Third Reason: Chapter 9
Halowhalowhaiii. Karena besok aku ada kegiatan, jadi aku drop bab barunya sekarang aja, ya. Kita ketemu lagi di bab barunya minggu depan. In the meantime, bantu ramein ya bunski, biar cemungut penulisnya~
-
Third Reason:
I get my job done (even it's right on deadline)
-
Lebih mudah melupakan letak alat tulis ketimbang dendam.
Seseorang bisa saja lupa baru saja menaruh pena di mana, sementara dendam satu dekade lalu melekat dalam kepala.
Contohnya, yah ... aku. Satu menit lalu, aku santai mencoret-coret catatanku dengan pena biru yang entah ke mana sekarang. Tapi aku ingat sepenuhnya apa yang dilakukan penumpang pesawat di sebelahku kemarin.
Mungkin karena waktunya relatif baru, aku jadi lebih awas dari biasanya. Aku seperti duduk di sebelah landak raksasa. Salah gerak sedikit, bisa-bisa aku tertusuk. Kalau landak punya duri, Dika punya lidah tajam dan mulut kebanyakan makan cabai—info hasil makan dua hari di buffet area bersama cowok itu.
Not really that important, I know. Tapi aku jadi penasaran, apakah konsumsi cabai berpengaruh pada temperamen seseorang? Karena kalau iya, aku mungkin harus memberitahu pramugari supaya nggak mengiakan pesanan serba ekstra pedas dari Dika.
Sejauh ini dia memang lebih banyak diam. Sejak kami checkout dari hotel pun sudah begitu. Dia hampir nggak bicara padaku kecuali diperlukan. Artinya, jawabannya template banget: iya, nggak, mungkin, dan hm (bisa dimaknai secara fleksibel, syarat dan ketentuan berlaku).
Lupakan soal penjelasan kejadian kemarin pagi dan malam. Anak SD sepertinya lebih jago bicara dan bertanggung jawab ketimbang cowok dewasa kepala tiga ini. Sekalipun kesal, aku juga enggan mengemis maaf.
Hanya karena dia minta maaf bukan berarti masalah hidupku secara ajaib selesai, kan? Atau ada permintaan maaf bonus pacar dadakan?
Aku harusnya nggak perlu mempedulikan Dika, sebab ada hal lain yang perlu kuperhatikan. Setelah mendarat ke Jakarta, aku akan kembali jadi artis karbitan. Ada sandiwara serta peran untuk kujalani. A mere sorry from an extra character of my life won't do shit.
Chicandra Arawinda
How is bali beb @Arista Mia
Balik hari ini bukan sih lo?
Arista Mia
Sore paling lama nyampe
Mayan sih, refreshing dari polusi jakarta ke polusi bali
Cuman kalau datangnya buat kerja ya sama aja ya wkwk
Karmel Widjadja
I second that
Work from bali tetap aja ada worknya
Karenia Sinta
Bosen nggak sih Bali?
Tbh gue udah muak sama Bali, destinasi liburan sejuta umat
Yah, golongan Sinta wajar saja bosan ke Bali. Dia bisa pergi ke mana-mana tanpa perlu penugasan dari kantor. Tiket pesawatnya belum seberapa ketimbang koleksi tas Fendi dan Valentino miliknya.
Andai chat-nya sampai situ, aku nggak akan masalah.
Karenia Sinta
Bisa ikutlah ya ngumpul entar?
Gue mau ngasih baju buat kita pake nanti, biar kalian cobain dulu
Biar sekali ngasih aja
Capek? Oh, pasti. Tapi bertemu rame-rame akan lebih baik daripada bertemu Sinta sendirian, apalagi kalau dia sampai mampir ke apartemenku. Tempat tinggalku kali ini memang lebih baik ketimbang kosan sebelumnya. But you know how it is with Sinta. Enough isn't enough. Kalau bertemu sendiri pun, aku ragu bisa benar-benar menghadapi Ibu Ketua. Sepuluh tahun pertemanan nggak lantas membuatku merasa nyaman. Dengan SInta, aku merasa jarak kami seperti langit dan bumi. I know my place, and she makes sure that I remember that well.
Arista Mia
Shareloc aja entar mau di mana, gue nyusul
Mind the koper tapi ya wkwk
Pada saat-saat seperti inilah, sisi agamisku seperti melejit. Aku berdoa, menumpuk harapan yang sama dan berharap Tuhan memberi jawaban yang sesuai. Biarlah semua kesialanku itu nggak kubawa kembali ke Jakarta. Aku nggak meminta uang satu triliun jatuh dari langit, atau mendadak jadi anak kaya raya tujuh turunan delapan tanjakan. Aku hanya ingin beruntung dalam hal-hal sepele, sehari saja.
Sayangnya, hal sederhana nggak berarti mudah terkabul. Ketika pesawat mendarat, aku mendapati diri bersandar di bahu Dika. Saking terkejutnya aku berdiri, dan malah keseleo.
Doanya langsung dijawab, walaupun jawabannya sudah pasti ditolak. Kejadian memalukan itu nggak hanya disaksikan Dika, melainkan beberapa penumpang dan pramugari pesawat. Kesialanku tetap kubawa sampai ke Jakarta.
Ketika tiba ke area bagasi, aku sempat mempertimbangkan apakah sebaiknya aku langsung pulang. Jangankan mampir, buat bisa keluar sambil bawa barang saja sepertinya memerlukan mukjizat. Aku berpikir untuk menghubungi Nata, tapi tanpa kuduga sudah ada orang lain yang mengambil koperku.
"Gue bawa mobil, diparkir di bandara," kata Dika selagi menurunkan koperku ke lantai, menarik memanjangkan handle koperku. Dia bahkan sama sekali nggak menoleh ke arahku. Tahu-tahu barangku sudah dia bawa bersamaan dengan barang-barangnya yang lain.
"Lo mau apain koper gue?" Aku buru-buru mengikutinya, sekalipun langkahku agak tertatih.
"Jalan aja lo susah, apalagi sambil bawa koper," balasnya santai. "Bareng gue aja."
Gue nggak minta ditolongin. Kalimat itu hampir saja kuucapkan. Untungnya aku tersadar lebih dulu. Lagi pula, aku cukup sadar diri akan situasiku. A little help won't hurt, even it's offered by someone like him.
Kami turun ke area luar, sebelum Dika memintaku menunggu selagi dia mengambil mobilnya. Aku mengiakan saja, menyibukkan diri selama 5 menit dengan ponsel, membaca chat dari geng Sinta, juga Nata yang bilang masih terjebak rapat alot mengenai program baru di kantornya.
"Ayo, Mi."
Aku sama sekali nggak sadar Dika sudah tiba. Lebih nggak sadar lagi karena sebuah Range Rover hitam terparkir di depanku, dan cowok itu memasukkan barang-barangku ke sana.
Ini betulan mobil Dika? Mobil seorang back end developer dari kantor yang relatif baru? It's either he's good at saving money, or he's born with a lot of it.
"Naik, Mi. Gue antar balik," katanya lagi, lantas langsung masuk ke kursi kemudi. Aku hanya bisa mengangguk saja dan mengisi kursi kosong di bagian depan. "Rumah lo di mana?"
"Lo mau ke mana emang?" Aku balik bertanya.
"Balik rumah."
Salahkah aku bertanya?
"Gue kan belakangan. Lo dulu," ujar Dika lagi, tatapannya masih fokus ke depan. "Jadi, mau ke mana?"
"Mau ke Pacific Place."
"Lo masih mau nge-mall?"
"Janjian buat ketemu di sana."
"Lo mau ke mall sambil seret-seret koper?"
"Penting."
"Lebih penting dari kondisi kaki lo?"
Dika benar sih, tapi aku agak nggak menduga dia akan peduli. Ke mana prinsip cuek dan nggak acuh khasnya itu? Dia bahkan sempat menoleh ke arahku dengan sebelah alis meninggi, seakan-akan tengah mempertanyakan kewarasanku.
Well, I happen to question my own sanity too. Tapi aku perlu melakukan ini, dan aku nggak punya kewajiban menjelaskan pada cowok di sampingku ini.
"Kalau lo keberatan, turunin aja. Gue bisa naik taksi atau ojol—"
"Gue antar."
Jawaban itu cepat, singkat, dan terdengar seperti perintah. Dika seperti berubah jadi orang lain lagi. Dia punya berapa kepribadian sih?
Namun, yah, aku juga cukup sadar situasi. Sekalipun canggung selama perjalanan, seenggaknya aku dapat tumpangan gratis juga sedikit waktu untuk mengatur rencana.
Because God knows it will be the end of me if I have no plan in hand to face the big boss.
*
Dika benar-benar mengantarku sampai di Pacific Place.
Dia nggak berkomentar banyak—dan itu artinya sama sekali nggak bicara apa-apa—sewaktu aku turun dan berterima kasih. Tadinya kukira aku harus bayar uang bensin atau semacamnya. Apalagi wajahnya sempat kelihatan seperti orang nahan BAB. Nyatanya, dia hanya mengangguk.
And here I am, facing another problem.
Sambil menyeret koper ke dalam dan mengabaikan pandangan dari pengunjung lain, aku berjalan lurus sampai ke J.Co. Nggak sulit untuk menemukan teman-temanku. Tinggal lihat tiga orang dengan gaya berbeda (ada yang fancy, clasy, dan cutesy ala Pinterest), sudah dipastikan itu adalah gengnya Sinta. Dan tibalah aku sebagai penyeimbang: kaos putih, celana jins, plus rambut kasar akibat AC pesawat.
"Tuh Mia!" Chika melambaikan tangan dan tersenyum. Mungkin dari tiga temanku ini, Chika-lah yang paling membuatku merasa ditunggu.
"Sorry, baru landing gue." Aku mendekat dan mengisi sisa kursi kosong.
"Langsung ke sini lo?" tanya Karmel.
"Biar sekalian," balasku. "Jadi dari sini tinggal ke rumah. Tadi bareng juga soalnya ke sininya."
"Oh? Sama pacar?" Begitu Sinta yang bertanya, bulu kudukku meremang seketika. Pertanyaan itu seharusnya kutepis saja, aku tinggal bilang rekan kerjaku yang mengantar, seperti sebelumnya.
Akan tetapi, tatapan Sinta membuat lidahku otomatis membalas, "Ah, iya. Tapi dia kerja, jadi harus langsung balik."
Kebohongan macam apa ini? Astaga!
"Yah, sayang banget." Sinta sedikit mencebik. "Kasian lo, Mi. Udah bawa-bawa koper, padahal perlu bawa ini juga." Dia mengambil sesuatu dari dalam paperbag di lantai, kemudian menyodorkannya padaku. Sebuah kotak berwarna beige, dililit pita gold, lengkap dengan tag bertuliskan Dear My Bestie, Arista Mia.
"Ini dress buat lo, tinggal pakai aja," ujar Sinta. "Biar kita semua samaan. Gue bukan sekadar pamerin tunangan gue, tapi sahabat-sahabat terbaik gue juga."
Isn't it nice to be on the bestest-bestfriend-list? Aku merasa seperti melakukan kontribusi besar, meski aku ragu apa persisnya yang kulakukan. But it feels nice to be appreciated.
"Wow, Sin. Ini cakep banget. Gue yakin sih acaranya bakal—"
"Dan ini buat cowok lo."
Aku benar-benar bergeming begitu Sinta meletakkan satu kotak lagi di atas meja, kali ini warnanya hitam dan berpita beige. Sebuah keajaiban mengingat aku berhasil mencegah rahangku terbuka lebar-lebar.
"Karena lo pernah bilang cowok lo kurang lebih kayak Mas, jadi gue ambil yang ukurannya sama," ujar Sinta sembari tersenyum. "So make sure he comes, okay? Don't let this wasted."
Ya Tuhan. Nemu cowoknya juga belum, sekarang aku harus cari kriteria body yang pas dengan baju ini?
I'm doomed, am I? []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro