First Reason: Chapter 2
First Reason: I'm Good at Showing (and Hiding) Things
People show a part of their life that they want to show.
Itu sebabnya eksistensi media sosial nggak pernah redam, dan itu sebabnya reuni menjadi momen tepat untuk humblebrag. Yang bilang reuni itu acara temu kangen kemungkinan besar berbohong.
Pertemuan yang kuhadiri siang ini bukan reuni akbar yang melibatkan banyak orang. Sebenarnya ini lebih cocok disebut nongkrong. Bedanya, kalau aku dan anak-anak kantor biasanya nongkrong di warung kopi, rumah makan padang, atau gultik, kali ini lokasi nongkrongnya lebih elit. Salah satu teman SMA-ku membuka patisserie di Sudirman, dan menyarankan tempat usahanya jadi titik kumpul kami hari ini.
See? Belum kumpul saja sudah ada yang dipamerkan. But I expected that much from this meeting. Iri sedikit sih, tapi aku nggak boleh buang-buang waktu. Aku punya alasan kenapa harus bertahan di sini.
Pernah dengar mengenai beragam jenis orang dalam satu circle? Umumnya, pasti ada yang bertolak belakang. Dari si rajin dan si tukang rebahan kelas kakap, orang paling gercep diajak main sampai ninja jadi-jadian, atau kaum biasa saja dan si putri kerajaan. Seimbang, bukan?
Sayangnya, nggak semua pertemanan menganut prinsip itu. Contohnya, yah, pertemananku ini. Kendati seimbang, semua yang ada di sini setara. Satu level.
Sinta, alias Ibu Ketua di sini, merupakan cucu dari salah satu konglomerat tanah air, dan bekerja sebagai senior manager di yayasan milik keluarganya. Silver spoon at its finest. Selain itu ada Karmel, yang paling kalem di antara kami, dan bekerja sebagai pengacara di law firm keluarga yang sudah dikenal se-Indonesia, apalagi kakeknya sering muncul di berbagai media tanah air. Kemudian ada Chika, si heboh dari yang paling heboh. Dia bekerja sebagai fashion stylish di sebuah majalah ternama, sekaligus pemilik patisserie ini.
Yet here I am, Arista Mia Gantari, si front end developer yang beruntung berhasil masuk di sebuah perusahaan tech development yang relatif baru dibangun, berusaha hidup sendirian di tengah ibukota tanpa ada kerabat yang bisa diandalkan. Aku nggak mungkin minta tolong kepada Ayah yang tengah mendekam di penjara, dan Ibu yang sibuk dengan ... whatever she's been and currently doing. I don't know.
So, yes, basically they have this comfort life to show, but not me. Ada alasan kenapa akun media sosialku nggak punya banyak unggahan. Mau memamerkan apa? Keseharianku yang diisi tumpukan kafein, atau deretan kode yang sering bikin menangis karena warna merahnya? Dipastikan hidupku nggak semenarik yang lain.
Mungkin aku dan beban hidupku menjadi penyeimbang dalam lingkaran pertemanan ini.
But let's put it aside for now. Bintang dalam pertemuan ini sudah pasti bukan aku, melainkan Ibu Ketua.
Belakangan ini Sinta banyak mengunggah morning routine lengkap dengan pasangannya. Entah orangnya langsung, atau sekadar chat dan kiriman makanan yang kelihatan jelas siapa pengirimnya. Sinta memang nggak pernah malu untuk membicarakan "Mas" kesayangannya. Yang nggak kuduga, kali ini pembahasan tersebut ternyata diikuti sodoran selembar undangan berwarna broken white dan gold, diikuti sebuah kalimat pamungkas.
"Pada bisa datang bareng pasangan, kan?"
Kendati menjawab, aku hanya bisa diam. Kepalaku buffering. Tolong dicatat bahwa aku ikut senang atas keseriusan hubungan yang Sinta jalani. Sebagai teman yang baik, aku sepenuhnya mendukung keputusan itu. Masalahnya, dia minta kami datang sama ... siapa katanya tadi?
"Jumat malam, ya?" Karmel merespons lebih dulu. "Kayaknya tanggal segitu juga gue nggak ada jadwal sih. Nanti gue tanya Jessen sekalian."
"Kalau ada juga gue mau lo kosongin," tuntut Sinta sambil bersidekap dan bersandar di di kursi, membuat dagunya terangkat selagi matanya menunggu jawaban masing-masing dari kami. "Pokoknya kita harus lengkap."
Karmel langsung meringis. "Ini undangan atau pemaksaan deh?"
"But it's a special day. Masa kalian mau skip sih?" keluh Sinta. "Lagian Mas juga minta biar kalian datang, mau lebih kenal kalian."
"Gue datang kok. Tenang."
"Good then."
Obrolan tersebut kemudian disela seorang perempuan berambut bob sebahu yang mengantar pesanan kami sambil tersenyum sopan dan melirik sebentar ke arah Chika. Mungkin itu semacam gestur pamit ke bosnya. Obrolan kami juga jadi terhenti sejenak. Sinta sibuk menjepret berbagai potongan kue dan macarons di atas meja, Karmel berkutat dengan ponselnya, sementara aku masih belum bersuara.
"Kalian berdua kok diam doang? Jangan bilang nggak bisa?"
Aku menoleh ke arah Chika, yang ternyata diam juga. Anehnya, dia sempat gelagapan sendiri sebelum menyengir lebar. "Gue pasti datang kok. Kalau soal doi, gue perlu nanya dulu."
"You should definetely come with him," tukas Sinta lagi, matanya menyipit. "Yang baru belum lo kenalin ke kita-kita, kan? Mau kapan?"
Chika terkekeh. "Nanti deh, ya."
Tentu saja diamnya Chika berbeda denganku. Dia bukannya nggak punya pacar. Aku bahkan nggak ingat kapan dia menjomlo. Dari antara kami, bisa dibilang dia yang paling sering gonta-ganti pacar. Namun, kekosongan itu selalu terisi dalam waktu dekat. Sementara aku ... tahu sendiri lah, ya.
Hanya tersisa aku sekarang yang belum menjawab. Pandangan ketiga perempuan itu pun terarah padaku, dan Sinta-lah yang lebih dulu bertanya, "Lo gimana, Mi? Ikut, kan?"
Ngegandeng kucing boleh nggak sih? Berhubung Oren suka ngebolang, aku perlu mengandalkan bantuan kucing lain. Kantorku memelihara seekor kucing anggora, Tara—alias Tampan dan Berani, dinamai langsung oleh Pak Keenan. Jangan tanya kenapa dinamai begitu. Bosku memang sejaib itu.
Tapi, tentu saja, opsi tersebut mustahil. Selain pertunangan Sinta dipastikan nggak akan menyediakan Whiskas dalam menu prasmanan, aku juga nggak akan mempermalukan diri. Berarti, Tara dicoret dari daftar bantuan.
Terus siapa dong?
"Mi?" Sinta kembali memanggil, membuatku mengerjap cepat dan menoleh ke arahnya.
"Uh ... soal itu ...."
Duh, mau bilang apa? Kalau aku jomlo? Jangankan cari pacar, waktuku kebanyakan habis buat begadang karena project. Tenagaku sudah habis buat bekerja. Terlebih lagi, aku nggak yakin ada yang mau jalan bareng aku jika tahu kalau aku—
"Jangan bilang lo sibuk?" Giliran Karmel berkomentar. "Udah berapa kali kita ketemuan dan lo nggak ada, Mi. Sesibuk itu lo?"
Aku hanya bisa terkekeh, atau meringis. Aku sendiri ragu seperti tawaku barusan. Nyatanya, alis Sinta makin meninggi. Mereka hanya tahu aku seorang programmer yang kerjanya membuat aplikasi bagi klien. It's true, but it wasn't the whole truth. Orang awam mungkin mengira pekerjaan di bidangku menghasilkan cukup banyak uang. Yang mereka nggak tahu, semua uang itu nggak selamanya lari ke kantong dan tabungan. Sebagai perusahaan yang baru berjalan, seringkali klien datang karena jasa yang kami tawarkan relatif lebih murah ketimbang perusahaan lain yang sudah lebih punya nama.
Teman-temanku nggak perlu tahu itu, kan? Akan lebih baik begitu. Some things better left unsaid. Kebetulan hampir seluruh hidupku di belakang akan lebih baik tidak diketahui siapa pun. Masa lalu memang nggak bisa diubah, tapi bisa buat tetap diletakkan di belakang.
"Apa lo nggak punya pacar?"
Pertanyaan itu seharusnya bisa kujawab dengan mudah. Satu kata saja. Namun, tatapan tiga orang ini membuatku tahu bukan itulah jawaban yang ingin mereka dengar. Setelah semua hal yang kulakukan dan bisa sampai sejauh ini, mana mungkin kurusak semuanya begitu saja?
"Kok diam—"
"Ada, gue coba ajakin dia buat datang nanti," sahutku cepat. Sebisa mungkin aku tersenyum, hal khusus yang sudah kuasah bertahun-tahun tiap bergaul dengan tiga orang ini.
A little lie won't hurt, right?
Alis Sinta sempat terangkat, tapi setelahnya menyeringai sebelum menyeruput latte-nya. Karmel manggut-manggut, sementara Chika menyunggingkan senyuman—atau entah bagaimana cara menyebut gerak bibirnya saat ini.
Entah bagaimana bisa jawaban itu keluar dengan begitu yakin dan tanpa beban. Karena nyatanya sekarang hanya satu hal yang bisa kuyakini: aku baru saja membuat keputusan bodoh.
Tapi juga kebodohan kecil ini bisa membuat hidupku lebih baik, itu akan jadi pengorbanan yang setara. []
.
Sorry for the late update ya ibundahh. Padahal udah ngedraft tapi lupa dipublish karena fokus ngurusin persiapan event ke Tangerang. 😭
But now we're done, kita balikin lagi jadwal updatenya. Kalau pada semangat lusa aku publish bab 3 👀
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro