Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Debonair from Uranus

"I know that no one likes me, i know that everything i do looks crazy."
Barbara T-

✖👽✖

"Dari atas loteng, seluruh Hutan Roswell terlihat jelas," Ayah menaiki mobil angkut yang separuh terendam cairan asam lambung, "kulihat ada kerusuhan, jadi aku datang dan bertemu anak besar ini! Dia pasti sangat lapar. Sekarang kau masih tak percaya pada hal-hal anomali, Siobhy?"

"Ayah!" aku merotasikan mata ketika dia menyebut nama kecil yang konyol itu. "Itu Siobhan--Siobhan--oh, tolong!"

Perut besar itu bergetar, terasa seperti Raksasa Oliver sedang berlari menabraki pepohonan konifer. "Ke mana dia pergi?" aku memandangi Vaughn.

"Panti Jompo," tukas Yugo, yang tampak kacau tanpa kacamata dan rambut tersibak berantakkan, "kita harus keluar sekarang."

"Semuanya pegangan," kata Vaughn, memberikan instruksi pada Yugo untuk masuk ke kursi pengemudi. Anak laki-laki itu langsung memutar kunci yang masih terkatung di lubang dan menancap gas sekuat tenaga.

Aku menunduk kepada roda-roda mobil yang berputar gila hingga mengocok cairan lambung Raksasa Oliver. Ayah tertawa aneh, dia merangkulku dan Vaughn sambil berkata, "ini akan jadi air pancur yang hebat."

Seketika itu juga Raksasa Oliver mengamuk, memekik, lantas memuntahkan isi perutnya termasuk sebuah mobil angkut yang kami pegangi hingga terguling seperti kecelakaan dahsyat. Aku terlempar menghantam pohon pinus dan meringis nyeri. Tapi, aku tetap bisa bangkit. Vaughn yang tua bahkan sudah berlari mendahului kami menuju Panti Jompo sebelum Raksasa Oliver yang teler kembali sadar.

"Semuanya, berlindung ke dalam!" seru Yugo setelah melompati pagar pekarangan dengan epik dan menggiring para orang tua ke rumah. Vaughn juga membantu, sedangkan Ayah sedang menyiapkan alat sintingnya yang biasa ia asah di loteng.

"Sekarang, kau tahu benda ini berguna." Dia mengangkat sebuah senapan besar dengan banyak ukiran aneh dan moncong basoka.

"Oh, Ayah!" aku mengeluh, mengacak rambut pirang abuku. "Di depan sana ada raksasa dan--tadinya--aku hampir dimakan anjing kanibal. Ayah tahu sejak lama?"

"Ayah yang menemukan jurnal itu," dia tersenyum puas, "peninggalan kawan lama Ayah yang kau curi diam-diam, eh? Harvey Newton yang malang."

"Kau kenal Harvey?" Vaughn tiba-tiba mendekat setelah membantu seorang nenek mencari gigi palsunya yang lompat. "Harvey anakku?"

"Aku turut berduka. Harvey tewas setelah percobaan pesawat yang baru dia perbaiki. Pesawat untuk kalian pulang," kata Ayah.

Vaughn tertegun, barangkali jantungnya berhenti sedetik. Tapi, Yugo datang melapor dan menggantikan suasana sendu itu menjadi menegangkan. Tangannya teracung melintasi pagar. "Orang-orang sudah aman. Itu dia Oliver datang."

Raksasa Oliver meraung memekikkan, tapi Ayah menembak mulutnya dengan bola-bola hijau yang dia sebut "Iblis Pistacchio" sehingga Raksasa Oliver memerah kepedasan. Vaughn menembakkan butiran-butiran kristal dari pistolnya yang kemudian membekukan wajah Raksasa Oliver. Aku melotot. "Kalian ini apa, sebenarnya?"

"Kau tahu, Siobhan," Yugo berkata di sela-sela kebisingan bunyi tembakkan, "ada banyak keanehan di dunia ini, dan sebentar lagi itu akan menjadi lazim. Apa kau bisa menjelaskan kenapa kakimu sudah tidak terkilir, Vaughn berlari tanpa kursi rodanya, dan aku bisa mengetahui apa pun?"

Lidahku terlilit, tak mampu berkata-kata. Ketika Ayah dan Vaughn menembakkan senjata mereka yang terakhir, Raksasa Oliver tumbang. Kakek-kakek dan nenek-nenek yang menonton tegang di jendela-jendela Panti Jompo mendadak bertepuk tangan dengan meriah, menyetel Ode to Joy dari radio. Aku merasa bahwa segala keanehan ini bukan lagi sesuatu yang patut dipertanyakan.

Yugo benar, ini terasa lazim.

"Yah, sepertinya tujuanku sudah selesai," kata Vaughn sambil menatap kami semua. "Aku membayangkan pulang bersama Harvey dan itu tidak terjadi. Namun, aku mengalami sesuatu yang lain."

Dia melihatku. "Apa kau masih suka menulis? Jurnal itu milik Harvey. Kau simpan, lah."

Ayah tersenyum aneh. Selalu begitu. "Yah, kupikir ini saatnya mewariskan benda keramat yang asik itu padamu."

Jurnal tua itu kembali ke tanganku, berdegup saat menerimanya. Langit mendadak mendung ketika sebuah benda melesat cepat dan mendarat di pekarangan Panti Jompo. Pesawat segi  delapan yang terbuat dari kaca kristal biru. Sebuah tangga lipat futuristik terbuka dengan elegan. Yugo berdiri di sebelahnya. Aku melotot dan menganga.

"Jemputan sudah datang, Tuan," katanya. Masih dengan tampilan kacaunya setelah dari Hutan Roswell, rambut hitam legam berantakkan dan mata sebiru lapis lazuli yang persis dengan Vaughn. Aku tak menyesal telah merusak kacamata itu, dia lebih baik tanpanya.

"Baiklah, saatnya aku pulang."

"Tunggu!" Jenkins Rahner datang tergopoh-gopoh masih dengan cerutu dalam mulutnya. "Vaughn Newton, ini betul kau atau mataku yang memang buram? Kau tidak duduk di kursi roda?"

"Aku duduk di sana karena malas berdiri, Kawan. Bukan apa-apa." Vaughn mengulum bibir. "Baiklah, saatnya aku pergi. Ayo, Yugo."

"Hei, tunggu sebentar. Tunggu," aku berdiri ke tengah-tengah kerumunan itu, "apa ini lelucon? Drama musikal? Ahahaha, lucu sekali. Ada UFO, raksasa dan segala kegilaan. Bagaimana bisa?"

"Kau memang muda," celetuk Jenkins Kahner. "Kita para tetua sudah terbiasa dengan segala kejanggalan di Roswell."

"Oh, tapi memang kesalahanku karen lupa memperkenalkan diri," kata Vaughn. "Aku adalah penduduk Uranus, planet es itu agak jauh dari sini. Kau tak akan sanggup jalan kaki. Ini Yugo, asisten saya yang menyamar ke SMA Roswell. Dia sudah mengawasimu sejak lama di bawah perintahku."

"Apa?" aku melongo. "K-kalian a-a-alien? Tidak mungkin. Itu hanya taktik daya tarik pariwisata."

Ayah menepuk pundakku. "Ayah sudah bilang, Siobhy. Kau tak percaya. Ayah cinta alien, tamu-tamu Bumi yang ramah. Harvey salah satunya."

"Oh, itu sangat menyentuh," Vaughn tersenyum, "terima kasih. Kau dan anakmu akan kami kenang selama di Uranus. Berkunjunglah kapan-kapan. Sampai jumpa."

Vaughn memasuki UFO-nya hingga tangga menarik tertutup. Orang-orang tua kini menyetel In Other Words dari gramofon. Ayah merangkulku, menangis dengan konyol. "Aku akan rindu mereka."

"Yah ... aku tidak pernah punya teman," gumamku. "Yugo adalah yang pertama."

Pesawat itu terbang dan melesat kilat seperti cahaya yang menghilang ditelan langit. Sekali lagi aku menatap jurnal itu, berpikir untuk mulai membacanya secara utuh.

"Senang menjadi yang pertama."

Aku terkesiap saat melihat seseorang di depan. Yugo masih di sana, sedang merapikan mantel anehnya yang kuduga pakaian formal khas Uranus. "Kau tidak pulang?"

"Aku masih punya tugas di sini."

"Apa?"

"Rahasia."

"Oh, oh, Yugo! Bagaimana kau tinggal dengan kami?" Ayah mengguncang pundaknya. "Itu akan jadi pengalaman yang hebat, menjadikan rumah kami sebagai motel bagi alien."

"Jika kalian tak keberatan." Yugo tersenyum simpul.

"Astaga, apa yang terjadi di sini?" Seseorang melongokkan kepalanya dari jendela mobil. Mr. Cop bergegas keluar dan menghampiri kami. Memandangi fasilitas-fasilitas Panti Jompo yang telah hancur sementara penghuninya bertelekan di jendela.

Dia menggelengkan kepalanya dengan heran. "Aku ketinggalan apa?"

✖👽✖

"Siobhan, homerun!"

Aku berlari sekencang mungkin setelah bola baseball terpukul melambung jauh. Dengan tubuh yang kurus dan ringan, aku bisa bergerak dengan ringkas hingga tiba di base awal sambil terperosok. Setidaknya, nilai terakhir itu menjadi tanda kemenangan kelompok kami. Semuanya bersorak dan saling melakukan kompak.

"Kerja bagus!" Yugo beradu tos tinju denganku. "Kau semakin mahir."

"Sudah sejak lama," aku tertawa sombong, "aku hanya cuti. Kau tahu, setelah aku dibenci semua orang."

"Itu masa lalu. Toh, sekarang kau sudah tidak anti sosial lagi." Yugo melemparkan botol air padaku.

Aku menangkapnya, "terima kasih," dan duduk di deretan bangku pemain. Di atas sana penonton masih ribut bersorak-sorai menunggu permainan selanjutnya. Pagi menjelang siang itu cukup cerah. Ketika kulihat awan-awan berarak menggumpal, membuatku ingat sesuatu.

"Vaughn Newton sungguh alien, ya?"

"Masih berpikir itu mimpi?"

Aku tertegun. "Kau juga alien?"

"Tentu." Yugo tertawa kecil. "Kau masih penasaran kenapa dia bisa tahu kau tidak populer di Booky-Ooh?"

"Ya, maksudku, itu seperti gila."

"Nah, Siobhan, Vaughn Newton adalah pencipta Booky-Ooh. Kami para penduduk Uranus telah banyak berperan serta dalam kehidupan internet kalian tanpa kalian sadari. Gerakan pemerintah Uranus memang sangat halus, barangkali kita akan terkejut ketika militer mereka sudah ada di depan mata."

Aku nyaris menyemprotkan air dari mulut. "Alien yang membuat Booky-Ooh?"

"Ya, kenapa tidak?" sahut Yugo enteng. "Kau sudah memiliki berapa karya? Berapa pengikut?"

"Apa harus menanyakan itu? Karena jawabannya sudah jelas nol. Meski, yah, ada satu pengikut anonim yang akunnya sudah tidak aktif."

"Akun itu aktif."

"Bagaimana kau tahu--" aku termenung dan tercengang, "--apa kau ...."

Yugo tertawa puas. "Tentu saja, Siobhan Bark. Penulis terteruk sepanjang masa yang tidak punya pengikut dan pembaca selain alien dari Uranus."

✖👽✖

February, 12 2021
22.15 pm.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro