Third Reason: Chapter 10
Apdet lagi, uhuyyyy.
Mari diramaikan seperti biasa biar Mia cepat dapat pacar 👀
*
---
Nine days to go.
Progress so far: 0%.
Mungkin malah minus karena persyaratan tambahan dari kemeja pemberian Sinta.
Cari cowok saja sudah susah, apalagi ditambah ukuran tubuh spesifik. Rencana cadanganku mungkin harus kucoret dari daftar, karena tubuhnya Pak Keenan itu ....
"Mending lo ngaku deh ke kita, Mi." Satu tepukan mendarat di bahuku, membuatku menoleh ke belakang. Jere dan Raihan sudah kembali ke kantor. Jere langsung menyambar kursi terdekat dan ditarik ke dekatku.
"Ngaku apaan?" tanyaku sambil kembali menatap monitor.
"Bali." Raihan menyeletuk dari dekat dispenser, sibuk bikin kopi. Aku yakin dia baru ngopi di luar—tiap makan siang minuman itu nggak akan pernah absen dari daftar pesanan cowok gondrong itu—tapi sudah bikin kopi baru saja.
"Kenapa emangnya sama Bali?" Aku menoleh ke arahnya, bingung.
"Justru harusnya kita yang nanya begitu," celetuk Jere sambil geleng-geleng. "Lo ngapain sama Pak Keenan di Bali?"
Mendengarnya saja membuatku tersedak ludah sendiri. Spontan saja kupukul lengan Jere, membuatnya mengaduh protes. "Ya ikut conference lah, gila. Lo pikir gue sama Pak Keenan ke sana ngapain? Main gaple?"
"Pak Keenan bisa main gaple emang?" tanya Raihan.
"Mana gue tahu," cebikku. "Kalian berdua nih kenapa deh? Tiba-tiba nanya begitu?"
"Lo yang kenapa, Mi." Raihan berjalan mendekat, menyengir sewaktu melihat Jere sibuk mengelus-elus lengannya. Pukulanku mungkin agak kuat. Harusnya yang aku pukul mulutnya, ya?
"Lo sering ngelihatin Pak Keenan terus semenjak balik ngantor," Jere menjelaskan di sela desisan perihnya. "Nyadar nggak sih?"
Aku mengernyit. "Ngelihatin apa? Kapan?"
"Pas rapat," imbuh Raihan.
"Yaelah, emang harusnya kalau rapat kan ngelihatin yang ngomong." Kuputar bola mataku malas. "Emang kayak kalian? Lagi rapat yang dilihatin malah hape, sibuk main ML atau apalah game yang kalian mainin itu."
"Nggak gitu, Mi." Jere menggeleng. "Lo ngelihatin Pak Keenan bukan cuman pas dia ngomong. Kemarin begitu, tadi pagi juga gitu. Pas Pak Keenan ke kantor, lo perhatian. Dia lagi ngomong sama Bisma atau Dika, yang lo perhatiin Pak Keenan terus."
"Badannya Pak Keenan, lebih tepatnya." Raihan menambahkan. Mau protes, tapi nggak bisa. Ucapan mereka justru membuatku menunduk.
Sekelihatan itu, ya?
Mau menjelaskan, masalahnya aku juga bingung harus bilang apa. Kalau aku dapat kemeja dari sahabatku, dan aku harus cari cowok yang bisa pakai kemeja itu? Yeah, no way. Pak Keenan adalah plan B bagiku, walaupun sebenarnya plan A juga aku nggak punya. Masalahnya, berdasarkan pengamatan intensifku selama dua hari belakangan, bahu Pak Keenan lebar. Kemeja yang dia gunakan selalu pas di tubuhnya, jadi nggak sulit untuk menerka ukuran bajunya.
Dipastikan kemeja pemberian Sinta nggak akan bisa membungkus bahu lebar itu.
Aku beberapa kali bertemu Aditama, alias Mas Pacar kebanggaan Sinta. Dibandingkan dia, Pak Keenan jelas lebih tinggi, bahunya lebih lebar, sekalipun otot Aditama lebih terbentuk mengingat dia sering olahraga. Tahu dari mana? Sudah pasti social media Sinta.
Intinya, aku memperhatikan Pak Keenan bukan karena ada faktor emosional yang terlibat. Kecuali, yah, kalau stres bisa dikategorikan ke dalamnya. Still, no love or attraction involved.
"Kepincut juga akhirnya, ya?" Jere menggoda lagi. "Gue sih nggak masalah, cuman perlu jatah PJ aja."
"Mau malak doang kan lo," balasku ketus.
"Tapi, Mi, lo yakin naksir Pak Keenan?" Raihan menyesap kopinya, lalu bersedekap. "Pak Keenan betulan naksir cewek, kan? Jangan sampai entar jadi lavender marriage."
"Anjir, iya juga." Jere manggut-manggut. "Departemen lain masih suka ngegosipin. Pas di Bali kemarin gimana?"
Siapa pun yang menganggap cewek sudah paling heboh kalau bergosip, dipastikan belum kenal cowok-cowok timku, terutama dua orang ini. Aku lebih sering dapat topik FGD dari mereka.
"Di Bali kemarin nggak gimana-gimana sih." Aku mengediikan bahu cuek. "Pak Keenan ada acara keluarga, terus nyokapnya sempat masuk rumah sakit. Makanya pas pulang gue sama Dika duluan."
"Acara keluarga?" tanya Raihan, kemudian dua cowok itu bertatapan-tatapan sok dramatis. Biasanya kalau sudah begini, ucapan keduanya nggak bakal benar.
"Lo diajak ikut acaranya, ya? Makanya tahu." Raihan menyengir.
"Cie. Makanya ngelihatin terus gitu karena udah dikenalin sampai ke keluarga, ya?"
Kuputar kursiku supaya benar-benar menghadap ke belakang, lantas kutarik telinga Jere dan Raihan. Tuhan menciptakan dua tangan ternyata untuk situasi seperti ini, ya?
"Mi, anjir! Jangan jadi pelaku kekerasan dalam lingkungan kerja gini dong." Jere meringis. "Nanti Pak Keenan lihat gimana?"
"Berisik ya lo!"
"Coba tanya Dika deh—eh, panjang umur!" Raihan melepaskan diri, dan tepat pada saat itu Dika masuk, tangannya sibuk mengelap lensa kacamata menggunakan ujung kemejanya.
"Nah!" Jere ikut berdiri, membuat telinganya di luar jangkauanku lagi. "Dik, kemarin lo ngelihat Pak Keenan sama Mia bareng terus nggak?"
Dika dengan mode default khasnya, sekadar memandangi kami bertiga saja, sebelum menggeleng. "Biasa aja."
Jere dan Raihan langsung diam. Seiseng-isengnya, mereka cukup bisa membaca situasi kalau Dika jelas nggak seperti mereka. Dia nggak berniat mengisengiku.
Baiknya memang begitu sih.
Sesaat kuperhatikan Dika yang berjalan kembali ke kubikelnya. Kepalaku secara otomatis menerka-nerka bagaimana jadinya kalau kemeja itu dia kenakan. Sepertinya bakal cocok—
Buru-buru aku menggeleng, mengucek kedua mataku dan kembali fokus ke komputer. Sekalipun kemeja itu sesuai dengan tubuhnya, aku juga punya standar. Tiga hari di Bali sudah cukup mengajarkanku kalau berhubungan dengan cowok ajaib satu itu nggak akan menyelesaikan masalah, malah nambah masalah!
"Kalian berdua daripada gangguin gue, mending kerja," ujarku pada Jere dan Raihan. "Berhenti haluin gue sama Pak Keenan. Gue nggak pernah tertarik ngelibatin perasaan buat urusan kantor."
Artinya, aku juga harus cari cowok di luar kantor ini.
But how exactly?
*
Jika Pak Keenan dicoret dari opsiku, artinya aku kehabisan opsi.
Sejauh ini Pak Keenan juga belum pernah membicarakan apa-apa soal rencana mantan pacar pura-pura itu, jadi aku belum punya hak untuk menagih bantuan.
Kalau sudah begini, aku harus telepon siapa? 119? Keadaan daruratnya, perlu plus one dadakan, satu hari saja.
Angin malam ini lumayan kuat. Sekalipun berada di luar nggak lantas membuat masalahku terbang bersama debu dan polusi, aku merasa situasi ini meredakan sedikit kegelisahanku. Soalnya aku harus berbagi fokus dengan sensasi dingin di kulit dan kaki yang berendam di dalam kolam.
Aku belum pernah menggunakan kolam renang apartemenku, apalagi malam-malam. Dulu, aku bertanya-tanya orang gila mana yang malah main air semalam ini. Rupanya bukan orang gila, tapi orang yang punya masalah hidup.
Atau mungkin aku memang sudah gila, dan sebentar lagi akan makin gila.
Sudah ada dua aplikasi baru terinstal di ponselku. Bumble dan Tinder. Jika konspirasi bahwa organisasi rahasia pemerintah bisa membajak ponselku, mungkin salah satunya tengah mencegahku melakukan hal bodoh dengan memunculkan beberapa thread Twitter mengenai kasus penipuan dari beberapa dating app.
Kalau sudah begini, mau cari pasangan di mana?
"Udah gila emang teman lo itu." Nata mengoceh panjang sewaktu aku mengabarinya. "Menurut gue Sinta tuh sengaja deh, biar lo malu. Kenapa juga dia push lo sampai sebegininya? Untungnya buat dia apa? Mau saingan sama lo?"
Harus kuakui, aku cukup tertekan. Namun, aku juga patut disalahkan karena enggan menolak. Nasi sudah jadi bubur, sayangnya aku nggak jualan bubur. Since it's already messed up, aku perlu membereskannya.
Lagi pula kalau saingan, aku juga punya apa? Sinta memang selalu begitu, tapi dia tetap temanku.
"Gue rasa cara tercepat emang cari orang di sekitar lo yang bisa diajak kongkalikong sih, Mi. Kalau lo menghindari orang kantor, gimana kalau orang di sekitar apartemen lo? Temannya teman lo deh. That's way safer daripada lo cari strangers online."
Itulah yang membawaku kepada pergulatan batin dan penyesalan malam ini. Karena pekerjaan, aku jarang sekali bisa berinteraksi dengan penghuni lain. Gaya hidup di sini nggak bisa disamakan dengan desa, di mana satu RT atau RW bisa saling kenal. Aku bahkan nggak begitu kenal siapa tetangga baruku. Sekalinya terlihat, dia juga munculnya—
"Lo kayak gini buat apa sih? Udah gue bilang berhenti!"
Teriakan itu membuatku spontan menoleh ke belakang. Kurang lebih 10 meter dari kolam—dari tempatku merenung—seorang cowok sedang memarahi satu cewek. Setelah beberapa saat memperhatikan, barulah aku sadar itu tetanggaku beserta cewek Barbie-nya.
"Please, stop! Mau sampai kapan sih kayak gini?"
"Lo cuman nyakitin diri sendiri aja kalau gitu. Udah, balik."
"Ayo balik, Ra. Berhenti bikin gue khawatir deh."
Aku diam di tempat, menimbang-nimbang apakah sebaiknya aku melerai. Bahaya juga kalau sampai ada kekerasan di sini. Tapi keributan mereka kedengaran terlalu personal, melibatkan diri terasa salah. Cewek itu berkali-kali mendorong si cowok, dan aku malu sendiri melihatnya. Oleh karena itu aku buru-buru mengangkat kaki dari kolam, mengantongi ponselku dan segera beranjak.
Lift masih harus naik dulu beberapa lantai sebelum turun ke lobi, sehingga mau nggak mau menunggu. Hanya saja ketika lift akhirnya berdenting dan masuk, ada teriakan di belakangku.
"Tolong tahanin pintunya!"
Tetanggaku lagi. Kali ini dia membawa cewek yang tadi dengan kedua lengannya, seperti tipe film romantis yang bermaksud bikin penontonnya gigit jari karena iri. Yah, sayangnya hidup nggak seindah film. Sekalipun aku berusaha nggak terlalu memperhatikan, bisa aku lihat cewek itu kelihatan pucat. Bibirnya kering-kering, rambutnya juga berantakan. Ketimbang iri, aku sedikit khawatir.
Kupilih menatap pantulan samar diriku dari lift. Yang pacaran mereka, jomlo sepertiku lebih baik diam, kan? Ada beberapa hal yang sebaiknya nggak dicampuri orang lain. Mengingat pintuku sempat penyok karena tetanggaku, yah ... kurasa itu cukup alasan supaya aku diam.
Begitu sampai di lantai 5, aku berniat langsung keluar. Namun begitu ada bunyi sesuatu yang jatuh, aku spontan saja menoleh. Sebuah ponsel. Cowok itu jelas nggak bisa memungutnya lagi, jadi aku menunduk, kemudian meletakkannya di atas cewek yang ... tidur? Nggak sadarkan diri?
Duh, nggak mau nebak deh!
"Makasih, Mbak," katanya begitu kami sama-sama keluar. Ketimbang suara teriakannya, ternyata suara cowok ini terbilang ramah dan lembut. Stereotipikal cowok soft spoken. Kelebihan yang berbahaya buat dipakai menipu.
Aku manggut-manggut saja. "Sama-sama, Mas. Saya duluan kalau gitu—"
"Mampir dulu gimana, Mbak?"
Merinding disko! Buru-buru aku menggeleng. "A-ah, nggak usah. Don't mind it."
"Barang Mbak ada yang jatuh waktu itu," ujar cowok itu lagi. "Saya nggak sempat balikin karena Mbak waktu itu kayaknya lagi nggak ada di tempat."
Apa ini semacam modus supaya aku masuk ke apartemennya? Duh, nggak usahlah, ya. Aku masih mau hidup aman, tenang, dan tetap di jalan yang benar.
"Barang saya nggak ada yang hilang kok." Aku buru-buru tersenyum. "Saya permisi, ya. Saya nggak akan ganggu. Jadi silakan dilanjutkan urusannya sama pacarnya."
Aku sudah berbalik, siap benar-benar beranjak secepat mungkin. Namun suara cowok itu lagi-lagi menghentikanku, dan kali ini, diikuti rasa malu segudang.
"Mbak, ini mah ... kakak saya." []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro