Itsy Bitsy Spider in My Room
"AAAAAH!"
Seisi rumah terguncang akibat jeritan dari lantai atas. Seekor kolibri tersedak ketika hendak mencuit, Tuan dan Nyonya Ombrey terlompat dari kasur nyaris terguling jatuh, dan Kakek Tunisia terpelset saat sedang menyiram bunga di pekarangan. Pagi itu agak rusak.
Tuan dan Nyonya Ombrey tergopoh-gopoh menyelonong masuk ke kamar puteri mereka. Dilihatnya sang anak terduduk di kasur: tampang ketakutan, sprei menggemul di lantai kabin, dan bantal yang berhamburan.
"Ada apa!?"
Tak sampai sedetik, Coralene menangis tersedu-sedu. "Aku dicium laba-laba."
🐾🐾🐾
Keesokan hari ketika langit minggu masih bersemburat merah muda, Coralene membuka matanya. Lamat-lamat tampak seuntai benang nilon menggantung di antara batang hidungnya. Anak itu mengernyit, dan semakin tampaklah wujud indigo di pangkal benang: seekor laba-laba.
Napas Coralene tercekat. Ia beringsut mundur, namun punggungnya sudah memepet kepala ranjang. Coralene bisa melihat dengan jelas: laba-laba itu menatapnya. Laba-laba menatapku, pikir Coralene. Seolah-olah ada roh sungguhan di dalam tubuh mungil itu. Ada netra roh yang memandangnya balik dengan penuh rasa penasaran.
"Laba-laba kecil," ia menelan ludah dan mulai bersenandung, "memanjat pipa air."
"Hujan turun, menggelincir laba-laba ... matahari timbul dan mengeringkan hujan. Dan laba-laba kecil memanjat pipa air ...."
Mata besar Coralene membelalak sampai-sampai bisa mencelat keluar. "Kau bertepuk tangan!" pekiknya sekencang mungkin. Anak itu tidak berbohong. Kedelapan kaki laba-laba itu memang saling berpukulan satu sama lain. Memberikan aplaus tidak pelit-pelit.
Coralene menggulingkan badannya turun dari kasur dan berlari ke kamar Tuan dan Nyonya Ombrey. Ia berteriak-teriak entah kegirangan atau ketakutan. "Papa! Papa! Mama! Mama! Pama! Mapa!" lidahnya bahkan sampai bersilang terikat.
"Ya Tuhan, apalagi, Sayang?" Nyonya Ombrey mendesah berat. "Sekarang baru pukul setengah enam pagi--ya ampun, tenang dulu."
"Laba-laba Kecil mendengarku bernyanyi! Ia SUNGGUH mendengarku bernyanyi, Mama!"
"Benarkah? Bagus, kalau begitu. Sekarang kembali ke kamarmu, ya?"
"Dia bisa tepuk tangan, Mama! Tepuk tangan SUNGGUHAN!"
"Nah, itu suatu hal yang baru."
Tapi, Coralene tidak puas dengan tanggapan setengah sadar dari mamanya. Ketika ia sudah masuk sekolah setelah menghabiskan liburan (untuk membahas tepuk tangan-serangga-penghasil-jaring), Coralene menyeret sahabatnya, Lichera, ke taman (Coralene mengusir Jimmy dari ayunan agar Lichera bisa duduk) dan memulai kisah pengalaman anehnya.
"Laba-laba Kecil di rumahku punya gelagat seperti manusia," kata Coralene.
"Wow!" Lichera terkejut dengan tulus karena ia MEMANG percaya kalau binatang-binatang sejatinya adalah manusia berdosa yang dikutuk. "Apa kamu ajak ngobrol?"
"Belum." Coralene menggeleng sampai rambut cokelatnya bergoyang seperti ombak-ombak pendek di bawah telinga. "Idemu brilian, Lichie! Malam ini menginap saja di rumahku."
"Sayang sekali, Cora." Lichera menunduk lesu. "Keluarga Paman Jonas akan berkunjung, dan aku harus ADA untuk menyambut mereka."
Coralene ikut murung. "Ya sudah, enggak apa-apa. Kalau Laba-laba Kecil muncul lagi, bakal kuajak menginap."
🐾🐾🐾
Menjelang tengah malam, Coralene tidak bisa memejamkan mata barang sekejap. Ia terlalu gugup. Bagaimana jika Laba-laba Kecil datang dan berpesta di wajahnya lagi? Bagaimana jika makhluk itu membawa kawanan dan sanak saudara? Coralene menjerit tertahan dan menyusup ke dalam selimut. "Gerombolan laba-laba," gumamnya.
Ia tepekur sesaat sampai sebuah suara ketukan menjeda detak jantungnya. Siapa yang berkunjung tengah malam? Coralene mulai berpikir hal-hal seram seperti kuda poni vampir atau pohon kacang.
Tapi, bukan itu yang terjadi. Karena, kuda poni dan pohon kacang tidak bisa bicara. Yang ini, bicara.
"Coralene! Coralene!"
Coralene menggigit bibir. Ia mengintip di balik selimut dan melotot ketika seorang anak menggantung di depan jendela: bergelayut di seutas tali putih yang terbuat dari benang-benang nilon halus. Ia berpegangan sebelah tangan ketika mengetuk kaca jendela.
Coralene melesat membuka gerendel tingkap dan mengulurkan tangan. "Cepat! Sebelum kamu jatuh!"
Kemudian, hup! Sang anak misterius menyambut tangan Coralene sehingga keduanya jatuh mengempas lantai. Angin berebutan masuk dan melambai-lambaikan gorden.
"Coralene, aku bisa bertemu denganmu!" seru anak itu masih dalam posisi menopang tubuhnya di atas Coralene.
"Tapi, kamu siapa?"
"Aku Laba-Laba Kecil."
"Tapi, Laba-Laba Kecil, kecil. Dan--dan gundul, enggak punya jari tangan, dan--dan enggak pakai sweter ...."
"Itu cahaya aneh yang menyihirku!"
"Tapi, tetap saja kamu bukan Laba-laba Kecil?"
"Aku tidak bohong, Coralene. Nyanyikan lagi lagu tentangku!"
"Tapi, pertama-tama kau harus menyingkir dariku dulu!"
"Oh, maaf!"
Kedua anak itu pun duduk dengan normal, seperti dua anak kelinci setelah lomba lari mengejar wortel. Laba-laba Kecil-yang-adalah-anak-laki-laki itu menyengir, hingga giginya yang kecil putih dan pipi yang merona hangat tampak lucu. Rambutnya indigo, seperti warna memang laba-laba. Namun, matanya hanya dua dan semerah delima. Itu agak membuat Coralene takut meskipun memesona.
"Kenapa laba-laba bisa berubah jadi anak manusia?" tanya Coralene. "Cahaya apa?"
"Enggak tahu, Coralene," katanya. "Aku hanya sering atraksi di jendela, berputar pada benang-benang protein keren yang kubuat. Kamu mau lihat? Oh, tunggu. Alat untuk membuat itu enggak ada, namanya abdomen belakang. Di mana, ya?"
"Kamu kan anak manusia, bukan laba-laba. Enggak ada tubuh laba-laba di tubuh manusia."
"Benar, Coralene!" anak lelaki itu berdiri memegangi kedua tangan, wajah, dan kakinya, "tanganku hanya ada empat! Tadinya delapan, dan tadinya apa pun yang kulihat ganda."
Coralene teringat buku dongeng anak yang pernah dia baca. "Kamu pernah dengar kata Inger Hangerup? Sungguh menakjubkan menjadi seekor laba-laba. Sepanjang hari ia merajut dengan segulung benang yang ada dalam dirinya. Apakah semenyenangkan itu?"
"Ya, itu menyenangkan," si anak-lelaki-yang-tadinya-laba-laba duduk di kusen jendela, "tapi berubah agak bosan karena terlalu sering. Aku berpikir akan coba sesuatu yang baru ketika melihatmu bermain kereta api, bermain boneka, dan apa saja yang bermain. Merajut sutra seumur hidup bukan ide segar. Tahu-tahu ada cahaya dan aku nyaris jatuh dari benang kalau enggak kamu tangkap."
"Jadi, sekarang kamu bukan laba-laba. Namamu siapa?"
"Laba-laba enggak punya nama. Kami saling memanggil dengan sebutan warna. Selamat pagi, Hitam! Halo, Indigo! Hari yang cerah untuk naik pipa, ya, Merah!"
Coralene menderum sambil berputar-putar di karpet bundar Cinderella dan mengangkat jari telunjuknya saat sebuah ide terbersit. Dia bergegas menuju rak buku pendek warna-warni dan mengambil satu yang berkover keras-lebar. Sebuah ensiklopedia anak tentang serangga. Di sana ada bab animalia kelas Arachnida.
"Nah," Coralene tersenyum lebar, "sekarang, nama kamu Arachne!"
🐾🐾🐾
Nyonya Ombrey nyaris kena serangan jantung dan menyemburkan teh lemon dari mulutnya ketika pagi itu Coralene duduk di meja makan bersama seorang anak laki-laki sepantaran. Wanita itu mengucek matanya, mengerjap-erjap dan memijat pangkal hidung. "Halusinasi pertama untuk hari ini, Jane."
"Mama, ini Arachne. Dia laba-laba yang kubilang bertepuk tangan. Sekarang jadi anak manusia," kata Coralene dengan mulut penuh roti lapis keju. Sedikit remah selada menjadi bintik hijau di sudut bibirnya. "Arachne, ayo sapa Mama."
"Halo, Mama Kuning."
"Mama enggak warna kuning, Arachne. Itu hanya baju kerjanya."
"Halo, Mama Baju Kerja Kuning."
Nyonya Ombrey terhuyung menuju kamar dan menutup pintu sambil bergumam, "oh, tentu saja. Tentu. Aku harus minum satu pil lagi."
Coralene mengajak Arachne pergi ke sekolah, mereka berboncengan naik sepeda dengan Arachne yang terus tertawa melihat roda dan rantai yang berputar. Perut Arachne seperti tergelitik. Entah mengapa sangat lucu menurutnya.
Ketika tiba di pekarangan Bing Prep School yang luas dan memiliki arena bermain, Arachne menjadi sangat gembira. Kemudian mereka berjalan riang menuju kelas dan Arachne dengan mudah membuat banyak teman, tertawa sambil menggoyangkan kedua tangan Coralene, "enggak kusangka jadi anak manusia sangat seru. Lihat, mereka melakukan ini: goyang tangan!"
"Hei Arachne, kenapa matamu merah?"
"Bisa jadi dia kebanyakan makan saus tomat."
"Kamu tinggal di mana?"
"Apa kamu pernah ke Bulan?"
"Teman-teman, ada pesawat!"
Anak-anak berbondong-bondong ke sepanjang jendela di kelas 2-1, melongokkan kepala ke luar dan melambaikan tangan ke langit seolah-olah penumpang pesawat itu menyapa mereka. Arachne tidak sempat ikut, dia masih bengong di sebelah Coralene yang sedang menyiapkan kursi bersama Lichera.
"Siapa itu, Cora?" tanya Lichera.
"Itu laba-laba yang kuceritakan. Sekarang, dia jadi anak manusia."
"Benar! Ternyata memang benar!" Lichera tertawa gembira. "Aku sudah tahu kalau setiap hewan adalah manusia yang dikutuk. Pasti kutukannya hilang, Cora."
"Aku enggak tahu," Coralene tertawa geli, "tapi sepertinya dia memang laba-laba. Kamu benar laba-laba, kan?"
"Iya, tadi aku laba-laba," jawab Arachne sambil menyengir riang. "Sekarang anak manusia, aku senang jadi anak manusia."
🐾🐾🐾
Coralene baru saja naik ke rumah kayu dan hendak meluncur di perosotan, namun kakinya tergelincir sehingga ia jatuh dengan salah. Anak-anak mengerubunginya.
"Hei, apa kamu oke?"
"Sepertinya dia kesakitan."
"Coralene menangis!"
"Apa kita harus panggil Mr. Joseph?"
"Kenapa? Ada apa?" Arachne baru tiba setelah dia pergi menangkap bola kasti. Dia terkejut melihat Coralene menangis, meringkuk dengan lutut terluka. "Coralene! Apa yang harus dilakukan?"
"Cepat bawa dia ke ruang kesehatan!"
Arachne meletakkan bola kastinya di tanah semen dan menaikkan Coralene ke punggungnya sehingga lengan Coralene melingkari lehernya. "Coralene, ini cara laba-laba membantu teman." Dia bergegas menuju jalan yang diarahkan Lichera dengan tergopoh-gopoh karena ukuran tubuhnya dan Coralene sama-sama kecil. Mr. Joseph, wali kelas yang selalu membuka homeroom, terkesiap saat hampir bertabrakkan dengan mereka.
"Ya, Tuhan, ada apa?"
"Ada Coralene," kata Arachne sambil menurunkan Coralene di atas kasur. Lichera mengambil obat-obatan dan kain kasa dari lemari, mulai mengobati dengan telaten.
"Tunggu, kamu siapa? Saya belum pernah lihat," Mr. Joseph membetulkan kacamata bulatnya, "murid baru?"
Arachne berpikir sejenak. "Aku laba-laba."
Mr. Joseph melongo, lalu menggelengkan kepalanya. "Aduh, anak-anak. Selalu membuat pusing." Dia beralih melihat Coralene yang masih sesenggukan. "Tidak apa-apa, Ms. Ombrey, luka kecil akan membuatmu kuat. Omong-omong, apa kabar Tuan dan Nyonya Ombrey? Mereka jarang sekali ikut rapat pertemuan orang tua."
"Mereka ada di rumah, kadang di luar rumah. Tapi, aku enggak tahu karena aku di sekolah. Bagaimana aku tahu?" Coralene menyeka air mata terakhirnya dan menyusut ingus. "Mr. Joseph, ini Arachne, teman laba-labaku. Dia mau ikut belajar di sekolah."
"Oh," pria paruh baya itu berdeham, "apa orang tua atau walinya datang? Sebaiknya dia segera melapor pada Principle Brant, karena tidak ada murid ilegal di Bing Preps. Setelah aku mengajar, aku akan bantu."
Arachne duduk di sebelah Coralene sambil mengayun-ayunkan kakinya. Dia tak mengerti arti pembicaraan Mr. Joseph dan Coralene, tapi dia senang dia masuk ruang kesehatan. Ada alat-alat lucu seperti penimbang berat badan, pengukur tinggi badan, kerangka manusia, dan cairan infus. Menyenangkan sekali menjadi anak manusia.
Setelah bel sekolah berdering, pelajaran yang penuh tawa (karena Arachne selalu mengenalkan dirinya sebagai laba-laba dan dianggap sebuah guyonan) sudah usai. Sebuah kesedihan signifikan bagi Arachne yang senang dengan keramaian anak-anak di kelas ketika menyanyi, berhitung dan membaca. Ya ampun, Arachne merasa seperti akan meledak saking senangnya.
"Aku enggak bisa menyetir, kakiku masih sakit," kata Coralene.
"Aku yang menyetir," kata Arachne meskipun tidak tahu artinya, tapi mengerti bahwa Coralene belum bisa bergerak. Dia langsung duduk di sepeda dan membonceng Coralene, namun pada kayuhan pertama, mereka jatuh karena Arachne mengayuh ke belakang.
"Kayuh ke depan, kayuh terus, biar sepeda kita seimbang!" tutur Coralene. Dia memegangi pundak Arachne yang tegang seperti lucu karena akan mulai langkah pertama naik sepeda. Arachne menelan ludah, menggenggam setir dengan kuat dan mulai mengayuh, mengayuh hingga roda berputar dan berkendara di pinggir jalan. Dia bisa!
"Coralene, kamu hebat karena tahu cara naik sepeda!" Arachne terkagum-kagum. "Kamu tahu sendiri?"
"Enggak, aku diberitahu Papa!"
"Papa itu siapa?"
"Papa itu ...," Coralene tertegun sebentar ketika angin lembut menerpa rambut berombaknya, "... siapa ... ya?"
Untuk pertama kalinya, Coralene bingung.
🐾🐾🐾
February, 13 2021
21.20 pm.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro