Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Can you Guess the Proprietors?

APA kabar?

Belakangan ini kamu susah sekali dihubungi! Padahal, banyak hal yang mau Nenek ceritakan semenjak kembali ke Greenwich. Paling utama dan mendesaknya, perihal rumah Nyonya Magrinsen di Peterborough yang tempo hari sempat kita bahas itu.

Iya, dia wanita yang ramah bahkan setelah hidup sebatang kara seperti sekarang. Katanya, kamu boleh tinggal di sana sekalian merawat rumah kesayangannya itu--dedaunan Akasia sering rontok, katanya.

Rumah Nyonya Magrinsen memang tidak kurang dari satu, Cucuku Sayang. Tersebar di berbagai distrik, di beberapa pelosok atau dekat kota. Omong-omong, jangan berbangga dulu sebab kamu bukan orang pertama yang menempati rumahnya!

Anak itu sepantaran denganmu. Seingat Nenek--tiga belas tahun, bukan? Ah, Nenek kian hari kian pikun saja. Sungguh malang, karena ayahnya telah tiada dan ibunya pergi entah ke mana. Tidak pernah kembali sejak hari kelulusannya di SMP. Apa? Nenek tidak mengarangnya karena kebanyakan konsumsi drama India, dasar cucu bandel! Padahal, ia masih muda sekali. Nenek sudah mengirimkan fotonya di telegram mamamu.

Awalnya ia hidup terombang-ambing, entah menginap di rusun atau hunian. Kasihan sekali, menghidupi diri sendirian dalam kondisi masih sekolah sepertimu--yang sekarang pasti sedang menonton Pirates of The Carrabian. Apa? Bukannya Nenek ini cenayang, tapi kamu memang begitu.

Sekarang, setelah memohon pada Nyonya Magrinsen, yang adalah tetangganya dulu, akhirnya ia menetap di salah satu rumah. Kebetulan, itu adalah rumah yang juga ditempati Nyonya Magrinsen. Anak itu sangat berbudi pekerti--kamu harus banyak belajar darinya. Dia juga menjaga dan membantu Nyonya Magrinsen yang sudah renta.

Andai cucuku juga di sini merawat Nenek--eh, mungkin lebih baik tidak usah. Justru, nanti Neneklah yang mencucikan korduroi-korduroimu itu--jangan tertawa, dasar!

Beruntung sekali kamu diberi rumah gratis seperti ini--bahkan, Nyonya Magrinsen mempersilakanmu memakai sepeda milik mendiang anak semata wayangnya. Ada dua di gudang, nanti bersihkan saja. Jangan tersenyum pongah dulu, dasar! Si anak berbakti yang tinggal bersamanya itu saja diberikan motor--aduh, jangan berteriak panik begitu, Sayang! Alat bantu dengar Nenek berdenging!

Apa? Tiba-tiba kamu dimarahi gara-gara belum tidur? Aduh, ya sudah. Kita lanjutkan obrolannya besok saja, lagipula ini sudah larut malam. Nenek pengin sekali kamu bertemu dengan anak ini--ia pasti bisa menjadi contoh yang tepat bagimu si pemalas.

Sudah, bukannya kata-kata Nenek pedas. Tapi, yang Nenek katakan hanyalah kebenaran supaya kamu bisa berubah lebih baik. Iya, iya. Nenek tidak apa-apa di sini, ada kakekmu yang masih kuat--setidaknya, ia menghabiskan waktu untuk memelihara ikan hias. Iya, tidak apa-apa.

Selamat malam, Cucuku Sayang.

Rahangku jatuh bebas untuk beberapa saat, ketika memandang bangunan megah yang lapang dan indah di depan. Aku berdecak kagum, "rumah Nyonya Magrinsen yang terbaik."

Mengingat percakapan bersama Nenek kemarin, aku jadi penasaran bagaimana tampang si anak teladan. Apakah ia tipe gadis sederhana yang supel, atau gadis tegas yang tidak feminim sama sekali. Apakah ia lebih cantik dariku? Uh, kalau iya, pantas saja Nenek sangat senang padanya. Aku, kan, paling anti kalau tentang berdandan dan fesion.

Aku dan Mama menggeser gerbang masuk, melihat-lihat pelataran depan. Antik sekali. Tapi, pasti akan bagus kalau dibereskan sedikit. Cukup lama kami mengelilingi bagian luar kemudian masuk ke dalam. Tiba-tiba, aku ingat harus melihat penampakkan si anak teladan itu. Aku gemas sekali ingin tahu apakah ia lebih cantik ataukah tidak!

"Ma, pinjam ponsel sebentar?"

"Oh, jangan menelusuri wendigo lagi, Jean! Itu hanya mitos yang Ayah pakai untuk menakutimu dulu!"

"Bukan, Ma." Aku menarik-narik tepi blusnya. "Ada info penting!"

Mama menghela napas, "ingat, Jean. Kalau hidungmu memanjang, poster Pirates of The Carrabian di kamarmu Mama rendam dalam pemutih pakaian."

Aku mengangguk cepat dan menerima ponsel Mama seperti ganas, lantas merebahkan diri di sofa ketika debu-debu berterbangan. Aku bersin keras-keras dengan tidak feminimnya sampai Mama kembali mengomel tentang, "malang sekali siapa pun yang menjadi suamimu di masa depan!"

Aku terbahak-bahak sambil berkata, "aku tidak akan menikah seumur hidup!" dan membuka telegram dari Nenek. Jariku terus menggeser layar menyusuri percakapan-percakapan ibu-anak yang membosankan dan berhenti saat Nenek mengirim pesan,

Ini anak yang tinggal bersama Nyonya Magrinsen. Seumuran dengan Jean.

Aku menekan gambar tersebut, menunggu proses mengunduh beberapa saat, kemudian keningku berkerut. "Apa? Apa?"

Gambar itu dipotret di dalam mobil, dengan Nenek memegang kamera, seorang wanita tua berkacamata yang kuduga adalah Nyonya Magrinsen, lalu di sebelahnya ada anak laki-laki yang tersenyum tipis sekali seolah-olah hanya untuk menghargai tangan Nenek yang pegal mempertahankan swafoto.

Mana si gadis teladannya?

Aku segera menelepon Nenek dan bertanya tanpa jeda.

Dari seberang sana, Nenek tertawa. "Nenek kira kamu itu pintar, Jean! Walaupun pemalas, tapi diuntung dapat peringkat tinggi di kelas. Tentu saja satu-satunya anak di foto itu adalah dia! Masa wanita tua yang eksis dan masih kelihatan awet muda itu?"

"Nenek!" aku menegur karena ia lagi-lagi luput dalam memuji diri sendiri. "Anak laki-laki tidak mungkin berbakti pada orang asing hanya karena memberinya tempat tinggal!"

"Nah, cucuku yang ngotot, tidak semua laki-laki sama, kan? Alskavic adalah anak yang berbeda, percayalah."

Aku masih geleng-geleng, tidak tahu harus berkata apa. Walaupun, yah, ada satu hal yang membuatku agak girang: si anak teladan tidak lebih cantik dariku. HAHAHA.

Sial, tapi aku benci anak cowok.

Terlalu cepat sampai-sampai aku tersedak remah roti ketika mendengar kabar bahwa Magrinsen Ookaf meninggal karena penyakitnya kambuh. Di rumah sakit di Greenwich, tak jauh dari rumah Nenek. Tuhan dan Tuan Ookaf mungkin sudah merindukannya.

Pagi itu mendung, dingin, dan orang-orang berkabung di pemakaman Nyonya Magrinsen. Bisa dibilang, ini adalah kuburan paling ramai yang pernah kuhadiri--walau secara teknis, aku baru sekali mendatangi pemakaman seseorang. Ternyata, rasanya ganjil.

Nyonya Magrinsen memang orang berada, terkenal dan disegani; koleganya berkerumun di ujung, kawan-kawan sekolahnya dulu masih awet, bahkan sampai sahabat penanya dari Asia pun hadir. Dan jangan lupakan: para penghuni rumah Nyonya Magrinsen.

Setelah aku dan si Anak Berbakti yang selalu Nenek banggakan, beberapa kenalan baru Nyonya Magrinsen juga mulai menetap di beberapa rumahnya untuk memelihara. Hari ini, adalah hari di mana kami semua bisa bersitatap langsung. Bukan lagi hanya mengetahui keadaan lewat perantara mulut ke mulut orang lain yang terasa transparan.

Aku menyendiri di dekat pohon oak ranggas, bersedekap di balik mantel hitam. Napasku beruap sesekali, dengan jantung berdegup tidak normal. Bagaimana rupa orang-orang asing yang mengalami takdir sama denganku, yang harus menetap di rumah seseorang untuk mengurusnya? Apakah pola pikir mereka juga sedangkal pola pikirku? Siapa kira-kira idola mereka dari Pirates of The Carrabian?

"Tidak bergabung?"

Aku terperanjat, nyaris memekik kalau tidak ingat bahwa ini daerah kekuasaan mayat. Tidak ada jaminan kakiku aman dari tangan-tangan basah di dalam tanah. Aku memerhatikan biang kerok yang menganggu ketenangan jiwa itu: seorang anak laki-laki jangkung yang matanya zamrud terang seperti kucing di tengah malam. Lucu melihat rambut berombaknya yang mencuat-cuat berantakkan. Siapa pun orang bermantel dongker yang aneh dan kuno ini, dia tetaplah laki-laki dan pasti menyebalkan.

Aku memiringkan bibir. "Yah, ada beberapa aturan tentang bicara pada orang asing--seperti untuk tidak mengagetkannya."

"Oh, maaf?" ia menjulurkan tangan yang dilapisi sarung tangan rajut. Entah ia berasal dari abad ke berapa, tapi anak laki-laki dengan sarung tangan rajut di zaman ini kelihatannya konyol sekali. "Kupikir mengenalmu. Jean Turscent?"

Aku nyaris tersedak. "Alskavic?"

Ia tertawa renyah. "Senang sekali mendengarmu melafalkannya. Aksen british-mu fasih sekali." Kemudian aku menjabat tangannya yang menggantung kesepian.

"Ternyata kamu besar," cetusku.

"Maaf?" ia tersenyum geli. "Apa ada makna lain dalam bahasa Britanian dari kata besar?"

"Tidak, itu konyol." Aku menyingkirkan helaian rambut nakal yang menusuk mata. "Maksudku, di foto rasanya agak pendek--dan harusnya aku yang lebih tinggi bisa lebih keren."

"Bukannya itu setahun yang lalu? Lagipula, aku sedang duduk di mobil."

"Kamu tahu fotonya?"

"Sama seperti fotomu yang Nyonya Turscent perlihatkan padaku. Kalau tidak salah, waktu kelas tiga SMP saat berkemah di hutan Alamandar."

"Aduhai, Nenekku yang Tergaul Sedunia! Sumpah, deh," aku mengumpat habis-habisan. Tidak ada momen bagus di perkemahan musim semi hutan Alamandar. Kutekankan sekali lagi: TIDAK ADA.

"Jean," panggil Ayah dari dekat gerbang Ogregs Cemetery yang berkarat. Ia masih setia mengenakan syal bergaris safir sejak penerbangan pertama kami ke Greenwich semalam.

"Jadi, kamu mau bertemu ayahku?" bukannya aku mengatakan itu karena aku ingin. Kami berdua menghampiri pria tanggung itu.

"Ah, Mr. Turscent." Alskavic menyunggingkan senyum samar pada Ayah. Ia memang begitu. Akhirnya kami jalan bersisian bertiga, ketika Alskavic membuka payung karena gerimis mulai membasahi aspal. Ayah menggantikannya memegangi payung sebab ia kalah tinggi.

"Jadi, sekarang rumah Nyonya Magrinsen kosong?" tanya Ayah.

"Tidak, aku masih akan mengurusnya," jawab Alskavic. "Semua surat sudah dituntaskan sebelum beliau wafat."

"Tapi, bukankah kau masih anak sekolah menengah?" Ayah terkekeh heran.

"Tak masalah," kata Alskavic seenteng mungkin. Kami berjalan mendekati sebuah pekarangan rumah yang super luas dengan gerbang tinggi. "Nah, ini rumahnya."

"Pusat berkumpul para pemilik?" aku memandangi bangunan megah bercorak rumit itu. "Besok, ya."

"Iya," tanggap Alskavic, tersenyum samar. "Jangan terlambat."

February, 28 2021
21.47 pm.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro