendiri karena aku tahu dia bukan cewek yang kayak gitu."

Ketika semua orang telah menyiapkan telinga, Raymond meracau lagi. "Aku sayang banget sama dia, gimana dong? Hiks. Aku yang salah kali, ya?" Spontan semua orang di atas meja mendengus frustrasi.

Ergh. Sudah lah.

"Gi..." Raymond bergumam pelan.

Baik Tharene ataupun Gianna, keduanya sudah tahu apa yang akan terjadi. Gianna buru-buru mengambil tisu. "Aku nggak bisa nemenin kamu ke toilet cowok, ih."

"Aku aja," kata Tama inisiatif. 

Ketakutan terbesar dalam mencintai adalah tidak dicintai kembaliㅡdan Tharene benar-benar punya dua kali lipat rasa takut tentang itu.

Akhirnya malam itu diakhiri tanpa cerita Raymond, hanya diisi Raymond yang ketiduran saat menelepon Rena-nya dalam keadaan mabuk. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Rena dan Raymond. 

Tharene bukan tipe yang bisa menghibur orang lain, dia punya temperamen dan susunan kata-kata pemanis yang buruk. Jadi selain diam menatap Raymond dengan mata berkaca-kaca yang disembunyikan susah payah, Tharene cuman berharap semoga pemuda kebanggaannya itu kembali ceria seperti biasa. Dia juga sudah berencana mengajak kakak sepupunya jalan-jalan kemana saja yang penting ulas merekah dan lesung pipit itu kembali muncul. Dompetnya sudah siap dipelorotin demi Ray, pokoknya. If there is a thing she could do to make Ray happy, she will.

***


Gianna naik mobil sendiri. Wanita ini lumayan kuat minum, jadi tidak masalah. Raymond sempat merengek tidak membiarkan Gianna pulang dengan racauan mabuk. "Gi! Kamu mabuk! Aku aja yang nyetir!" 

Tapi tentu saja ucapan yang keluar dari mulut bau alkohol Raymond ditempeleng pelan. Pria ituㅡmasih teriak-teriak "Gianna! Hati-hati!" serayaㅡdigotong masuk ke mobil Tama. Jarak rumah Raymond dan Tharene searah, maka keduanya naik di mobil Tama.

Kepala Tharene tak henti-hentinya memikirkan Ray yang masih terkulai di kursi belakang. Selain takut tak enak hati apabila Raymond muntah di mobil Tama, dia ikutan sedih melihat Ray begitu.

"Jangan khawatir. Nanti aku gendong Kak Ray ke kamarnya," kata Tama memecah hening.

Tharene hanya mengangguk dalam diam. Kemudian setelah melewati jalan demi jalan dan putaran lagu yang entah keberapa, akhirnya gadis itu buka suara. "Tama..."

"Hm?"

"Kamu bakal bikin saya gitu, nggak?" tanyanya, sedikit malu.

Tama menoleh sekilas. "Kenapa kakak nanya gitu?"

Gadis itu bungkam, dia menelan saliva gugup. "T-takut aja..." ujarnya tersendat, merasa tercekik. "Kalau misalkan sakit hati lagi."

Menyadari Tharene benar-benar serius dengan ucapannya, senyum tipis tersirat di wajah Tama, kemudian tangan kirinya yang melepas persneling sekarang menepuk-nepuk kepala Tharene. "Mikirin apa, sih?"

Tharene menggigit bibir. Dia benar-benar lelah menahan ini dan itu. Sudah banyak percobaan percintaan, tapi semua gagal. Dia tidak bermaksud menggeneralisasi spesies laki-laki, tapi ada masanya insekuritas dan kecemasan menyerang begitu saja tanpa aba-aba, dan jika boleh diperjelas, masa itu adalah detik ini.

"Kamu beneran suka sama saya nggak sih, Tam? Saya lagi serius nanya, nih." Mata Tharene berkilat kuriositas.

"Ya... Suka? Suka." Dahi Tama mengernyit bingung dengan pertanyaan Tharene. "Kenapa tanya begitu?"

"Kalau kamu suka sama saya, kenapa saya doang yang cemburu pas kamu ngobrol sama Renaㅡpadahal posisinya Rena pacar Raymond dan nggak mungkin lah ya suka kamu? Tapi saya tetap aja cemburu." Rena mengerang sebal. Pertahanan gengsinya meruntuh pelan-pelan. "Kamu nggak jealous kalau andaikan saya balikan sama Dean, gitu?"

Masih fokus pada jalanan, Tama cuman tersenyum miris, lalu mengecilkan suara radio. "Jadi pertanyaan di sini... apakah saya cemburu balik? Harus dijawab pakai saya-sayaan biar serius?"

Tharene mengangguk cepat, tidak peduli dengan pertanyaan tak penting yang dilontarkan Tama barusan, yang penting pria di sisinya ini segera menjawab.

"Ya, saya mah suka sama kamu, Rere. Tapi menurut saya nggak ada hak saya buat ngatur kamu. Kalau seandainya kamu bahagia karena balikan sama Kak Dean, buat apa Tama ngelarang? Kamu yang punya kendali atas kepada siapa hati kamu mau dikasih."

"Saya kan juga suka sama kamu," balas Rere begitu lugas. "Dikiiit," tambahnya buru-buru sebelum lupa. 

Dusta Tharene yang terendus membuat Tama menahan senyum geli. Apalagi saat gadis itu melanjutkan dengan agresif, "Jadi dengan porsi itu, kamu boleh ngatur saya. Biar saya tahu kalau kamu suka beneran sama saya apa nggak."

Ekor mata Tama melirik gadis yang tengah memangku dagu, menghadap jendela. Dengusan pelan keluar. "Setidaknya cemburu, kek. Nggak adil banget, aku doang yang jealous..."

"Kamu kira aku sebenarnya nggak cemburu lihat kamu yang selalu bersikap seolah-olah manusia di masa lalu kamu cuman satu orang bernama Andrean Rahardja?" Tama berdeham. "Girl, of course I do."

Balasan Tama membuat Tharene bungkam.

"Tapi ada hal-hal yang harus diributi dan enggak perlu. Kita bisa belajar bareng soal itu. Lagipula aku sudah tahu sekarang kakak suka sama aku. Itu udah cukup. Kenapa kamu gini, Rere?" Tama menggantungkan kalimatnya di udara sebelum menimang-nimang kata yang tepat untuk dilanjutkan,"...Insekur?"

Ah. Tepat menohok hati Tharene.

"Apa yang kamu takuti?" tanya Tama.

"... Tidak disukai kembali?"

"Kamu kurang apa memang?" Tama berkata lembut sekali.

"Banyak..." Tharene mencicit. "Semuanya. Mungkin ada yang salah sama penampilanku atau caraku bersikap."

Tama sungguh tidak mengerti. "Kenapa penampilanmu? You are beautiful." Pria itu serius melanjutkan kalimat dan sukses mengirim panas ke jantung Tharene. "Dan cara kamu bersikap bukan masalah buat aku, Re. I like you for sure.

Rasanya dia mau melelehㅡatau mungkin sudah? Tharene cuman bisa meneguk ludah salah tingkah! Sungguh, dia butuh sesuatu untuk menahan rasa yang berbunyi berisik bak gemuruh di dada. Tidak mungkin 'kan dia yang nembak duluan saking sukanya sama Tamaheru Hutomo? No way!

Saat mobil berhenti di persimpangan, Tama bersuara lagi, "Kamu jangan gara-gara insekur, lalu cari validasi dengan begini. Nanti racun buat kamu. Aku suka sama kamu apa adanya termasuk insekuritas kamu." Kemudian Tama menekan hati Tharene yang sudah berdebar-debar bak kembang api. Rasanya, saking parah tekanan yang diberikan, nadi Tharene terasa lurusㅡrasanya seperti mau mati. Pipinya semerah lampu lalu lintas di detik ini.

"Atau perlu banget aku bilang kalau rasa sukaku lebih besar dari insekuritas kamu, hm?"

SiapapunㅡTharene butuh pelukan kekuatan supaya tidak ambyar! Dia tidak peduli lagi sama yang namanya urat gengsi atau syaraf malu. Dia sudah tahu perasaannya kepada Tama. Suka. Suka. Suka. Jadi dia takkan membiarkan ikannya lepas lagi dari jaring jala ini. 

Kepalan tangannya dikeraskan, setelah menggigit bibir dan meyakinkan diri kalau dia akan membuka mulut saat lampu menyala hijau, akhirnya Tharene menyuarakan endapan hati yang selama ini ingin dia teriakki kencang-kencang di atas atap kampus. 

"Ya udah, kamu kapan mau nembak saya, Tam?"

Terkejut, Tama salah injak gas menjadi rem. Suara berdecit nyaring. Raymond yang terlupakan di belakang nyaris terjungkang ke depan dan mengeluarkan isi perut kalau tidak menahan diri dengan kesadaran yang kadarnya di bawah setengah. Kasihan Ray kita, sudah sakit hati, jadi nyamuk, dilupakan, hampir muntah pula.

Namun bukannya langsung menjawab, Tama malah tertawa takjub.

"Jangan ketawa, dong. Saya nanya, nih!" omel Tharene. Gadis itu memalingkan wajah ke jendela, pura-pura memerhatikan jalanan raya dengan tenang. Padahal di dalam sana dia sudah perang batin sampai berdarah-darah. "Kalau nggak ada niatan nembak, bilang aja. Saya nggak apa-apa, sih. Mumpung belum suka-suka banget."

Ha-ha. Bohong. Sebenarnya Tharene benar-benar takut. Dia takut atas jawaban yang bakal diberikan Tama nanti. Kalau Tama pada akhirnya pergi, bagaimana? Kalau jawaban yang ia dapat adalah penolakan, bagaimana? Kalau dia tidak dicintai kembali, bagaimana?

Semua kalimat banjir seandainya membuat kepala sang gadis nyaris meledak. Astaga, apalagi alih-alih memberi jawaban definit, pria itu malah menjawab ambigu. "Sesuai janji saya waktu itu, ketika saya ketemu apa 10 dosa Tharene Irena sebagai jomblo."

Sesuai janji Tama waktu itu, berarti saat kelulusan sidang Tharene.

"Anggap aja itu graduation gift buat kamu dari aku."

Tharene mengangkat satu alis. "Maksudnya?"

"Saya, nih, saya, yah. Saya serius nembak Anda kalau Anda lulus sidang."

Gadis itu menegak ludah, mendadak panik sendiri. "Jadi ini Anda serius, Tamaheru Hutomo?"

Lelaki yang masih ingin tertawa karena terus dipanggil dengan Anda itu mengangguk-ngangguk. "Iya, udah pakai saya-anda biar serius dan kamu percaya."

"Coba ulang. Mau saya rekam!" 

Gadis itu buru-buru menekan aplikasi recorder tapi tangan Tama menghadang lebih cepat. Pria itu menggeleng pelan. Tatkala kontak mata terjadi diantara keduanya, pria itu memajukan bibir dan menempelkannya pada bibir Tharene. "Berisik, Re. Banyak mau." 

Tama mengecup belah bibir Tharene satu kali lagi. "Udah, ya. Kamu mingkem." 

Setelah detik kecupan itu, bibir Tharene mengatup erat, tak mengeluarkan bunyi, seolah-olah telah dijahit sampai tidak bisa dibuka kembali. []

TO BE
CONTINUED.    |


NOTES.

(  •////•)_

Senyum-senyum nggak lo pada? Wkwkwk

Yep. Itu sifat asli Tama yang lagi serius yah kayak gitu. Ada yang meleleh? Atau malah ngerasa aneh? WKWK. New side of Tamaheru Hutomo~~~ semriwing. :D

Btw pengen peluk Emon, kacian. Huhu. Kesayangan aku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro