Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 03 || Pertemuan

Percayalah disetiap langkah yang engkau pijakkan dan disetiap pundi-pundi napasmu, di situ pula Tuhan bersamamu.


Remaja berambut pirang tengah memainkan gitar di dalam ruang musik, seraya menyanyikan lagu Treat You Better milik Shawn Mendes. Namun, tiba-tiba konsentrasinya buyar saat pikirannya kembali mengingat gadis berwajah lugu yang ditabrak Davin beberapa jam yang lalu di koridor. Kalau saja waktu itu tak menakut-nakuti Davin dengan ulat, mungkin pertemuan mereka dengan perempuan itu tak akan diawali dengan sesuatu yang membuatnya sukar.

"Lo kalau nggak niat main gitar, nggak usah main bisa nggak, sih? Bikin telinga sakit aja," cerca Davin yang sedang memainkan kuas dan cat air di atas kanvas. Ia sedang berusaha melukis Colosseum salah satu bangunan bersejarah di Italia.

Rafa mengercutkan bibir lalu meletakkan gitar di sebelahnya dengan pikiran yang masih terfokus pada gadis yang ditabrak Davin beberapa saat lalu.

"Vin, yang lo tabrak tadi namanya siapa ya?" tanya Rafa ragu. Ini pertama kalinya laki-laki itu bertanya mengenai wanita.

Davin berbalik dengan tatap miris. Sebenarnya Davin tak suka pada Rafa yang mencaritahu gadis itu. Meski di sisi lain ia merasa lega, setidaknya jiwa sahabatnya memang masih sangat waras, mengingat Rafa tak pernah sekali pun berbicara mengenai hati.

"Lo suka sama cewek belagu tadi?" sebelah alis Davin terangkat.

Baru saja Rafa hendak membuka mulut untuk menyela, tapi Davin lebih dahulu melanjutkan ucapannya. "Tapi ya udah deh kalau lo suka ntar gue cari tahu namanya. Biar lo waras."

"Lo lagi suka sama siapa, Raf?" Seorang laki-laki berseragam basket caramel baru saja masuk dengan keringat yang masih bercucuran di tubuhnya.

Rafa mengembuskan napas setelah laki-laki yang tak lain adalah Ghiffari itu ikut duduk di sebelah. "Lo bisa nggak, sih, ganti baju dulu sebelum ke sini? Gue bukan cewek-cewek yang suka menghirup bau keringat lo," ketus Rafa.

Davin terkekeh pelan, begitu pun dengan Ghiffari yang suka sekali membuat Rafa marah. Ralat, karena Rafa tidak bisa marah, Ghiffari suka sekali menjaili anak itu. Mereka bersahabat sejak pertama kali menginjakkan kaki di SMP. Karena saking akrabnya, membuat mereka memutuskan untuk sekolah di SMA yang sama. Untung saja ketiganya memiliki nilai yang tinggi, sehingga dengan mudah mematahkan soal-soal tes SMA Bintang yang terbilang cukup rumit.

"Lo lagi suka sama siapa, sih? Ntar gue bantuin. Alhamdulillah berarti lo masih sehat nggak suka sama sesama jenis," kata Ghiffari.

Rafa berdecih mendengar ucapan Ghiffari barusan. Sahabatnya itu kalau berbicara memang sering kelewatan.

"Jangan percaya Davin. Emang gue lagi suka sama cewek apa? Cuma ngeras bersalah aja. Karena tadi kita kejar-kejaran, terus nggak sengaja si Davin nabrak dia dan menjatuhkan milkshake ke rompi seragam cewek itu," jelas Rafa seraya mengingat kembali kejadian beberapa jam yang lalu.

"Nggak usah dipikirin lah, Raf. Yang nabraknya aja nggak ngerasa bersalah," kata Ghiffari.

"Betul tuh. Lo emang panutan gue Ghif," puji Davin seraya tertawa kecil.

Tentang Rafa, Ghiffari memang tak yakin sahabatnya itu akan jatuh cinta pada seseorang dengan mudah. Pasalnya, Rafa pernah mengalami sesuatu yang buruk di masa lalu dan laki-laki itu merasa hutang budi pada seseorang yang telah menolongnya dan sampai sekarang, Rafa tak menemuinya juga. Entah dia telah pergi jauh atau menghindar, Rafa tak tahu.

👣👣

Bu Tina mulai memasuki kelas XI A Bahasa, setelah bel masuk terdengar nyaring. Beliau duduk di atas kursi lalu mengabsen satu per satu siswa dan siswi di kelas tersebut. Ia mendapati nama baru diurutan paling bawah yang terukir dengan pena. Kamila Syahra Al-Hasan. Sangat bagus menurut guru pelajaran Bahasa Jerman itu.

Pelajaran bahasa Jerman termasuk dalam kategori pelajaran yang sulit. Pasalnya, setiap kali bu Tina memberi beberapa kosa kata untuk dihafalkan, banyak dari muridnya yang mengeluh karena lidahnya kelu serta sulit untuk mengucapkan dan bu Tina selalu berusaha memaklumi anak didiknya.

Kali ini beliau membagi kelompok karena akan ada tugas yang dikerjakan dengan kerjasama.

"Kelompok satu, Muhammad Saif Adam, Irfan, Kamila, Dinda dan Nana," ucap bu Tina seraya memegang buku absen.

Kamila terkesiap saat mendengar namanya disebut bersamaan dengan nama Adam. Bukan apa-apa, saat di pesantren dulu jangankan bekerja sama mengerjakan tugas, kelas saja jaraknya begitu jauh dengan laki-laki. Ia ingin meminta bu Tina untuk mengubahnya namun ia harus tahu bahwa dia tak lagi berada di boarding school.

"Nggak usah terlalu khawatir, Adam sama Irfan baik kok. Ya, walaupun muka Adam sok dingin kayak gitu." Nana berbisik di telinga Kamila setelah menyadari raut wajah teman sebangkunya yang berubah rancu.

Kamila mengangguk dan tersenyum memamerkan lesung pipitnya. Sedangkan di depan sana, Bu Tina masih menyebut nama-nama untuk kelompok selanjutnya.

Setelah terdengar instruksi dari bu Tina untuk duduk sesuai kelompok, Adam dan Irfan bangkit dari duduknya kemudian menarik kursi yang berada di dekat bangku Kamila, sebelum akhirnya mereka duduk di sana. Kamila menelan saliva susah payah saat Adam menopang dagu menunggu tugas yang hendak diberikan bu Tina. Di sebelah Adam, ada Irfan, laki-laki berambut hitam pekat yang memiliki kulit hitam manis dan tubuh yang tinggi.

Astagfirullah. Aku nggak pernah tahu tentang sebuah rasa. Namun yang kuketahui bahwa semua ini hanya sebuah permulaan bukan? Kamila membatin.

"Di pesantren lo nggak ada bahasa Jerman ya?" tanya Adam membuka percakapan.

Kamila yang tadi menunduk kini mendongak, lalu mengangguk pelan, mengiyakan. Adam mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti.

"Cak⁴, cari kesempatan ya?" Irfan berbisik. Adam mengercutkan bibirnya seraya memukul tangan Irfan pelan.

Bu Tina memberi kertas berisi beberapa soal esai pada Adam dan menyuruhnya untuk menjawab dengan cara kerjasama sampai waktu habis.

Nana dan Dinda yang tak terlalu paham bahasa Jerman, kini terdiam pasrah sembari berdoa dalam hati agar Adam dan Irfan dapat menjawab seluruh soalnya dengan tepat.

Tangan kanan Adam begitu cekatan saat memainkan pena di atas kertas menjawab soal demi soal dari bu Tina yang berjumlah tujuh nomor. Untung saja kebaikan bu Tina membuatnya untuk selalu peduli dengan kemampuan siswa dan siswi, sehingga tak pernah memberi soal yang sulit.

Setelah beberapa menit mengerjakan, Adam menulis nama kelompoknya. Satu hal yang tak ia sukai dari kerja kelompok, hanya beberapa yang mengerjakan dan yang lain numpang nama.

"Eh, lo waktu SMP mondok juga Mil?" tanya Irfan.

Kamila mengangguk, mengiyakan. Saat-saat seperti ini ia jadi ragu dengan benteng pertahanannya.

"Modern juga?" tanyanya lagi.

"Bukan. Tapi salaf. Nadwatul Ummah di Jogja."

"Kyai Usman?" Irfan terkejut.

Kamila mengangguk. "Itu pesantren milik orang tuanya Cak Adam."

Kali ini Kamila yang terkejut. Jadi, Adam merupakan putra dari seorang Kyai yang Kamila hormati. Tentang pesantren itu, Kamila memang enggan pindah tapi sayangnya, abi membuat keputusan yang tak bisa digugat.

"Dulu, kalian mondok juga?" tanya Kamila mengalihkan topik. Sungguh, ia masih tak percaya bahwa kini di depannya terdapat putra seorang Kyai.

"Dulu sampai sekarang," sahut Irfan seraya memainkan pena di tangan kanannya.

"Maksudnya gimana?" Tanya Kamila lagi.

"Waktu tiga tahun kemarin gue mondok di Jawa tengah terus karena ada sesuatu hal yang mengharuskan Bapak dan Mamak pindah ke Jakarta, akhirnya mau nggak mau gue ikut pindah juga ke sini. Dan kebetulan pesantrennya deket dari sini. Jadi, setiap pulang  ke pesantren." Irfan menjawab panjang lebar. Ia tak keberatan untuk menceritakan semua asal pendengar itu bisa menjadi pendengar yang baik. Itu saja.

"Kalau Cak Adam, dulu mondok di Surabaya pesantren milik pamannya. Tapi karena salah satu tante yang paling dekat dengan dia pindah ke Jakarta, akhirnya dia ikutan ke Jakarta dan bertemulah kita di sini. Gue, Cak Adam sama anak IPA yang sama-sama dulu pernah mondok."

"Eh Fan, kalian kan bawa motor. Emang pondoknya boleh ya?" tanya Nana.

"Cuma cak Adam yang bawa. Karena dia kan—"

"Fan ...." Adam memotong ucapan Irfan.

Nana mengernyit. Ia jadi penasaran kenapa Adam melarang Irfan untuk memberitahukannya.

Tapi satu hal yang baru mereka sadari tentang Irfan dan Adam, kedua makhluk itu tak biasanya mau bercerita dengan orang lain. Selain menjawab hanya seadanya saja. Tapi kali ini pada Kamila, mereka mau bercerita banyak. Barangkali bercerita dengan sesama alumni pesantren memang seru.

"Berarti lo udah khatam Alfiyah ibnu Malik?" tanya Adam.

Kamila kembali menelan salivanya susah payah. Setahu Kamila Matan Alfiyah Ibnu Malik begitu panjang yang terdiri dari 1000 bait walau pada kenyataannya ada 1002 bait karena ada tambahan dalam muqadimahnya. Alfiyah Ibnu malik adalah karya milik Assyaikh Muhammad bin Abdullah bin Malik yang tak akan pernah terhapus dalam khazanah intelektualitas pesantren. Apalagi pesantren Salaf. Kitab Alfiyah pun berisi tentang qaidah-qaidah gramatika bahasa Arab seputar Nahwu Shorof.

Tentu, untuk menghafalkan Alfiyah harus memiliki kesungguhan. Sedangkan saat itu Kamila baru saja memulai dan waktu menyeretnya dengan cepat meninggalkan pesantren.

"Belum. Hanya baru beberapa bait saja," sahut Kamila dengan nada yang terdengar kecewa.

Ada sesuatu hal yang membuat Kamila tak menuntaskan hafalannya. Tentang perihal masa lampau yang membuatnya begitu sulit beradaptasi dengan banyaknya pelajaran dan hafalan.

Selang beberapa menit, jam pulang berdering. Adam dan Irfan bangkit mengumpulkan tugas lalu mereka pulang setelah mengambil ranselnya.

👣👣

Kamila berjalan cepat menuju halte yang berada sekitar tujuh meter dari gerbang sekolah. Ia menunggu Ghiffari yang belum keluar dari kelas.

Siswa dan siswi mulai memadati tempat menunggu kendaraan umum tersebut, beberapa menunggu jemputan dan yang lain menunggu Trans Jakarta.

Beberapa menit telah berlalu, gadis itu masih duduk di sana sembari memainkan ponsel menunggu pesan dari Ghiffari dan sesekali memainkan aplikasi yang menguji hafalannya.

Kamila bangkit dari duduknya setelah mengingat bahwa beberapa bukunya ketinggalan di laci meja. Namun, saat langkahnya baru saja memasuki gerbang sekolah, ia melihat pemandangan yang membuat matanya kian terasa sakit. Laki-laki berseragam khas SMA Bintang yang tengah memeluk seorang perempuan berseragam putih dengan dilapisi rompi batik cokelat dan rok yang senada dengan rompinya.

Barangkali ia memang harus terbiasa dengan pemandangan semacam ini, namun bagaimana bila pelakunya kakaknya sendiri? Batinnya mulai berdebat. Mau tak mau Kamila harus ke sana dan menegur Ghiffari. Tapi menasihatinya di depan publik bukankah merupakan sesuatu yang hina? Ia mundur beberapa langkah dan kembali ke halte dengan perasaan yang kacau.

Ya Allah, aku paham kenapa kemarin bunda bilang bahwa aku harus lebih baik dari Kakak. Dan mungkin barangkali bunda tahu attitude yang dimiliki kak Fahri. Tapi sebelum berprasangka, alangkah baiknya aku tanyakan dulu sama Kak Fahri tentang kejadian yang sebenarnya. Batin Kamila.

Suara klakson yang berteriak berhasil membangunkannya dari lamunan beberapa detik yang lalu. Kamila langsung bangkit setelah melihat mobil sport hitam yang berhenti di depan halte. Gadis itu langsung membuka pintu mobil tersebut kemudian duduk di samping laki-laki yang mulai melajukan kendaraannya itu.

"Kakak, tadi siapa?" tanya Kamila akhirnya. Gadis itu masih menatap lurus ke depan melihat pengendara yang berada di sana.

"Siapa? Yang mana?" tanya Ghiffari tidak mengerti.

Kamila meloloskan napas pelan. "Yang tadi Kakak peluk."

Ghiffari terlonjak dengan ucapan Kamila barusan. Ia menatap Kamila dari samping lalu kembali memperhatikan jalanan yang kian ramai.

"Jangan bilang Bunda ya." Wajah Ghiffari berubah memelas.

Kamila menundukkan kepalanya sembari memainkan resleting ransel yang berada di atas pangkuannya. "Bunda nggak tahu, Kak. Tapi Allah?"

Apa yang tak diketahui Allah terhadap perbuatan hambanya? Dzat yang paling tahu tentang semua kejadian diseluruh semesta. Apa yang dilakukan Ghiffari benar-benar mengusik hatinya. Ia tak pernah tahu orang yang notabene-nya sangat ia sayangi, pada akhirnya akan membuat kecewa.

"Lagian Kak, apa untungnya sih pacaran? Wasting time, menghabiskan uang, menghabiskan tenaga Kakak juga. Kalau cewek itu emang jodoh Kakak, Allah nggak akan memberikan dia pada orang lain. Kakak pernah berpikir nggak bagaimana ruginya orang pacaran? Di masa muda udah ngerasain banyak kekecewaan, sakit hati, patah. Sedangkan di luar sana banyak dari seusia kita berlomba-lomba untuk mendapatkan akhir yang baik. Berlomba-lomba menciptakan attitude yang baik agar bisa bertemu dengan Rabb-nya. Sangat disayangkan dengan usia yang tak begitu panjang tapi dihabiskan untuk sesuatu yang tak bermanfaat." Kamila berusaha mengubah paradigma laki-laki di sebelahnya tentang aksi dan reaksi dari alur kehidupan.

Saat waktu kita hanya dihabiskan untuk sesuatu yang telah Allah jamin, seperti jodoh, maka kapan kita menghabiskan waktu untuk sesuatu yang tak Ia jamin. Misalnya pertemuan dengan-Nya kelak. Betapa kebanyakan dari kita selalu mementingkan hal-hal menyenangkan untuk sesuatu yang fana dan melupakan pekerjaan untuk sesuatu yang baka.

"Aku memang bukan orang baik yang dengan seenaknya menyuruh Kakak untuk berubah. Tapi aku mau kita sama-sama belajar untuk menyaring segala hal. Membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang tak bermanfaat." lanjut Kamila dengan pandangan yang masih tertunduk.

Sedangkan Ghiffari, laki-laki itu hanya berusaha mendengar walau dalam batinnya masih terjadi perdebatan.



Note 🐳 :
4. Cak merupakan panggilan orang Surabaya yang merakyat. Biasa digunakan pada laki-laki muda atau laki-laki yang belum akrab. Biasanya panggilan Cak sangat populer dikalangan santri daerah Jawa.

Cmiiw 😊
Kalau ada sesuatu yang salah minta koreksinya ya. Pakai bahasa yang baik. Jangan judge 😊 Namanya juga manusia, tempatnya salah dan lupa. Hehe 😊

Segini dulu ya :')

Kayaknya udah panjang bangeuut 😊

Jangan lupa follow Ig @hallo_milkyway
Jangan lupa vote dan komen ya 💙💙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro