Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Second Reason: Chapter 6

Tumben yha cepet wkwk lagi semangat ges. ibuck bapack nongol dong kasih tanda kehidupan~

---

Seminar dan konferensi sebenarnya cukup menyenangkan.

Nggak bohong sih, banyak seminar yang sebenarnya jadi uji ketahanan kantuk terselubung, tapi aku selalu menyukai ketika tema-tema seminarnya mengajarkanku sesuatu yang baru. Dunia teknologi selalu berkembang pesat. I need keep my knowledge relevant.

Namun, menghadiri seminar dan mengisi seminar jelas dua hal yang berbeda, sementara aku hanya jago bicara pada diri sendiri. Jadi jangan heran seberapa paniknya aku. Konferensi kali ini mengadakan sesi khusus untuk perusahaan baru agar bisa mempromosikan diri. Nyatanya, bergelut dengan komputer bukan berarti aku terbebas dari tanggung jawab untuk bicara di depan umum.

Pak Keenan
You got this
Saya cek bahan presentasi kamu dan dika oke kok, Mi

Makasih, Pak. Tapi kebetulan Bapak juga bikin saya pusing.

Karena kejadian semalam, aku jadi agak paranoid tiap keluar dari kamar. Pak Keenan sempat mengajakku mengobrol, tapi aku berdalih dan bilang sibuk merapikan presentasi. Memang benar sih, walaupun aku jadi rajin supaya bisa menghindar.

Pak Keenan terakhir bilang ibunya perlu mempersiapkan acara keluarga mulai hari ini, jadi kami nggak akan tiba-tiba ketemu. Tapi tindakan preventif tetap lebih baik, kan? Lagi pula, aku yakin ada sesuatu yang belum pak Keenan ceritakan. Sayangnya aku belum siap mendengarnya tadi malam, hari ini, atau besok.

"Mikirin apa?"

Suara Dika membuyarkan kesibukanku dengan alam bawah sadarku, dan aku menoleh. Dia tampaknya sudah siap, atau terlalu pintar menyembunyikan kegugupan. It's basically nonexistent for him. Dia tampak rapi dengan kemeja putih dan vest. Tumben banget. Ternyata mode rapi Dika di kantor belum ada apa-apanya. Andai aku nggak kenal, aku mungkin mengira dia karyawan dari perusahaan besar, atau malah pemiliknya. C-level worker.

Aku sempat kepikiran untuk memfoto dan bilang ke anak-anak kantor kalau mereka makin kalah siang, tapi jangankan mengurus orang lain, memikirkan diri sendiri saja sudah pusing.

"Lagi ngafalin presentasi," balasku asal.

"ini bukan cerdas cermat, ngapain ngehafal?" Dia memandangiku bingung, pada saat bersamaan juga tampak nggak peduli.

Coba saja dia tahu aku nggak pernah jadi peserta cerdas cermat, karena aku sering gugup kalau dikejar-kejar waktu menjawab.

Aku menghela dan mengembuskan napas, lantas melemparkan pandangan ke arah peserta konferensi yang sudah mengisi hampir tiga per empat kursi kosong. Ini pertama kalinya aku bicara di depan khalayak sebanyak ini. Biasanya juga paling rapat kantor bareng divisi lain. Biasanya juga yang menyampaikan Pak Keenan atau Jere.

Dipikir-pikir, kenapa bukan Jere saja, ya? Yang disuruh bicara malah aku dan manusia paling hemat bicara dalam tim.

Moderator mulai bicara, membuatku makin deg-degan.

"You will be fine," tutur Dika tiba-tiba, tatapannya pun bukan tertuju ke arahku. Kalimat itu nggak terdengar seperti ucapan menyemangati. Semua datar, sama dengan cara Dika bicara biasanya. Tanpa basa-basi, tapi terdengar seperti fakta.

Maybe I will be fine.

Berbekal satu kalimat itulah, aku akhirnya menaiki panggung, dan memulai presentasi.

*

Dika sepertinya benar-benar menjalani dua kehidupan yang berbeda.

Mungkin itu, atau pada dasarnya cowok itu serba bisa.

Menurut Raihan, Tuhan itu maha adil. Makanya Dika yang secara fisik lumayan (itu kata yang digunakan kaum Adam tsundere di kantorku) diberi kekurangan dalam komunikasi.

"Kalau pintar ngomong juga, bahaya. Kaum-kaum fisik strata menengah kayak gue nggak kebagian entar karena ceweknya pada merapat ke dia semua."

Hari ini, pendapat Raihan terbukti salah. Dika jelas bukan nggak bisa berkomunikasi, tapi nggak mau. Dua hal tersebut jelas berbeda. Pasalnya, presentasi kami berjalan lancar sebagian besar karena Dika. Aku berhasil menyampaikan materi bagianku dengan mudah, hanya saja soal promosi .... well, ada alasan kenapa aku nggak diletakkan di bagian marketing. Ajaibnya, Dika berhasil menciptakan suasana santai sewaktu memasuki sesi tanya jawab, bahkan beberapa kali menyelipkan promosi terselubung dalam jawabannya.

"Project kami syukurnya berjalan dengan hasil memuaskan, Pak. We'll gladly provide you with other testimonies. Tapi daripada omongan orang, lebih bagus untuk mencoba sendiri kan, Pak? First hand experience is the best way to learn, afterall."

Beberapa penanya pun memberi respons baik, dan tampaknya bisa jadi potential client. Semua itu karena Dika. Booth kami pun didatangi beberapa orang, mulai dari sesama tech developer sampai perusahaan-perusahaan yang menanyakan jasa Kythera. Ajaibnya lagi, Dika sepertinya lebih tahu Kythera ketimbang aku. Pak Keenan juga sempat menemani, tapi nggak berkomentar. Rasanya malah aku dan beliau yang jadi karyawan biasa, dan Dika-lah ketua timnya.

Terlepas dari itu semua, Dika sama sekali nggak tersenyum. Sejauh mataku memperhatikan, ekspresinya biasa saja, walaupun jika digabungkan dengan nada bicaranya, kesannya jadi nggak sekaku biasanya.

Acara kurang lebih selesai pukul 5 sore, sebelum kami bisa melakukan kegiatan masing-masing. Dika pamit, dan aku ... yah, dengan Pak Keenan. Dia mengajakku untuk makan area pantai. Mau menolak juga, alasannya apa? Akhirnya aku mengiakan saja setelah pamit sebentar untuk ganti baju.

Di masa-masa halu babuku—sekarang masih jadi babu sih, halunya saja ditabrak realita—aku sering membayangkan kencan romantis dengan bule ganteng spek Tom Hiddleston di Bali. Candlelight dinner di pantai, dapat lamaran mengejutkan, lalu ditutup dengan ciuman mesra.

I know, halu babu banget, kan? Faktanya, aku ada di sini bukan untuk ketemu bule, apalagi buat menghabiskan makan malam romantis. Alih-alih datang bareng pacar, aku malah datang bersama "mantan pacar".

"Kamu mau pesan apa?" tanya Pak Keenan sembari membalik buku menu ke arahku. "Pesan aja apa yang kamu mau."

Maunya sih balik ke kamar, Pak.

"Saya ngikut aja, Pak," adalah balasan paling sopan yang keluar dari mulutku.

"Betulan? Kalau kamu nggak suka gimana?" Pak Keenan kelihatan ragu.

"Lidah saya sih selagi halal saya makan, Pak." Aku setengah bercanda. Memang benar sih. Orang susah mana boleh pilih-pilih. Bisa makan juga syukur.

Pak Keenan memanggil waiter, menyebutkan pesanannya dan minta dibuatkan dua porsi. Begitu pesanan dicatat, kali ini topik sebenarnya sudah terhidang di hadapan kami.

Dehaman kecil lolos dari Pak Keenan, sebelum bicara lagi, "Saya minta maaf soal ibu saya kemarin. Itu benar-benar di luar perkiraan."

Bohong kalau aku bilang nggak kesal. Meski begitu, aku yakin Pak Keenan juga nggak mau itu terjadi. Dia juga pasti malu.

"Saya sebelumnya cerita ke ibu saya kalau kita udah ...." Lanjutannya sengaja dibuat menggantung. Aku sudah bisa menebak juga. "Ternyata Mami malah mau ketemu kamu langsung. Saya coba bilang kalau kamu pasti sibuk, ternyata salah satu tante saya ada di sini, jadi pakai alasan mau ketemu tante. Nggak tahunya ketemu kamu pas lagi makan."

"Memang Pak Keenan cerita apa aja?" tanyaku.

"Saya belum cerita banyak. Saya cuman bilang karena ngerasa nggak cocok, jadi kita milih buat udahin hubungannya baik-baik. Saya nggak nyangka aja kamu bilang kamu yang minta putus," balasnya sambil tersenyum sungkan. "Kesannya jadi kamu yang jahat."

Siapa yang memutuskan hubungan rasanya bukan pengaruh besar. Kalau Pak Keenan bilang dia yang mutusin aku, siapa tahu reaksi Bu Yona lebih parah?

Ada satu pertanyaan yang ingin sekali kulontarkan. Sebuah konfirmasi atas tebakanku, juga untuk rumor yang lama beredar. Aku yakin Pak Keenan sendiri sudah mendengarnya. Jika ibunya saja bisa bilang begitu, ada kemungkinan Pak Keenan pasti sudah tahu.

Namun, aku nggak bisa bertanya. Some things aren't that easy to be told. Dari semua orang, aku nggak punya hak protes juga.

"Saya nggak mau menjelek-jelekkan kamu ke ibu saya, jadi saya akan coba jelaskan sebisa mungkin ke beliau. Dan mungkin akan lebih mudah meyakinkan Mami kalau bukan saya aja yang bicara," ujar Pak Keenan. "Tapi kalau kamu nggak bersedia, saya sepenuhnya paham. Kamu pasti malu setelah kemarin."

"Rasa malu saya nggak sebanding sama yang Bapak alamin." Pak Keenan terdiam, lantas tersenyum gusar. "Ah, Pak. Saya bukan bermaksud ngejelekin Bu Yona. Tapi, yah ...."

"I know," katanya sambil manggut-manggut. Apakah ini semacam konfirmasi darinya? "Mami memang niatnya bukan ngejahatin. Gimana pun, dia ibu saya, dan saya anaknya. Saya tahu Mami pasti mau yang terbaik untuk anaknya. That's what mothers do, right?"

Aku hanya bisa mengangguk diplomatis. Kebetulan ibuku agak kurang pendidikan dalam keilmuan menjadi ibu. Aku nggak tahu persis ibu yang baik itu seperti apa.

"Budaya Indonesia juga kali, ya? Orang dinilai laku atau nggaknya kalau bisa punya pasangan di umur segini. Punya pasangan sudah kayak kejar target kerjaan," kata Pak Keenan lagi. "Padahal, belum tentu semua orang ...."

Gantung lagi. Aku sudah pasang mata dan telinga, menyimak. Sayangnya aku juga nggak bisa memaksa.

Pak Keenan melempar pandangannya ke arah pantai. Aku nggak bisa lihat langsung matanya, hanya saja dengan posisi seperti ini, aku seperti bisa merasakan kegelisahan bosku. Kalau mata memang jendela hati, ini mungkin usaha Pak Keenan agar hatinya nggak terlihat oleh siapa pun. Termasuk aku.

"Besok saya mau ketemu Mami," ujarnya lagi, pelan. "Apa boleh kamu temanin saya? Kamu bisa mendukung saya buat ngeyakinin ibu saya kalau kita nggak cocok, dan saya mungkin lebih baik untuk nggak buru-buru cari pasangan sekarang. Bilang aja saya nggak siap."

Selalu ada alasan atas sebuah tindakan, bahkan yang bodoh sekalipun. Tanpa perlu kutanya, aku yakin ada cerita di balik ini semua. Dan mungkin aku nggak perlu tahu.

"Pak Keenan," aku memanggil, dan tatapannya langsung terarah padaku. "Kalau saya lakuin ini, apa ...." Gimana cara paling aman buat bilang, ya? "Kalau saya bantu Bapak, apa ke depannya saya bisa minta tolong juga?"

Dia sempat bergeming, garis-garis halus di keningnya sedikit kentara. Aku mungkin harus menjelaskan, dan sesaat kukira Pak Keenan siap bertanya. Namun tanpa kuduga, bosku langsung mengangguk.

"Sure."

Singkat saja. Aku merasa seperti melihat gambaran diri sendiri sewaktu kami saling bertatapan. Kami sama-sama tahu ada sesuatu, tapi kami memilih diam.

Maybe this is the best way for both of us.

"Berarti ... besok?" tanyaku lagi.

"Malamnya, setelah selesai penutupan acara," jelas Pak Keenan. "Kita berangkat sama-sama dari sini. Harusnya sih acara keluarga saya juga sudah selesai dari sorenya."

Sesingkat itu, dan kesepakatan kami resmi terjalin.

Makanan datang, dan kami menyantapnya tanpa membahas lagi soal Bu Yona dan sandiwara kami. Topik berubah menjadi evaluasi hari ini, serta bagaimana perasaanku setelah ambil bagian. Harusnya Dika yang jawab sih. Dia yang jadi MVP hari ini.

"Saya agak kaget sih, Pak. Nggak nyangka Dika ternyata jago juga ngomongnya," komentarku.

Pak Keenan tertawa. "Kalau dia sih sudah biasa. Emang aslinya banyak bicara."

Berarti teoriku benar, dong? Pak Keenan berarti tahu versi "asli" Dika?

Aku nggak bertanya lebih lanjut, karena setelah makan kami langsung kembali ke hotel.

"Nanti saya kabarin lagi, ya, Mi," ujar Pak Keenan sebelum kami berpisah di lobby. "Good night."

Aku menunduk saja, lantas menyeret kakiku mendekati lift, kepalaku memutar kembali apa saja yang sudah terjadi hari ini.

Besok terakhir, kan? Setelahnya masalahnya selesai.

Yah, masalah di sini sih. Masih ada setumpuk masalah menungguku di Jakarta. Tapi jika ini berhasil, masalah terdekatku mungkin sudah nggak perlu kupusingkan lagi.

Dengan sisa kewarasan tersisa, aku menaiki lift untuk kembali ke kamarku. Tapi belum juga sampai, si penghuni kamar sebelah ternyata ada di luar. Dika berdiri di depan pintu, kepalanya terantuk ke dinding sementara lengannya bersimpuh di depan dada.

Ngapain dia jam segini? Mana belum ganti baju. Setelah kuperhatikan, vest-nya sudah dia lepas, sementara kerah kemeja serta dasinya acak-acakan.

"Dika?" Aku memanggilnya pelan, dan dia menoleh. Ternyata bagian poninya pun sama berantakannya. Aku mendekat, menyipit melihat wajahnya yang tampak seperti orang ngantuk, pipinya agak merah.

Dia mabuk? Sakit?

"Lo ... ngapain? Kok bisa seberantakan ini? Lo sakit?"

Aku refleks menggerakkan tangan, bermaksud mengecek panas keningnya. Namun alih-alih menyentuh dahinya, tanganku justru dia genggam dengan tangan kiri.

"Do I look that bad?"

Aku mengerjap cepat, heran sekaligus takjub. Bagaimana bisa manusia paling kaku di dunia tiba-tiba terlihat ... begini? Sempoyongan, setengah nggak sadar, tapi juga banyak senyum. Ini mungkin pertama kalinya aku melihat Dika "sehidup" ini.

Hidup, tapi juga awur-awuran.

"Dik, lo mau balik ke—"

Di luar dugaanku, Dika tiba-tiba mendorongku hingga punggungku menempel ke dinding, dua tangannya mengurung pergerakanku, sebelum keningnya mendarat di bahuku.

"Temenin gue bentar aja nggak bisa, ya? Please. Bentar aja."

Aku sukses mematung di tempat, nggak yakin harus mencerna situasi ini seperti apa.

Ini sebenarnya Dika bukan sih? []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro