Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

First Reason: Chapter 1

First Reason: I'm Good At Showing (and Hiding) Things



[Before The Disaster ....]

Ada teori berisikan dua alasan kenapa cewek belum punya pacar: kurangnya cowok dalam pergaulannya, atau kebanyakan bergaul sama cowok.

Teori siapa? Sudah pasti bukan Albert Einstein atau isaac Newton, melainkan sahabatku, Nata.

"Walaupun banyak ikan di laut, tapi sekarang udah pemanasan global. Sampah di mana-mana. Nggak semua ikan bisa dimakan atau dipelihara." Begitu katanya.

Harus kuakui, aku setengah setuju. Aku rasa semua orang akan setuju begitu bekerja di bidangku: IT. Alias, sarangnya kaum Adam dan sejuta keajaiban serta keanehannya.

Please emphasize on the last part.

It's hard to romanticize some things when the exact opposite happens to you. Lupakan soal ksatria penyelamat, anak pengusaha tujuh turunan delapan tikungan, apalagi aktor tampan yang dari kaca saja rasanya bisa kita cium wangi parfumnya. Di sini, aku hanya menemukan sekumpulan cowok yang nggak mandi hampir tiga hari karena mengejar tenggat pembuatan aplikasi e-commerce.

Untuk siapa pun yang hobi belanja online—atau sekadar simpan barang di keranjang tanpa dibeli—percayalah ada sejumlah keringat orang-orang di belakangnya, ditambah bau badan kewarasan ala kadarnya karena kurang tidur.

"Lebih bikin mabok bau kalian daripasa Stella jeruk," komentarku sambil geleng-geleng. Aku pulang tengah malam dan baru kembali pagi ini. Rupanya teman-temanku yang lain nggak beranjak dari tempat mereka sebelumnya. Satu-satunya yang pindah sepertinya nyawa mereka.

"Stella jeruk nggak ganteng," celetuk Raihan sementara aku membagikan kopi ke meja mereka. "Tumben nih, peka banget sampai buatin kopi."

"Lagi latihan buat jadi istri yang baik nih?" Jere menyeletuk, membuat seisi ruangan tertawa. Yah, hampir semua. Kecuali aku.

"Pak Bos dapat juga nggak? Yang edisi spesial gitu, Mi." Sekarang Bisma ikut-ikutan. Sepertinya percuma membuatkan manusia-manusia ini kopi. Menertawakanku saja tampaknya sudah membuat kesadaran mereka terkumpul. "Eh, belum balik, ya?"

"Pesawatnya delay, baru nyampe siang atau sore ini." Sebenarnya aku malas membalas, karena aku tahu setelah ini ....

"Cie, cie, cie."

"Tahu banget jadwal calon suami."

"Pasti kangen tuh."

Andai mereka seaktif dan responsif begini dalam bekerja. Mau kesal juga buang-buang tenaga. This is basically my work life is. Cowok-cowok ini mungkin terlalu lelah menertawakan kehidupan romansa masing-masing, sehingga aku jadi sasaran empuknya. Semuanya hanya karena ibu dari ketua tim kami, Pak Keenan, datang ke kantor dan mengira aku adalah pacar anaknya.

It's all a misunderstanding, of course. Kenyataannya, aku sama seperti cowok-cowok berdebu di sini—jomlo kelas kakap. Jangankan mengingat orang lain, mengurus diri sendiri di tengah pekerjaan nggak kenal waktu ini saja sudah susah bukan main. Aku lebih sering mengetik kode di VS Code ketimbang WhatsApp. Nggak lucu kan kalau pacarku nanti bakal merasa tersaingi dengan aplikasi pemograman?

Kenyataannya, sendirian nggak seburuk kelihatannya kok. Gaji bisa dinikmati sendiri, nggak perlu pusing memikirkan jadwal lembur atau lupa balas chat, karena kemungkinan besar isinya ocehan stres di grup kerja tanpa bos, atau ....

Pak Keenan
Mi, progres udah sampe mana?
Kirim laporannya pagi ini y

Yah, begini. Di-chat bos pagi-pagi, ditambah ekstra stiker WhatsApp meme muka bosnya sendiri. Bos kami memang punya tingkat kepercayaan diri yang unik.

"Panjang umur banget, udah ditanyain kabar." Entah sejak kapan Jere sudah ada di belakangku, ikut mengintip isi pesanku.

Langsung saja kusikut perutnya. "Yang ditanyain kabar kita semua. Paduka minta laporan pagi ini."

"Anjir, udah laporan aja?" Raihan merenggangkan lengan tanpa berdiri, sehingga tangan kirinya pun mengenai Bisma di sebelahnya. Cowok itu langsung berdecak dan beranjak dari kursinya.

"Popmie masih ada nggak sih? Gue butuh micin banget ini sebelum gila di sini," ujar Bisma. "Mang Asep udah jualan belum sih jam segini?"

"Yang Mang Asep jual jam segini sih air cucian mangkuk," sahutku. "Tapi gue masih punya mie goreng sih, ada dua di pantry."

"Gue mau!" Raihan langsung bergegas dengan seribu langkahnya, lalu disusul Bisma yang protes "gue duluan". Aku hanya bisa geleng-geleng, lantas mengedarkan pandangan lagi ke seisi ruangan. Hampir seluruh timku sudah ada di sini. Ya, hampir. Kecuali satu orang.

"Dika di mana? Balik juga? Udah selesai belum buat perbaikin—"

"Udah."

Aku nyaris terperanjat begitu mendengar jawaban singkat itu di belakangku. Ketika aku berbalik, orang yang kucari ternyata ada di belakangku, lengkap dengan kacamata yang didorong ke atas kepala, juga wajah datar yang basah.

Ini Dika. Back end developer di tim ini, sekaligus manusia paling minim ekspresi yang pernah kutemui selama setengah abad hidup. Pekerjaanku sebagai front end developer tentu membuatku harus banyak berinteraksi dengannya. Masalahnya, tiap kata yang keluar dari mulutnya juga bisa dihitung jari.

Aku berdeham, sebisa mungkin mengontrol kekagetanku."Udah aman?"

"Udah."

"Kalau gitu tinggal bikin laporan—"

"Udah gue kirim lewat email."

Nggak ada lagi yang bisa kukatakan. Bukan hanya karena apa yang kuperlukan sudah dia selesaikan, tapi karena dia juga langsung melenggang begitu saja, kembali ke kubikelnya di area paling ujung.

Yah, sesingkat itu obrolan gue dan Dika. Selalu begitu. Teman-teman yang lain memperhatikan, tapi nggak ada satu pun yang berkomentar. Semua orang tahu Dika begitu, dan sayangnya nggak ada yang bisa protes. He get his job done, and that's all what matters. Sampai sekarang, masih jadi misteri kantor bagaimana bisa orang sependiam ini bisa diterima bekerja di sini. Atau di mana pun.

Dugaan terbesarnya sih, tahu sendiri. Orang dalam. Tapi kami semua lebih tahu informasi soal Oren—kucing di depan kantor dengan kelakuan ajaibnya—ketimbang rekan tim kami sendiri.

And so, there you have it. Teman satu timku dan semua keanehannya. Dengan kelakuan seperti ini, kurasa ada satu kesimpulan yang bisa kutarik: menjomlo akan lebih baik ketimbang berhubungan dengan tingkah manusia seperti mereka-mereka ini. Terlalu banyak masalah yang perlu diurus ketimbang membagi fokus buat memikirkan orang lain.

"Laporannya kalau bisa rampung sebelum makan siang, ya," ujarku pada yang lain. "Biar gue terusin ke Pak Keenan. Gue siang mau cabut soalnya."

"Mau ke mana lo?" tanya Jere.

Memperbaiki citra diri buat hidup yang lebih baik.

Tentu saja aku nggak membalas begitu. Gantinya, aku hanya bilang, "Mau ketemu teman-teman SMA."

Dan sebelum bertemu mereka, aku perlu menghilangkan aroma Mia si orang IT kurang tidur ini. Jika ada satu kelebihan dalam diri yang kubanggakan, dipastikan itu adalah menyembunyikan hal yang nggak boleh dilihat orang lain.

Karena aku belajar, nggak semua orang siap menerima diri kita yang sebenarnya. Jadi kita hanya tinggal memberikan apa yang ingin orang lihat, bukan? []


Catatan Arata:

Halohalohai!

Udah hampir dua minggu lebih ya nggak update? Karena ada acara minggu lalu, so waktu nulis perlu aku kesampingin. Masih menyesuaikan sama jadwal kerja juga since jobdesk bukor ini bertambah wkwk but hopefully waktu nulisnya tetap masih ada. Semoga ketemu lagi minggu depan ya, buat buka masing-masing cowok ajaib buat Mia 👀

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro