Sins #13 : Dulunya Kita Teman
🌊💘🎣
10 SINS OF
BEING SINGLE. |
Hidup sebagai anak kos itu tidak lengkap kalau tidak belanja bulanan di masa-masa promo berlangsung. Biasanya di waktu seperti ini bakal banyak sekali teman-teman kos seperjuangan yang Tharene temui. Kalau berbelanja di Apple Mart, apalagi.
Apple Mart sudah populer di antara anak daerah kos Rereㅡdengan harga murah semurah harga diri ikan cupang bugil yang jadi koleksi tontonan eksklusif dirinya dan Raymond sewaktu SD dulu.
Pokoknya meski Apple Mart nggak menjual ikan cupang, keong, anak ayam warna-warni atau semacamnya, supermarket ini lumayan lengkap untuk mengisi rak makanan mahasiswa kos-an.
Wendy juga suka belanja kemari bersamanya. Hanya saja karena Wendy itu budak cinta yang baru saja balikan, jadilah dia selalu sibuk pacaran belakangan ini, Tharene pun sendirian mendorong trolley dalam balutan baju santai dan celana jins highwaist yang memeluk pinggang.
"Rere?"
Tidak mendengar, Tharene masih fokus berjinjit demi meraih cereal cornflakes. Ini sarapan favorit. Dia tidak bisa melahap makanan berat pada pagi hari selain susu atau sereal. Tapi tak disangka-sangka, saat gadis itu sedang merutuki betapa sulit nasibnya jadi orang pendek, kotak sereal tadi tersenggol dan efek domino pun terjadi.
God! Sialan!
Tunggu. Beberapa kotak kemasan seharusnya berjatuhan ke trolley dan menghujani tubuh Tharene. Tapi... kenapa tidak ada rasa sakit yang seharusnya dirasakan di sana?
Seiringan dengan bunyi kotak-kotak yang berjatuhan samar menghantam ubin, Tharene merasa seorang berada di atasnya, mendekap begitu erat.
"Tiati, dong." decak pria itu saat Rere mencari tahu siapa yang seenaknya memeluknya begitu. Astaga. Mata Tharene nyaris keluar dari tempat saat melihat sosok Andrean Rahardja di sana. "Wow. You again."
Dean berkedip bingung. "Again?"
"Nevermind."
Kemudian tampak petugas supermarket mulai berdatangan merapikan kekacauan dan bertanya apakah keduanya baik-baik saja. Dean mengangguk dan mengisyaratkan kalau petugas itu boleh melanjutkan pekerjaannya.
"Say thank you kali. Udah ditolongin." Dean menyengir sekilas kemudian membersihkan jaket dengan tangan. Dia berdiri menjulurkan tangan pada Tharene yang diam saja. "Bisa jalan nggak, Re?"
"Ya bisa. Orang punya kaki," ketusnya sambil berjalan pergi ke rak sebelah.
Dean merotasikan bola mata. Lalu dia mencekal pergelangan Tharene yang mana sukses membuat gadis itu terkejut. "Heh, gelo! Aku laporin Raymond, ya!"
"Re, we need to talk."
"About what?"
"About us." Dean mendengus, "Aku nggak tahu kamu nganggep aku apa. Tapi serius, aku nggak mau kalau kita kayak orang musuhan gini. It was years ago. Udah lama berlalu."
Demi Tuhan. Tharene tidak bisa kalau kedua alisnya tidak naik secara spontan bersama dengan tatapan heran. "Ya, of course. We are done dan we are friends. Now," ujarnya penuh penekanan. Sarkastik, sebenarnya.
"Kenapa sikap kamu kayak gini? Bukankah dulu sewaktu kita udahin masa-masa deket, we broke it up dengan baik-baik, ya?"
Tharene menghela napas. Sebenarnya meski Rere belum paham konsep putus baik-baik, gadis itu merasa kalau sejujurnya dia tidak punya dendam tersisa di lubuk hati. Hanya saja, memang pembawaan dirinya begini. Seperti orang gemar ajak tawuran. Apa daya.
Pria di hadapannya yang dulu sering mengusap kepalanya dan menempelkan kaleng Sprite dingin di pipi Tharene supaya emosi Tharene mereda.
Pria yang dia panggil Sheep Dindin karena sering membawanya kuliner santai saat dirinya mumet dengan tugas kuliah.
Pria yang dulu begitu, yang sekarang hanya jadi beberapa dari hal yang dikenang dari sosok Andrean Rahardja sebelum berubah menjadi sosok yang ia tak kenali.
Change is weird. Yang dulunya begitu manis, sekarang malah membawa pahit.
Human relationship is fucking weirder. Dulu terasa magis. Sekarang najis.
Alhasil setelah menatap balik Dean, Tharene cuman meloloskan pertanyaan singkat. "Aku juga udah begini dari lama. Kenapa kamu baru protes dan mau 'nggak kayak musuhan'-nya sekarang?"
Dean melongo sebentar.
"God, I know you, Re. Meski waktu itu kita udahan karena soal perbedaan sifat, I know you are still a nice person." Dean tak habis pikir, dahinya mengernyit. "Aku baru kayak gini karena kupikir kalau aku ngajak temenan usai kita kelar itu terlalu kejam. Jadi... I gave you some time to heal?"
"Oh, gitu. Jadi the one who needs some time to heal cuman aku." Tharene menyeringai. Lucu 'kan? Yang menjalani dua orang, tapi yang sakit hanya satu orang. Bahkan Dean terlihat baik-baik saja setelah berpisah. "Isn't that mean kalau kamu tuh dari awal cuman main-main sama aku?"
Dean mengernyitkan dahi tidak setuju. "Ada salah paham di sini."
"What do you mean?"
"Aku nggak pernah main-main sama kamu. Impresi aku sama kamu adalah yes, I am attracted to you." Lalu dia meralat, "Sorry, maksudku, I was. I was attracted to you."
Dean dengan sangat hati-hati dan berat hati melanjutkan. "Tapi setelah impresi, ada yang namanya ekspektasi."
"Dan bukan salahmu kalau kamu nggak memenuhi ekspektasi personal aku." Dean menatap bola mata Tharene dengan lembut. Dia serius dengan ucapannya. "Nggak ada yang salah sama diri kamu dan ekspektasi personal-ku tentang pacaran. Somehow, things just happened dan kita memang nggak bisa bareng."
Entah kenapa, mata Tharene langsung berkaca-kaca.
Menurutnya dan kebanyakkan wanita masa kini, dunia perasaan itu berisi hitam dan putihㅡmau, ya, mau. Tidak, ya, tidak. Tapi kebanyakkan pria menganggap hal semacam komitmen itu tidak ada. Makanya merasa menatap hubungan sebagai sesuatu yang abu-abuㅡjalanin dulu aja.
Kalau begini, siapa yang salah? 'Kan pada dasarnya perasaan itu tidak bisa dikontrol.
Ia meneguk saliva pahit. Di lain sisi, pikirannya masih berkelana, mengapa dia baru mendapat jawaban ini setelah satu tahun. Kalau saja Tharene tahu, mungkin dia tidak perlu diam-diam begitu insekur atas dirinya hingga menutup hati sampai begini.
"Well, Dean... Katamu kita kan nggak cocok. Barangkali nggak akan cocok juga untuk temenan," sangkal Tharene pelan. Lagipula konsep berteman dengan orang yang menggores hati itu butuh keberanian dan kelapangan hati yang sangat banyak. Ironisnya, seorang Tharene Irena belum punya itu. Dia masih belajar mengumpulkannya. Satu per satu. Dia pun melepas cengkeraman Dean dari lengan. "Aku nggak ngerti kenapa kamu tiba-tiba bahas ini. But aku udah let go about us. You don't need to do anything, Dean."
Tharene berbalik, tapi tungkainya berhenti ketika teringat kalau troli masih tertinggal di belakang. Bodohnya.
Namun sebelum sempat menjemput keranjang besi beroda tersebut, tahu-tahu Dean sudah mendorong trolley Tharene dan melepasnya tepat di samping gadis itu. Kebiasaan gadis itu meninggalkan ini-itu.
Dean menghela napas. "You are very complicated."
"Memang." Defensif sekali, Tharene merasa dipojokkan. Harga diri Rere berasa runtuh, padahal sebenarnya Dean tidak bermaksud begitu.
"Do not try anymore, Dean. You don't even actually care. No one will." Tharene pergi.
"Someone will," tegas Dean. Untunglah langkah Tharene berhenti. Gadis itu mau mendengar lanjutannya. Sedikit merasakan perasaan manis-pahit saat Dean melanjutkan, "Bakal ada yang care sama kamu. Meskipun sosok yang care itu bukan lagi aku."
Dean melanjutkan, "Aku dan Raymond itu sahabatan sejak SMA. Aku peduli sama Ray dan orang-orang yang penting buat dia. And personally, aku juga care sama kamu."
"Kontrakdiktif."
"Biarkan aku bicara dulu," Dean memijat kening karena terus dipotong. "Kemarin lusa Ray baru kasih tahu tentang kamu yang nangis di toilet kampus gara-gara aku."
Lagi-lagi, Kak Ray. Tharene membuang napas.
"I am sorry for that, okay? I hugged you genuinely karena aku kangen." Dean merasa kalimatnya terdengar tidak benar, maka ia pun menambahkan penuh penekanan. "As friends."
"Sebelum cross the line, kita dulunya teman, kan? Kamu, aku, Raymond, Gianna. Bahkan termasuk Artha yang jauh di Sydney dan jarang meet up."
Memang begitu, ya.
Ada yang pernah bilang kalau diantara pertemanan jangan sampai ada bubuk perasaan di dalamnya, karena ketika hal itu terjadi semuanya takkan kembali seperti semula lagi.
Tharene akhirnya merasakan itu.
Selain curi-curi update kehidupan teman-temanㅡAji yang sekarang pacaran sama Ilea, Gianna kuliah di LSPR, serta Artha yang sibuk kuliah kedokteran menghilang tanpa kabarㅡTharene bahkan nggak pernah lagi bertemu dengan mereka semua kecuali Raymond. Itu pun karena status sepupu yang mereka punya.
Dulunya yang sering menghabiskan waktu bersama, sekarang hanya menunggu bersama waktu yang menyapu segalanya.
Bukankah yang namanya persahabatan seharusnya lebih kuat dari waktu?
"I know, kita nggak bisa balik lagi kayak dulu. Kamu nggak harus baik-baik sama aku. Kamu boleh benci aku." Dean serius, meski rasanya berat. Sekali lagi matanya menatap Tharene. "But for our friendship sake, ayo main bareng lagi. Apa kamu nggak sayang empat tahun lebih hilang gitu aja gara-gara aku?"
Lagi-lagi, Tharene cuman bisa menghela napas. Jujur dia merasa bersalah juga. Sejak perpecahan diantara dirinya dan Dean, grup chat bahkan tidak aktif lagi. Semuanya terlalu menjaga sikap, alhasil situasi jadi canggung.
"Aku juga kangen semuanya, Dean. Awalnya aku cuman mau menjauhi kamu. Tapi menjauhi kamu yang selalu muncul di pertemuan, is the same thing as, menghindari teman-teman yang lain juga. My heart could not help it." Tharene merasa ingin menangis. Dia bahkan tidak peduli lagi darimana Dean bisa muncul menghampirinya lalu mencoba meluruskan ini semua. Emosinya kini sedikit kelepasan. "Maaf... Aku nggak bermaksud jadi childish. Really."
"Boleh aku tanya satu hal?" Tanya Dean begitu serius. Saat Tharene mengangguk, pria itu melanjutkan. "Sebegitunya kah? Did I hurt you that much?"
Apakah rasanya sesakit itu?
Haha.
Pupil Tharene bergetar, menatap Dean sambil berucap, "Iya."
Mata Tharene memanas dan kini suaranya sedikit goyah parau. "It hurts that much. Sesakit itu."
"Sejak kamu pergi tanpa alasan, aku kira ada yang salah sama aku. Kenapa kamu tiba-tiba menjauh dan bilang kalau kita nggak bisa bareng. Aku kira karena kita beda agama, tapi kamu bilang bukan. Aku nggak pernah dapat jawaban dan dari sana aku berasumsi kalau there must be a mistake sama diriku. Aku tanpa sadar mencari-cari kesalahan diriku sendiri sampai di titik aku ngerasa... I worth not even a zero?"
"Munculnya insekuritasku nggak sepenuhnya salah kamu. Aku nggak mau play victim, atau bersikap kalau aku yang paling tersakiti, atau sengaja ngomong kayak gini buat bikin kamu merasa bersalah. Tapi pada faktanya Dean, you gave me false hope and it hurts me."
Kaki Dean maju selangkah. Melihat bahu melorot dan ekspresi lemah Tharene yang mau menangis, Dean benar-benar tidak bisa menahan diri jika tidak mendekap gadis itu.
"I'm so sorry..." bisik Dean dengan wajah merasa bersalah. Dia tidak peduli seberapa banyak Tharene meronta agar dilepaskan, pria itu tetap melanjutkan dengan serius. "For the last time, let me properly apologize to you as your ex."
Akhirnya menyerah, air mata Rere sudah kering dan tidak bisa keluar lagi. Dia hanya menerima dekapan dengan wajah sembab.
"... And for the first time, let me hug you as a friend who feels sorry to you."
Entah perasaan hangat macam apa yang menyapa hatinya, yang pasti bebannya sedikit berkurang.
Mendapatkan penjelasan yang dinanti ternyata bisa sehangat ini.
Tharene membiarkan dirinya luluh didekap begitu erat sebelum sebuah suara menyerobot di tengah keduanya dan sesi peluk-haru pun terpaksa selesai.
"Misi, misi! Aduh... Mie Mantaap dimana, sih?"
Seorang pemuda berambut hitam legam berjongkok di depan rak, samping kaki Dean, sembari mengacak-acak rak dengan semangat penuh.
"Mas! Ini Mie Mantaap abis? Ya ampun, seriusan? Waduh, saya makan apa dong akhir bulan..." Pemuda itu mengacak rambut frustasi kemudian merangkul bahu adik perempuannya. "Yeri, mau beli apa? Ambil apa aja yang kamu mau, yah."
Kemudian pria itu berdiri dan kaget bukan main saat telinganya mendapati namanya disebut begitu nyaring oleh Thareneㅡyang sudah buru-buru menyeka air mata.
"Tama?"
"Eh? Nyai Ndoro Rere?" Tama menyengir polosㅡbenar-benar tidak tahu apa yang baru saja terjadi. "Saya kangen, loh?" []
TO BE
CONTINUED. |
NOTES
Ada yang kangen gak? Hehe. Jangan sepi-sepi, donkz,,,
(+ Dean emang kalau ngomong suka campur inggris wqwqㅡsok ganteng. Dia pikir dia Noah Centineo, kali?! Ckck. Dia mah sebenarnya rada-rada juga.)
Kepo aja. Terlepas ini buku Vrene, ada yang ngeship DeanRere gak? Mereka di masa lalu itu unyu bgt loh.
♡
OH IYA! Bentar lagi buka puasa. Kuat-kuat, ya. Selamat hari satu puasa buat yang menjalankan. 😊💖
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro