Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Second Reason: Chapter 7

Akhirnya apdet ya, bun. Baru bisa nih karena akhirnya cuti xixixi 😭🙏
Ayo bantu ramein buat bab 8 👀


-

Mimpiku agak unik malam ini: aku habis memikul tiang listrik, meletakkannya di tumpukan jerami, kemudian saking capeknya aku tidur sambil duduk. Lebih lucunya, rasa pegalku di mimpi itu kelewat nyata. Seakan-akan aku memang baru saja mengangkat beban yang hampir dua kali lipat dari tubuhku sendiri, dan aku nggak tidur di atas kasur.

Yah, aku memang bukan membawa tiang, tapi sisanya sama sekali bukan mimpi.

Meski ingin sekali terus memejam dan istirahat, telingaku sudah aktif lebih dulu, mendengar namaku dipanggil.

"Arista Mia."

Suara yang biasa membangunkanku adalah alarm atau dering telepon. Kali ini, dua namaku disebut, dan dengan cara yang kelewat dingin untuk sebuah sapaan selamat pagi. Kubuka paksa mataku, dan langsung mendapati lutut dan celana pendek di sampingku. Spontan aku meluruskan punggung hingga bisa benar-benar melihat orang itu.

Dika.

Dari ekspresinya, kurasa dia bukan berniat menawari sarapan.

Tunggu dulu, aku kan ....

"A-ah. Sorry. Gue ketiduran," ujarku buru-buru.

Alih-alih melunakkan ekspresi, alisnya makin bertaut. Kurasa ini sebuah perkembangan buat manusia minim ekspresi sepertinya. Hanya saja, kuharap itu nggak ditujukan padaku.

"What are you doing here?" tanyanya tajam. "Kamar lo bukan di sini."

Terima kasih atas informasi pentingnya, sobat. Itu juga saya tahu.

"Gue ... gue nggak sengaja, sumpah." Aku mencoba menjelaskan. "Kemarin itu lo kayak orang teler di depan pintu kamar lo, ngelantur nggak jelas. Jadi gue coba nganterin balik ke sini." Oleh karena itulah tulangku seperti seketika terkena osteoporosis.

Dika terdiam sejenak, kerutan di dahinya memudar, seakan tengah memproses informasi baru dariku. Aku menimbang-nimbang apakah aku perlu cerita lebih lanjut soal tadi malam. Seberapa anehnya dia, dan bagaimana dia memintaku menemaninya, menolak agar kutinggal sendiri, bahkan hampir—

"What did you do?"

Pertanyaan itu lebih cocok disebut pernyataan. Oh, bukan. Tuduhan. Emosinya malah sepertinya bertambah. Apa cowok kalau baru bangun emosian begini, ya?

"Ya nolongin lo. Masa ke sini buat bercocok tanam?" Sebisa mungkin aku merespons dengan kepala dingin. Niatnya mau bercanda, aku justru mendapat tatapan setajam silet.

"Nggak ada yang minta ditolongin sama lo."

Rasanya aku pernah melihat adegan seperti ini. Mungkin dalam salah satu novel atau komik bacaanku. Mungkin juga dari salah satu series yang lupa kuselesaikan. Sayangnya, nggak ada satu pun dari media itu yang membuatnya semenyebalkan ini.

Sesaat aku hanya bisa diam, mempertanyakan diri sendiri. Aku mungkin bukan dibesarkan dalam lingkungan optimal, kontribusi orangtuaku dalam perilakuku pun sedikit (baiknya memang begitu sih). Meski begitu, berlaku sopan dan saling membantu juga diajarkan di sekolah. Aku yakin anak PAUD juga tahu.

Bukan hal besar untuk berharap seorang manusia dewasa dengan otak yang harusnya sudah berkembang penuh memahami hal itu, kan?

Maybe it is. Ukuran otak atau umur nyatanya nggak bisa jadi patokan kewarasan seseorang. Termasuk cowok ini.

"I think you're right." Aku balik menatapnya tajam. "Mungkin harusnya kemarin gue biarin aja lo kayak orang gila di depan situ. Toh gue memang nggak harus ngebantuin lo, nggak diminta juga. Nggak tahu diri jadinya."

Kejengkelanku benar-benar membuncah. Tapi, aku nggak pernah jago marah-marah. Buat mengomel pun mood-nya sudah buyar. Tanpa bicara apa-apa lagi, aku langsung putar badan dan keluar dari kamar.

Pagi ini aku belajar: lebih baik menolong orang yang bukan hanya butuh, melainkan mau ditolong.

*

Kegiatanku hari ini sebenarnya hanya sedikit, tapi energi terkuras bahkan sebelum aku sempat melakukan apa pun.

Rasanya rentetan kesialan terjadi dalam enam jam terakhir. Seakan-akan menghadapi manusia nggak tahu terima kasih belum cukup, muncul lagi beragam manusia aneh. Mulai dari bapak-bapak yang menyelondong sewaktu aku antre makanan (dia justru marah dan bilang aku nggak tahu sopan santun), sampai WhatsApp dari Pak Kasim, security apartemen, yang bilang pintu apartemenku perlu diganti karena semalam sempat ada dua cowok bertengkar di depan. Beliau bahkan sempat bertanya apakah salah satu dari mereka pacarku atau bukan.

Pak, saya saja dari kemarin-kemarin pusing karena harus cari pacar. Tapi aku juga ogah sih punya pacar yang merusak fasilitas.

Apa masalah hidup nggak paham yang namanya antre ya? Kenapa hobi banget datang rame-rame, sudah kayak mau demo.

"Seenggaknya sekarang lo bisa rebahan," kata Nata dari ponselku.

Yah, bagusnya sih, hari ini aku nggak perlu presentasi. Booth dijaga Pak Keenan dan Dika, dan aku bisa berkeliling melihat booth yang lain sambil mencoba beberapa simulasi program dan website dari perusahaan lain. Rencana bertemu Bu Yona juga dibatalkan mendadak karena katanya beliau jatuh dari tangga, sehingga Pak Keenan buru-buru ke rumah sakit tadi siang.

Jadi di sinilah aku sekarang, FaceTime bersama satu-satunya orang yang siap mendengar pidato soal hari sialku, sembari berbaring di kasur.

"Lo yakin mau di kamar terus?" tanya Nata lagi. "Pantai sedekat itu tinggal lo nikmatin, malah milih kasur."

"Hanya di kasur doang gue nggak ketemu manusia-manusia ajaib," balasku.

"Siapa tahu ketemu bule ganteng, kaya raya, berbudi luhur."

Aku spontan mendengkus. "No thanks. Men are disappointing."

"Kalau yang lo hadapin hari ini sih iya, emang agak laen." Nata terkekeh, lantas berhenti untuk duduk. "Tapi seriusan deh, teman lo marah-marah bilangnya nggak usah dibantuin?"

"Harusnya gue rekam kali, ya. Biar lo dengar sendiri seberapa ajaibnya tuh manusia." Mau menyebut namanya saja aku sudah keki duluan. "Baru pertama kali itu gue nyesel nolong orang."

"Beberapa orang emang nggak perlu ditolongin sih."

"Amen to that."

"Lo awalnya nolongin karena apa?" tanya Nata kemudian.

"Dia yang minta tolong tahu." Lebih tepatnya, aku juga kaget sewaktu melihat Dika ... nggak seperti Dika. Aku sudah terbiasa melihatnya bersikap dingin dan sulit diraih. Aku hanya nggak menyangka dia ternyata bisa seenggak tahu diri itu setelah terlihat rapuh dan butuh pertolongan.

Kalau ngomong terima kasih kejang-kejang kali ya, dia?

"Tapi," aku melanjutkan, "pas gue ketemu itu dia kelihatan setengah sadar gitu, sih. Kayak orang mabok. Kasihan gue lihatnya."

Nata manggut-manggut. "Alkohol emang bisa ngubah personality orang sih."

"Pengalaman ya, Mbak?" sahutku jail, dan sahabatku itu langsung mengumpat sambil tertawa.

"Lo harus tahu ada alasan kenapa orang minum," ujarnya. Okay, here we go again. Nata dan teori kehidupannya. "One, for having fun. And two, for escaping reality."

Aku nggak begitu paham kenapa orang mau minum buat senang-senang. Bingung juga "senang"-nya di bagian mana. But the last reason is valid. I know because I've been there.

Kira-kira alasan Dika mabuk apa? Seharian kemarin dia tampak baik-baik saja. He's thriving. Presentasinya bagus, orang-orang kagum dengannya, kami juga sampai mendapat beberapa potential client setelah mereka mengobrol dengan Dika. Kalau dia nggak suka dengan keberuntungan seperti itu, sumpah, kasih aku saja. Ikhlas lahir batin!

But anyone can have a bad day. Sekalipun itu nggak membuatnya berhak jadi cowok brengsek nggak tahu diri.

"Udahan deh, males gue ngomongin dia," kataku kemudian. "Lain kali nggak bakal gue tolongin."

"Padahal kali aja lo bisa minta tolong ke dia, Mi."

"Minta tolong ke manusia itu? Buat apa?"

"Remember, lo masih perlu cari plus one."

Aku meringis mendengarnya. Fakta itu memang benar, hanya saja ... Dika? No. Definitely not. Kami lebih cocok jadi musuh bebuyutan ketimbang pasangan kekasih. Lagi pula, aku yakin Dika pasti langsung menolak.

So, no. That man is not on the list. He better not.

"Soal itu ... gue pikirin lagi nanti," kataku, enggan membahas lebih lanjut. Aku belum cerita soal Pak Keenan sebagai opsi sih, belum fix juga. Aku harus punya rencana cadangan lain. "Ah, bicara soal cowok. Pintu apartemen gue rusak karena cowok juga."

"Cowok?" Wajah Nata langsung mendekat ke layar. "Di apartemen lo?"

"Nggak ngerti juga gue." Aku menghela napas, membayangkan lagi foto pintu yang Pak Kasim kirim. "Pokoknya pintunya ada yang penyok aja, jadi harus ganti. Pak Kasim bilang sih ada dua cowok yang berantem. Salah satunya katanya tetangga baru gue."

"Apartemen di samping lo udah ada yang ngisi?" tanya Nata.

"Sebelah kanannya ada."

"Ganteng nggak?"

"Fokus utamanya penampilan banget nih?" cibirku. "Gue jarang ngelihat sih. Gue cuman ketemu sekali doang pas pulang malam. Mana orangnya sambil bawa satu cewek pulang gitu."

"Tetangga lo yang sebelumnya juga pindah karena ketahuan jadi selingkuhan ibu-ibu pejabat bukan?" Nata mengingatkan, dan aku mengangguk. Sepertinya apartemen di sampingku itu mungkin menarik orang-orang problematik.

Yah, mau bagaimana pun orangnya, akan kupastikan dia ganti rugi atas pintu apartemenku.

"Kenapa yah, Nat, di sekitar gue kok cowoknya pada nggak waras—"

Ocehanku belum selesai, dan aku terinterupsi oleh suara ketukan pintu. Awalnya pelan, sampai kupikir aku salah dengar, mungkin bunyinya dari tempat Nata. Namun sekali lagi pintu kembali diketuk.

"Bentar, Nat. Ada yang datang," kataku. Mungkin room service—aku nggak memanggil sih—atau barangkali Pak Keenan? Entahlah. Aku merapikan rambutku sekilas sebelum beranjak dan membuka pintu. Nyatanya, yang kutemukan nggak seindah dugaanku.

"Mia."

Jengkel sekaligus bingung bercampur. Setelah merusak pagiku, kali ini apa lagi yang dia cari sampai menghampiri kamar hotelku?

"Kenapa?" Aku menanggapi dingin. Sekalipun aku merasa sedikit baikan karena bisa mengobrol dengan Nata, mendadak suasana hatiku turun lagi. Pikiranku kurang memadai buat adu mulut. Jadi, kalau Dika berharap bisa melanjutkan debat karbitan tadi subuh, dia lebih baik pergi karena—

"Sibuk nggak? Mau ... keluar bentar?" []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro