01
[ N A R A T O R ]
Semuanya telah berubah karena satu kata,
Tidak.
Hanya karena perkataan itu, membuat banyak nyawa melayang, membuat tanah ini menjadi lautan darah, membuat tempat ini menjadi kelam, penuh dengan tangisan, raungan dan sumpah serapah yang di ucapkan oleh mereka, mereka yang kehilangan seseorang atau bahkan seluruh orang terkasih.
"Flavia." Suara seorang wanita paruh baya itu membuat gadis yang menadah kepalanya di pangkuanya menatap empunya suara dengan air mata yang sudah tidak dapat dibendungnya lagi.
"Ibu." Lirih gadis itu, wanita paruh baya itu menangkup sebelah wajah gadis itu dengan tangannya yang sudah bergetar dan penuh darah itu.
"Kau akan menjadi Luna yang hebat, kau akan menemukan kebenarannya, teruslah berjuang, mereka menunggu mu, apapun yang terjadi, teruslah berjuang." Ucap wanita paruh baya itu, sesaat kemudian, tangan itu terkuai lemas, air mata gadis itu semakin menjadi, ia meraung, mengucapkan kata kata, berharap ia dapat menghidupkan wanita paruh baya yang berada di pangkuannya.
Api membakar pepohonan, bau amis darah menyengat, membuat banyak genangan darah diatas tanah yang basah akan air hujan, hujan turun dengan deras, seakan menghetahui kemurkaan para empunya tanah yang di tutupi oleh arah, suara tangisan dibalaskan dengan suara guntur yang besar, seakan mereka ikut mengutuk akan apa yang telah diperbuat oleh para penyerang.
Belum sempat ia mengucapkan kata perpisahan dengan wanita paru baya itu, seseorang menariknya, membuat ia meronta, rambut ia ditarik, membuat badannya terseret diatas tanah, ia memandang wanita paruh baya itu, Ibunya, di angkat dan dilempar kearah kobaran api, Gadis itu meronta dan meneriakan nama Ibunya, pandangannya semakin menjauh, kobaran api itu kini hanya menjadi titik kecil seperti bintang.
Gadis itu mendesis saat, sesuatu menancap pergelangan kakinya, ia mengigit bibir bawahnya untuk menahan rasa sakit di pergelangan kakinya, karena ia tahu, siapapun yang menariknya tidak akan berhenti hanya untuk melihat lukanya.
Gadis itu dilempar kedalam sebuah ruangan, ia melihat sebuah pintu berjeruji besi, dan seseorang yang menariknya segera mengunci pintu jeruji besi itu, ia sendiri didalam ruangan itu, lantai yang tidak berkeramik itu basah, tubuhnya mengigil dan kakinya yang terluka berdenyut, ia menyandarkan dirinya ditembok, ia menutup matanya berharap bahwa ini semua hanyalah mimpi.
Ia menatap sebatang ranting sebesar dua jarinya tertancap di pergelangan kakinya, ia mendesis saat menggerakan kakinya, diruangan itu hanya terdengar suara tetesan air yang berasal dari tubuhnya.
Pintu jeruji besi itu dibuka kasar, dua pria berdiri dihadapannya, tetapi satu pria mencuri perhatian gadis itu, pria itu berbadan besar dan tegap, tubuhnya terlatih ssehingga otot-ototnya terlihat dibalik setelan jasnya, rambutnya tersisir rapih, terbelah dua di bagian tengah, matanya berwarna abu abu tua, tulang pipi dan rahang yang kuat.
Pria itu berjalan perlahan kearah gadis itu, ia berhenti dihadapan luka gadis itu, ia memegang kakinya, mendapatkan ringisan dari gadis itu, pria itu menatap sang empunya kaki.
"Apa yang terjadi dengannya?" Tanya pria itu, suaranya memancarkan betawa kuatnya pria itu, suara beratnya menggema didalam ruangan itu, pria lain yang datang bersamanya mengangkat satu alisnya.
"Apa pedulimu, Ia hanya-" Tidak sempat menyelesaikan perkataannya, ia terhempas kearah tembok dengan sebuah tangan mencengkram lehernya, cengkraman itu menutup aliran udara, kakinya terayun ayun diatas udara.
"Tutup mulut mu, ia pasangan ku, ia Mate ku!" Geram pria bermata abu abu itu, pria yang berada di cengkramannya itu menatapnya terkejut, pria bermata abu-abu itu segera melepaskan cengkramannya.
Ia berjalan kehadapan gadis itu, ia melihat tatapan terkejut darinya, pria itu mengerutkan dahinya, sesaat kemudian gadis itu menatapnya horor dan menggelengkan kepalanya dengan keras, pria itu ingin menyentuh wajahnya, tetapi gadis itu memalingkan wajahnya.
"Kau membuat ku kehilangan Ibu ku!" kata gadis itu penuh dengan kebencian, ia menatap pria didepannya, bagaimana bisa, seseorang yang membuatnya kehilangan satu satunya keluarga yang ia miliki.
"Aku melakukannya untuk kawanan ku," kata Pria itu dengan nada dingin, ia mengangkat tubuh gadis itu, sehingga gadis itu berdiri dihadapannya, gadis itu memberikan tatapan jijik, benci dan juga sedih,.
"Lepaskan aku, aku tidak sudi kau sentuh," desis gadis itu, tetapi pria itu mengencangkan pegangannya dipinggang gadis itu.
"aku berhak menyentuh mu distiap sudut tubuhmu." Kata Pria itu, ia memberikan tatapan keras.
"Aku berhak menyentuhmu disini." Ia menyentuh kening gadis itu dengan jari telunjuknya, "Disini." Matanya, "Disini." Pipinya, "Disini." Hidungnya, "Dan disini." Dan bibirnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro