Remake the Bound
WANITA ITU mengintip dari celah pintu balkon, seorang anak perempuan sedang bertopang di pagar kayu. Margareth selalu mengharapkan seorang anak perempuan, tapi hingga sekarnag hanya ada Furn dan tak akan ada lagi siapa-siapa. Apalagi, anak perempuan yang ini begitu cantik, seolah-olah dia itu puteri raja yang tersasar ke hutan dan merindukan perjamuan makan malam.
"Paris ...," panggil Margareth yang kemudian bergabung dengannya. "Kau sedang galau memikirkan rumahmu?"
"Tentu saja," rengut Paris.
"Ayo, makanlah dulu. Sejak kemarin kau belum makan apa-apa."
"Tapi, makanan kalian aneh!"
"Kupikir makanan kita sama? Temanmu yang satu itu lahap sekali, dan tampaknya tidak keberatan."
"Itu karena dia juga aneh! Seperti makanannya."
"Baiklah, ini, aku buatkan roti manis. Hanya adonan tepung, kok. Tidak lagi memakai daun serai atau rumput segar." Margareth menyodorkan sepiring roti yang utuh, empuk, hangat dan mengepulkan asap.
Paris seperti tak mampu menahan, perutnya langsung keroncongan. Padahal, selama ini, hal itu tak pernah terjadi. "Tanpa dadih, 'kan?"
"Ya, ya, tentu saja. Aku juga tidak mau kau muntah lagi seperti tadi malam."
Paris dan Margareth duduk di bangku panjang balkon, menyantap roti (tanpa selai karena di rumah emreka hanya ada selai daun maple), sambil memandangi ladang tempat ayah Furn biasa bercocok tanam. Tapi, sejak kemsrin, dia belum pulang dari berburu. Entah mengapa lama sekali.
"Bagaimana sekolahmu?"
"Anak-anak menyebalkan, mereka sangat berantakkan dan tidak teratur. Anda tahu, Nyonya? Mereka bermain rugbi sampai seragamnya kotor semua. Jadi, aku menghentikan permainan itu untuk menyemprot mereka dengan parfum anti septik. Tetapi, mereka malah marah."
"Tidak seharusnya mereka marah, kau, kan, hanya ingin membantu."
Paris terkejut. "Benar! Anda benar sekali, Nyonya Margareth! Oh, akhirnya ada yang mengerti aku."
"Tapi, menyemprot mereka setelah pertandingan saja. Mungkin mereka bakal tidak marah dan berterima kasih."
"Aku tak tahu, tapi, yah, akan kucoba. Omong-omong, Anda pandai sekali memasak. Roti ini snagat lezat!"
"Sungguh?" Margareth tersenyum snenag. "Kalau begitu, aku akan memasak roti terus saja."
🌗
Hari semakin mendung, dan Furn sudah berkali-kali memperingati Rowenea yang masih jalan membungkuk di sekitar semak.
"Ayo, Ibu pasti sudah menunggu," kata Furn lagi.
"Sebentar, Anak Hijau. Sepertinya, tadi aku melihat Abraham Lincoln."
"Siapa itu?"
"Caterpillar gaul milikku."
"Bagaimana wujudnya? Kuharap bukan yang gendut hijau, karena itu sudah kami goreng."
Rowenea sampai tersandung--buru-buru bangkit dan menghampiri Furn. Mengguncang kerah baju hijaunya. "DI-GO-RENG?"
"Ya, kenapa tidak? Rasanya sangat gurih dan asin."
Mata Rowenea langsung membulat. Dia tak pernah merasa sesakit hati itu. Ulat pertama yang berteman dengannya, yang sudah ia sayangi seperti adiknya sendiri, sudah tewas dimakan Keluarga Sayur. Mengapa dunia begitu kejam?
"Hei, hei, jangan sedih." Furn mengacak-acak rambut auburn milik Rowenea dan membungkuk sedikit untuk menyejajarkan wajah mereka. "Ayo kita cari yang lebih baik dari Abraham Lincoln."
Mereka sudah menjelajah sangat jauh dari rumah, masih di stepa rumput itu, tetapi nyaris menyentuh tepian hutan. Dan tidak ada satu pun ulat yang menyerupai Abraham Lincoln. Yang terjadi adalah mereka menemukan mayat burung murai sedang digerogoti oleh Ghyen, anjing hijau milik Furn.
"Ghyen! Anjing nakal. Sejak kapan kau berhenti jadi herbivora?" diangkatnya anjing kecil itu yang kemudian mencicit-cicit. Rowenea tidak suka anjing, mereka berliuran dan selalu kepanasan.
Gemuruh langit terdengar, dan tepat ketika guntur pertama meledak, setetes air hujan dingin jatuh di pangkal hidung Rowenea.
"Furn! Hujan!"
Anak perempuan itu berlari di antara rumput hijau sebelum Furn mengangkatnya di depan, sedangkan Ghyen berpegangan di kepala Furn. Rowenea terkaget-kaget karena dia digendong seperti anak bayi.
"Aku bisa lari sendiri!" gertaknya, persis bayi lapar yang ingin bubur jagung.
"Tidak akan keburu kalau kita hanya lari," kata Furn. Mendadak dia memejamkan mata dan seketika itu juga mereka semua telah berpindah ke teras rumah. Lalu, hujan mengguyur deras.
Rowenea langsung turun dan memegangi wajahnya. "Apa yang barusan terjadi? Aku bertelportasi dan maish hidup?"
"Tenru saja hidup, memangnya bisa mati?" Furn menggaruk kepalanya yamg tidak gatal. "Ayo, kita bantu Ibu siapkan makan malam. Ghyen, berhenti menggalaukan burung murai itu. Kau tetap harus makan brokoli."
"Tapi--" Rowenea berbalik dan melotot, "--teleportasi!? Sungguh? Bagaimana bisa?"
"Semua anggota keluarga kami bisa. Itu hal wajar, kok."
🌗
Beberapa hari telah Paris dan Rowenea lalui di rumah keluarga Furn. Paris sering mengobrol dengan Margareth, menemukan banyak kesepahaman pola pikir ala ibu rumah tangga. Sedikit-sedikit, mereka sudah bagaikan ibu dan anak. Sementara Rowenea selalu membantu tugas rumah Furn, seperti mencari kayu bakar, menggarap ladang, memeriksa ternak di kandang, dan banyak hal lain. Kadang mereka bermain petak umpet dengan Furn yang selalu menang (dia bisa teleportasi), atau bermain layang-layang, atau lempar piring bersama Ghyen.
"Aku ingin selamanya begini, Furn! Tidak ada PR, atau ceramah Mr. Hawking, atau lagu-lagu lawas yang Nenek dan Kakek setel di ruang tamu."
"Kupikir, anak sekolah atas sudah tidak suka bermain karena merasa kalian sudah bukan anak kecil lagi," tutur Furn ketika melempar piringan.
Rowenea melompat untuk menangkap piringan. "Yah, kebanyakan begitu. Mereka snagat membosankan. Setiap waktu hanya membicarakan pacar, tempat nongkrong, artis terkenal, popularitas di instagram ...."
"Kau sendiri? Kau kan, lebih tua dariku," lanjut Rowenea. "Kenapa mau main?"
"Memangnya, permainan ini dibatasi umur tertentu?" Furn tertawa. "Ini hanya bersenang-senang, Ro."
"Kau snagat benar!" Rowenea melenpar piringan dnegan sangat kuat sampai-sampai terlempar jauh sekali dan hilang di balik semak. "Maaf! Akan aku ambil!" serunya sambil berlari.
Funr masih menunggu di depan pekaeangan rumah, memperhatikan Rowenea dari jauh. Tapi, ketika dia melihat daun pohon yang berkersak-kersak, tepat di atas Rowenea yang tengah menyusuri semak, Furn segera berpindah ke sana dan menarik Rowenea--
Sesosok makhluk tinggi dengan otot kekar baru saja akan melintas dan nyaris melindas Rowenea kalau Furn tidak bergegas. Dia mendengus. Wujudnya seperti manusia, namun besarnya dua kali lipat dan berwarna hijau--tidak seperti Furn dan Margareth yang masih agak normal dnegan kulit krem.
Furn bergumam, "Oh, kau, Brock Brick."
Brock Brick meraung. "Di mana Rupert Green?"
"Dia masih berburu," sahut Furn. Di sebrlahnya, Rowenea masih terbelalak kaget. "Belum pulang sejak sepekan."
"Apa itu di sampingmu?" Brock Brick mendelik penuh selidik.
"Ini Rowenea," jawab Furn berushaa tenang.
"Apa dia anak manusia?"
"Bukan. Dia--"
"Hei, sudah kubilang aku ini anak manusia--bukan anak kudanil!" Rowenea menyikut Furn. "Kau ini bsgaimana, sih?"
Mendadak, Brock Brick meraung. "KENAPA BISA ADA ANAK MANUSIA? Penjagaan kalian sangat tidak becus! Ke mari kau, anak manusia! Ke mari!"
Tepat sebelum Brock Brick menerjang, Furn sudah membawa Rowenea berteleportasi ke rumah, muncul di depan Margareth dan Paris yang sednag merajut dan mengobrol.
"Cepat! Mereka harus segera pergi, Bu!" seru Furn sambil mengobrak abrik laci lemari, mencari kunci.
Margareth tersentak. Dia segera melepas rajutannya, membuka papan kayu lantai dan menarik sebuah kendaraan ke luar. Sebuah motor dnegan dua kemudi berdampingan."Cepat naik!" serunya.
Paris dan Rowenea terkesiap. Seperti diatur intuisi, mereka naik dan segera mengenakan helm yang diberikan. Furn memutarkan kunci pada lubangnya hingga motor itu menyala. Sedangkan ruangan Brock Brick semakin dekat.
"Kalian tembus saja rawa ilalang itu, jangan berhenti, pasti akan tiba di trek," tutur Margareth.
"Tapi, suara apa itu? Ada apa ini!?" Paris mulai panik. "Buaknkah kalian tidak tahu jalan ke luar dari sini?"
"Kami tahu," pungkas Furn. Margareth menunduk, tampak kecewa. "Tapi, kami hendak menjadikan kalian sebagai bibit tanaman Ayah ketika dia pulang. Maafkan kami."
"Kau--apa!?" Rowenea mencengkeram rambutnya sendiri. "Kau hendak membunuh kami!?"
"Maafkan kami, kami sedang kekurangan makanan. Tapi, sejak Paris mengenalkanku pada roti, kami akan baik-baik saja," Margareth menggenggam kedua tangan Paris, "sekarang, pergilah. Brock Brick sangat suka memakan anak manusia yang berhasil masuk perangkap kami."
Rowenea dan Paris bergidik ngeri--dan tepat kemudian, pintu rumah didobrak hingga hancur. Brock Brick meraung. "Kenapa kalian menyembunyikan mereka dariku!?"
"Pergi, pergi!" Furn menepuk pundak Rowenea--yang langsung memutar gagang kemudi, menggas motor sekuat tenaga bersama Paris.
Motor itu melaju menyerempet Brock Brick dna menghancyrkan dinding rumah yang lain, roda besarnya berpurar seceoat kilat seilah-olah mereka sedang di arena balap. Rowenea dan Paris menjerit bersamaan ketika mereka menabrak rawa ilalang dan terguncang-guncang dj jalan tanah becek berlubang. Motor itu terus menerjang segalanya hingga pada gas terakhir, motor tersandung gundukkan tanah dan terbang seperti atraksi jalanan, kemudian terhempas dengan selamat di jalan setapak hutan. Jeritan Rowenea dan Paris baru saja berhenti dan terganti oleh napas yang tersneggal-senggal.
Wajah Paris pucat pasi, jantungnya berdegup-degup. Rowenea masih terkaget-kaget, dia menghentakkan kaki di tanah dan berkata, "sudah kubilang dari awal, kita pinjam motor mereka saja. Kau tak oercaya mereka punya motor."
"Siapa yang tahu!?" ketusnya. Dia tururn sdari motor dan melepas helm, meletakkannya di jok. "Jadi bibit tanaman! Apa-apaan. Mereka itu sebenarnya apa!?"
"Keluarga Sayur, tapi karnivora," celetuk Rowenea. "Padahal aku sudah senang bisa berteman dengan Furn!"
"Kenapa mereka kejam sekali!?" Paris masih mengomel sambil mondar-mandir. "Pura-pura baik."
"Tapi, sepertinya mereka memang baik, Par," kata Rowenea. "Kalau tidak, mereka pasti membiarkan kita dimakan Brock Brick atau tetap bertahan menyembunyikan kita hingga mereka santap. Tapi, mereka membebaskan kita."
"Tapi, tetap saja ...." Paris menyentak. Hatinya masih kacau, ia sangat kecewa karena sempat ditipu seorang wanita yang sudah menjadi sobatnya, yang paling mengerti dirinya.
"Hei, apa itu Rowenea dan Paris?"
Anak-anak karyawisata hendak berjalan pulang dan menemukan dua teman mereka yang telah hilang. Mr. Hawking maju ke depan untuk memastikan. "Kalian ke mana saja selama satu jam? Anak-anak sudah belajar banyak dan mencatat, sedangkan kalian bermain motor-motoran."
"Satu jam!?" Rowenea dan Paris saling pandang kaget. "Kami telah pergi selama sepekan!"
"Sudah, jangan meracau," tukas Mr. Hawking. "Sekarang, kalian punya tugas tambahan. Anak-anak, ayo kembali bergerak!"
Rombongan itu kembali berjalan, melintasi Paris dan Rowenea yang masih kebingungan. Tapi, keduanya tetap mengikuti arahan dan kembali ke perkemahan. Di perjalanan, Paris tiba-tiba mengingat sesuatu.
"Hei, bukankah aku pergi bersama Kiscke?" gumamnya.
"Benar!" celetuk Rowenea. "Ke mana dia? Tidak mungkin, 'kan, kalau Kiscke ...."
Ketika Mr. Hawking berseru-seru memanggil Kiscke dan teman-teman mencarinya, Rowenea dan Paris menegang.
🌗
"Ya ampun, rawa ilalang ini aneh sekali," gerutu Kiscke. "Paris! Di mana kau?" dia terus berjalan hingga keluar dari sana dan menemukan sebuah tanah lapang yang sangat luas. Sebuah stepa rumput membentang seperti lapangan bola di tengah-tengah hutan tusam. Tapi, yang paling aneh adalah rumah tunggal yang tegak di pusatnya.
"Mungkin orang di sana melihat mereka," gumam Kiscke. Anak lelaki itu meneruskan perjalanan hingga mengetuk pintu rumah misterius itu ....
🌗
Februari, 21 2021
23.16 pm.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro