Bab 1 || Al-Qur'an dan Ketenangan
Bersama-Nya adalah jalan menuju bahagia yang abadi, ketenangan yang baka dan eksistensi cinta yang nyata.
Gemerlap bintang malam ini tak lebih dari sekadar pengingat bahwa seindah apa pun sebuah objek, substansi, entitas, dan apa pun selainnya, tak akan pernah abadi kecuali sang pencipta. Bahkan langit malam yang membentang luas pun, barangkali pada akhirnya hanya akan berwujud menjadi abu yang beterbangan menuju tempat pulang pada yang dulu pernah membuatnya menjadi gagah. Bahkan kata Rumi, 'Dengan hidup yang hanya sepanjang tarikan napas, jangan tanam apa-apa kecuali cinta.'
Embusan angin malam ini berhasil membuat jilbab biru yang dikenakan gadis berusia enam belas tahun yang tengah duduk di gazebo kayu itu sedikit berkibar. Sesekali dinginnya malam merasuk ke tulang, tapi ia tetap berada di sana dengan perasaan yang masih ragu dan rancu perihal esok yang tak diketahui bagaimana cara menerima dengan ikhlas.
Kamila. Begitu orang-orang memanggilnya. Walaupun ia tak se-Kamila namanya barangkali kelak akan menjadi doa walau entah apa yang sempurna, karena yang ia tahu hanya yang telah menciptakannya lah yang sempurna. Namun, dia selalu berterima kasih pada yang telah memberikan nama. Abi. Yang telah membuatnya berhasil sadar bahwa kehidupan yang tengah dilalui hanya sementara.
"Mila, kamu belum tidur, Dik?" suara panggilan itu berhasil membuat lamunan Kamila buyar. Dilihatnya seorang laki-laki bertubuh jangkung berusia tujuh belas tahun, baru saja keluar dari pintu rumah yang sekarang tengah berjalan ke arahnya.
Kamila mengembuskan napas setelah Ghiffari—kakaknya, mulai bergabung duduk di sebelah. Di taman rumah yang berada di sebelah timur bangunan biru yang tak terlalu luas itu.
"Besok gimana ya, Kak? Mila belum siap pindah sekolah. Mila tahu abi getol banget sama keputusannya, tapi kadang-kadang abi nggak mau ngerti Mila." Gadis itu menunduk saat perasaan ragu masih betah bertengger pada hati. Sejauh ini apa yang dilakukan abi memang selalu benar dan selalu berakhir dengan baik, tapi mengingat sekolah yang akan dikenyamnya besok adalah SMA biasa, membuat keberanian Kamila kian menciut. Ia khawatir terhadap probabilitas seorang siswa dan siswi yang tak memiliki peraturan penuh seperti pesantren.
"Biasa aja kali. Gue hampir tiga tahun di sana baik-baik aja. Nggak ada Shinigami di sana jadi nggak usah khawatir," kata Ghiffari yang sekarang tengah memperhatikan adiknya.
Kamila mengangkat kepala seraya mengercutkan bibir sedikit kesal dengan jawaban yang terlontar dari mulut kakaknya. Ah, Ghiffari memang seringkali tak bisa diajak berdiskusi dengan serius.
Gadis setinggi 155 itu mengalihkan pandangannya ke sebuah pohon mangga yang berada lima meter di depannya seraya meloloskan napas pelan. Selama ini apa pun perintah Hasbi—ayahnya, tak pernah dibantah. Namun, Kamila rasa ada sesuatu yang salah saat Hasbi membuat keputusan sepihak kali ini. Pindah dari Islamic Boarding School ke SMA Bintang yang telah memiliki label International. Sekolah elit yang berada di kota. Gadis penyuka malam itu jadi bertanya-tanya apa hanya karena sebuah label, Hasbi menjadi tertarik dengan sekolah Ghiffari saat ini?
"Kalau tahu begini Mila lanjut hafalan aja ya, Kak. Nggak papa deh Mila pindah pesantren di luar Jawa juga," lirih Kamila.
Ghiffari mengernyitkan dahi mendengar penyesalan sang adik. Sebelumnya Kamila tak pernah seperti ini. Perempuan itu selalu percaya diri dan yakin, tetapi malam ini sisi lain dari Kamila berbicara. "Kalau mau lanjut hafalan ntar kita cari guru aja. Sekarang kamu tidur. Besok sekolah," titah Ghiffari.
"Lagian, harus ya hafal Quran? Banyak kok orang Islam yang nggak hafal, biasa aja. Apa semua yang abi kuasai kamu juga harus kuasai?" tanya Ghiffari. Kakaknya itu kerapkali berbeda pemikiran.
"Kelak, aku cuma mau memakaikan mahkota buat Abi dan Bunda," lirih Kamila.
"Dan lagian Kakak pasti tahu kalau aku nggak terlalu mahir dalam pelajaran umum. Aku lemah, Kak," lanjut Kamila. Betapa ia tahu tentang kemampuan dirinya dalam pelajaran umum yang terkadang sulit dipahami.
"Nggak semua anak IPA bisa Fisika, Biologi, Kimia. Nggak semua anak IPS mampu Geografi, Sosiologi, Ekonomi. Nggak semua anak Bahasa mahir Sastra Indonesia, Sastra Inggris, Antropologi. Semua manusia memiliki kadarnya masing-masing. Kamu harus paham dan tugasnya adalah belajar," tegas Ghiffari.
"Kakak yakin dengan kemampuan. Asal kamu belajar sungguh-sungguh kamu pasti mampu. Jangan mengeluh. Kamu mampu menghafal Imrithi¹ berarti kamu juga bisa dong mengaplikasikan rumus dengan baik. Setahu Kakak ilmu alat² pun berakar, kan? Jadi apa bedanya dengan Matematika? Kalau kita belajar sungguh-sungguh pasti bisa. Intinya ada pada proses." Ghiffari hanya tak mau Kamila mengeluh tentang sebuah kekurangan.
"Iya Kak, tapi nggak semudah itu," tampik Kamila.
"Dulu waktu Kakak kecil dan malas belajar, Abi cerita tentang Ibnu Hajar Al-Atsqalani. Katanya dulu Ibnu Hajar santri yang bodoh, ia belajar sama Kyainya selama bertahun-tahun tapi tetap nggak bisa membaca dan menulis. Sampai akhirnya Ibnu Hajar putus asa dan pamit pulang, lalu kyai berpesan padanya agar jangan sampai berhenti belajar.
"Tetapi di tengah perjalanan hujan turun, kemudian beliau berteduh di dalam gua dan mendengar suara gemercik. Ibnu Hajar mendatangi sumber suara dan melihat gemercik air yang netes di bongkahan batu besar. Bongkahan itu berlubang karena bertahun-tahun kena tetesan air. Bersamaan dengan itu Ibnu Hajar berpikir, bahwa batu yang kokoh saja bisa berlubang karena tetesan air, kenapa aku kalah dengan batu? Padahal pikiran dan akalku tak sekeras batu. Berarti aku hanya kurang lama dalam proses belajar. Setelahnya Ibnu Hajar nggak jadi pulang dan balik ke pondok. Beliau belajar dengan tekun sampai akhirnya berhasil menulis banyak kitab."
"Tumben Kakak tahu cerita para alim terdahulu." Kamila sedikit terkejut.
"Ya itu satu-satunya yang gue inget," sahut Ghiffari.
"Tapi Kak, walau begitu—"
"Okey, besok belajar bersama. Yang penting sekarang kamu tidur, besok jangan telat!" potong Ghiiffari.
"Iya Kakak bawel," sahut Kamila seraya berdiri dari duduknya.
Ghiffari tersenyum setelah ikut bangkit kemudian meletakkan tangannya di bahu Kamila. "Kalau Kakak udah nggak bawel, berarti Kakak udah nggak sayang sama Kamu."
Kamila mengulum senyum manis memamerkan lesung pipitnya.
👣👣
Pagi ini langit terlihat begitu cerah seolah-olah ikut menyambut kebahagiaan yang terjadi hari ini. Namun kata kebahagiaan masih terdengar ambigu bagi Kamila yang tak berhasil menghilangkan perasaan rancu. Semalaman ia tak bisa tidur hanya karena memikirkan sesuatu yang belum terjadi. Padahal Kamila selalu mengingat surat Ghafir ayat 60 Allah berfirman, ud'unii astajib lakum. Berdoalah kepada-Ku niscaya akan Kuperkenakan untukmu. Namun, menurutnya pengabulan doa pun seringkali berproses.
Setelah memakai seragam putih yang dipadukan dengan rompi cobalt kotak-kotak bergaris hitam serta rok panjang yang senada dengan rompi khas SMA Bintang pada hari rabu serta dilengkapi jilbab putih syar'i, ia mulai menuruni anak tangga satu per satu menuju meja makan yang kini sudah diisi Ghiffari dan seorang wanita berusia sekitar 38 tahun yang tak lain adalah bundanya. Aisyah. Di antara mereka tak ada Hasbi, karena laki-laki asli Iran itu memutuskan untuk menjadi Dosen di salah satu Universitas Islam Brunei dan menjadikannya jarang sekali pulang selain bulan ramadan atau bulan-bulan libur tertentu.
Dalam posisi seperti ini seharusnya Ghiffari dapat menjaga Kamila dan Aisyah, menggantikan Hasbi. Namun lagi-lagi ia ragu tentang kemampuannya sendiri.
Kamila tersenyum setelah duduk di depan Aisyah, di sebelah Ghiffari yang hendak sarapan dengan nasi goreng buatan bunda. Selama makan tak ada yang berani berbicara, baik Kamila maupun Ghiffari hanya berani membatin.
Selang beberapa menit, mereka mulai menyelesaikan sarapan dan setelah minum susu putih, Ghiffari langsung mengambil ransel yang tadi ditaruhnya di atas meja.
"Fahri, selama Kamila belum ngerti apa pun tentang sekolah di sana jangan lupa kasih tahu dia. Dia nggak diospek sepertimu." Bunda Aisyah mewanti-wanti.
"Iya Bun tenang aja," sahut Ghiffari.
Bunda Aisyah tersenyum kecil seraya mengikuti kedua buah hatinya keluar menuju halaman rumah tempat mobil sport hitam Ghiffari diparkir. Wanita paruh baya itu mengusap pundak Kamila saat anaknya sedang berusaha memakai sepatu di teras rumah.
"Dua tahun sekolah di luar, Bunda harap Mila banyak dapat pelajaran dari sana. Mila harus lebih baik dari Kak Fahri," pesan Aisyah.
Kamila bangkit setelah selesai memakaikan sepatu kets pada kedua kakinya. Gadis itu tersenyum seraya mengangguk mencoba mengiyakan pesan bunda. Ia mencium pucuk tangan Aisyah yang kian lembut sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil sport hitam milik Ghiffari.
Laki-laki bermata cokelat terang itu mulai melajukan mobil keluar gerbang, lalu bergabung membelah jalanan bersama para pengendara lain yang memadati kota Jakarta di pagi hari. Tak ada obrolan yang keluar dari kedua bersaudara itu selain hanya terdengar suara murottal Ar-Rahman, Saad Al-Ghamidi. Salah satu Qori terkenal yang disukai Kamila.
Namun, tiba-tiba Ghiffari memegang tangan Kamila sebentar. "Kakak kasih tahu sekarang biar sampai sana kamu jangan kaget. Di sekolah kita bukan hanya ada masjid, tapi Gereja dan Pura pun ada. Entah berdirinya sejak kapan tapi nanti pas ngurus surat-surat sama kepsek, kamu disuruh tanda tangan tentang surat resmi dari sekolah yang berisi perjanjian untuk menjunjung tinggi sikap toleransi."
Kamila sedikit terkejut. Bukan tentang keberadaan Gereja dan Pura, tapi tentang surat perjanjian yang menurut Kamila sangat menarik.
"Begitukah? Ini sangat menarik, Kak." Kamila terkagum.
Ghiffari tersenyum. Ia memang bangga pada sekolah yang dikenyamnya saat ini pasalnya selain belajar dengan para guru, lingkungan sekolah pun memberi banyak pelajaran tanpa disadari. Lebih dari itu mereka diajarkan tentang bagaimana memanusiakan manusia.
Note 🐳 :
1. Kitab dasar yang mempelajari Nahwu. Satu tingkat di atas Jurmiyah adalah kitab Imrithi.
2. Ilmu alat adalah ilmu yang mempelajari gramatika bahasa arab.
Jangan lupa tinggalkan vote dan komen 😊
Bila ada kesalahan sila sampaikan dengan baik.
Salam 💙💙
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro