Second Reason: Chapter 5
Pagi-pagi apdet. Tumben. 👨🍳
*
"Mi, suaranya pelanin! Ini lagi rame!"
Peringatan Pak Keenan jelas datang terlambat. Seisi buffet area jelas sudah mendengar suara ibunya, sampai beberapa orang yang sedang mengambil makanan pun berhenti mengisi piring mereka. Sementara aku di sini berharap bisa mengusai ilmu ninja untuk kabur atau berkamuflase jadi meja.
Aku melirik Pak Keenan, berusaha melakukan telepati dadakan. Apa sebenarnya yang terjadi?
Kurapatkan bibirku dan berdiri dari kursi, sedikit menunduk supaya wajahku nggak terlihat. Jangan sampai ada yang merekam kegilaan ini dan membuatku viral di media sosial.
Pak Keenan balik menatapku, kening dan hidungnya sedikit mengerut, dan tatapannya seakan tengah menyampaikan permintaan maaf padaku.
Aku bukan butuh permintaan maaf sekarang, serius deh!
"Mi, kalau bicara kecilin suaranya." Pak Keenan berbisik lirik ke arah ibunya, tapi sepertinya Ibu Yona Atmadjaja ini nggak begitu peduli. Aku benar-benar mendapat atensinya.
"Kamu dan Keenan betulan sudah putus?" tanyanya lagi. "Waktu itu bilangnya nggak pacaran, kenapa sekarang tiba-tiba putus?"
Sudah kuduga ini ide buruk. Siapa juga yang bisa dibodohi dengan hal seperti ini?
"Keenan kurang ganteng? Nyebelin? Atau kenapa? Apa nggak kalian obrolin dulu?"
Tunggu dulu. Apa katanya?
"Kamu sih." Bu Yona langsung menepuk pundak anaknya, dan makin banyak perhatian yang tertuju ke drama dadakan ini.
Aku transparan. Aku transparan. Aku transparan. Kalian semua nggak bisa lihat aku di sini. Kurapalkan mantra itu dalam kepala. Aku nggak ada di sini. Aku nggak ikut terlibat dalam drama ini. Aku angin lewat. Bahkan bisa jadi kentut yang diam-diam dikeluarkan seseorang di sini, yang menyelinap keluar tanpa disadari siapa-siapa.
"Kami emang nggak cocok aja, Mi," kata Keenan lagi. "Iya kan, Mi? Kita ternyata nggak cocok sama sekali selain soal kerjaan."
Aku mengerjap, jelas kelabakan karena tiba-tiba dilibatkan dalam percakapan yang aku sendiri nggak tahu apa topik obrolannya.
"Uh ... itu ...." Keenan mengangguk kecil, sehingga aku meneruskan, "Ah, iya. Kami nggak cocok. Sama sekali nggak cocok. Pak Keenan suka kucing, tapi saya lebih suka anjing."
"Keenan alergi bulu kucing," ujar ibunya, membuatku langsung menggigit dinding mulut dalamku.
"See, Mi? Dia bahkan nggak hafal alergiku apa." Kok malah kesannya aku yang jahat? "Aku juga salah terus soal apa yang Mia suka atau nggak. Kita terlalu beda."
Pak Keenan mungkin orang paling ajaib di kantorku, tapi beliau selalu tampak sebagai orang yang paling bisa diandalkan. Seseorang yang tahu persisnya apa yang akan dan perlu dilakukan. Hanya saja kali ini, semua itu seolah berubah buram.
He is not my boss now, but a son. A son who desperately wants his mom to shut up.
Selama satu tahun bekerja, Pak Keenan cukup sering hadir sebagai topik FGD—focus group discussion, alias lapak gibah—anak kantor. Bukan karena beliau pelit, suka memerintah anak buah, atau sembarang menyuruh lembur karena banyaknya project yang diambil. Timku diberkati dengan ketua tim yang baik. Tapi, yah, namanya juga grup diskusi, pasti ada saja hal yang bisa dibicarakan. Dalam kasus Pak Keenan, topik utamanya seringkali seputar ....
"Karena terlalu beda, atau karena kamu naksirnya sama cowok?"
Aku nyaris tersedak ludahku sendiri mendengarnya.
Ini yang jadi sering perbincangan kami sebagai bawahan. Pak Keenan mungkin jayus, tapi kepribadiannya cukup mengasyikan. Tampan? Yah, bolehlah. Aku yakin Pak Keenan juga merasa begitu, mengingat kumpulan sticker WhatsApp wajahnya adalah hasil karya dia sendiri. Namun, kami hampir nggak pernah mendengar isu soal pasangan Pak Keenan. Berdasarkan teori di internet, cowok ganteng kalau single biasanya betah sendiri atau, well, sukanya yang ganteng juga.
I don't want to judge. Love can come in any shape and form. Masih ada juga kemungkinan lebih masuk akal: Pak Keenan punya prioritas penting selain pasangan. I can relate to that in a heartbeat.
Yang nggak kusangka, asumsi cowok-cowok kantor akan kudengar di sini, persis keluar dari ibunya Pak Keenan sendiri. Aku nggak bisa berkomentar—nggak berani juga. Entah sudah berapa pasang mata terarah ke sini, tapi itu jelas bukan pertanda baik.
"Mi, please. Bisa nggak jangan ngomong aneh-aneh?" Pak Keenan kali ini tampak jengah sekaligus lelah, telinganya juga berubah merah. Aku jadi sedikit kasihan. Siapa pun nggak mau dipermalukan di depan karyawan, apalagi pelakunya justru orang tua sendiri.
Meski begitu, aku yakin Bu Yona begini sebenarnya karena peduli. Dia mengkhawatirkan anaknya. Isn't that a good thing? Semua manusia terlahir dengan orang tua, sayangnya nggak semua orang tua bisa menyayangi dan peduli akan anaknya.
Andai aku punya keluarga yang berfungsi dengan baik, apa mereka akan bereaksi seperti ini jika tahu aku jomlo seumur hidup? Apa yang akan mereka pikirkan tentangku? Apa yang akan mereka lakukan?
"Bu." Kuberanikan diri untuk bersuara. "Saya ... saya minta maaf. Tapi saya dan Pak Keenan putus karena memang kurang cocok. Saya yang minta putus."
Improvisasi dadakan. Jujur saja, aku juga nggak yakin akan apa yang kukatakan. Ini sama sekali nggak direncanakan. Namun, diam juga jelas nggak akan membantu. Jika Bu Yona perlu mendengarnya langsung dariku, aku akan mengatakannya.
Bu Yona diam sesaat, ekspresinya jadi sedikit lesu. "Betulan putus?"
Aku mengangguk.
"Kenapa?"
Kulirik Pak Keenan sebentar, mencoba menebak apa yang harus kukatakan. "Uh, soalnya saya ...."
Saya bohong doang, Tante.
Saya orang susah.
Saya naksir orang lain.
Saya aslinya serigala dan bakal berubah kalau bulan purnama.
"Permisi."
Aku belum melanjutkan kalimatku, dan Dika tiba-tiba mendekati meja. Di tengah situasi intens dan kaku, kehadirannya terasa seperti jin yang baru keluar dari botol. Walaupun di sini nggak ada botol sih.
Entah Dika menyadari semua perhatian tertuju padanya, tapi dia hanya menatapku. Lipatan samar tampak di antara alisnya, dan dia menggunakan satu tangannya untuk membawa laptop, dan tangan lainnya menggenggam pergelangan tanganku.
"Maaf ganggu, tapi saya dan Mia perlu beresin kerjaan kami."
It's that simple. Hanya satu kalimat, dan Dika langsung menarikku keluar. Menjauh dari meja, kerumunan, dan siapa pun yang menonton kami di buffet area.
Bingung? Banget. Namun aku sedikit lega karena bisa keluar dari sana. Aku nggak tahu kami mau pindah ke mana, tapi dia melangkah ke area dekat kolam. Seenggaknya orang-orang di sini sibuk akan urusan masing-masing untuk memperhatikan kami.
"Makasih banyak, Dik." Aku cengegesan, berusaha mencairkan suasana sambil menyesuaikan langkahnya. "Kalau di sana terus, pasti nggak bisa lanjut ngerjain—"
Tiba-tiba dia berhenti. Tanganku pun akhirnya dilepas.
"Gue narik lo emang supaya lo bisa lanjut kerja," ujar Dika datar. "So do your job right. Lo bisa urusin soal status lo sama Pak Keenan belakangan."
Komentarnya itu sukses membuatku bungkam di tempat. Rahangku seperti sulit menutup, tapi nggak satu pun kata kukeluarkan lagi. Malu? Kesal? Bingung? Entah mana yang harusnya kurasakan lebih dulu.
"Email gue nanti kalau lo udah beres atau ada yang perlu gue perbaikin. Kalau mau aman, kerjain aja di kamar."
Dika melanjutkan langkahnya entah ke mana, dan untuk pertama kalinya aku merasa menyesal pernah berterima kasih pada seseorang.
Aku nggak punya tipe khusus, tapi kalau aku punya pacar, kuharap pacarku tahu cara bilang "sama-sama". []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro