Bab 02 || Perkenalan
Dan di antara kebersamaan yang terlaksana, terdapat skenario Tuhan yang penuh permadani-permadani syurgawi.
Kamila menarik napas dan mengembuskannya pelan, berusaha untuk tetap tenang saat kini kakinya telah berpijak di depan bangunan bercat cerulean dengan memiliki tiga lantai yang berdiri dengan kokoh. Para anggota Osis pun berjajar rapi di dekat gerbang memeriksa kelengkapan atribut para siswa.
Tangannya memegang tali ransel kuat-kuat saat Ghiffari telah memarkirkan mobil di area parkir yang berada di sebelah barat sekolah. Laki-laki bertubuh jangkung itu menarik tangan adiknya, lalu diajak berjalan menuju ruang kepala sekolah yang berjarak cukup jauh mengingat sekolahnya yang memang sangat luas.
Kamila memperhatikan ihwal di sekitarnya. Begitu banyak siswa dan siswi yang berlalu lalang entah ke mana. Barangkali Kamila harus membaca kembali buku instruksi SMA Bintang agar kedua matanya dibiasakan melihat pemandangan siswi-siswi dengan rok lima jari di atas lutut yang nanti akan menjadi pemandangan sehari-hari. Pasalnya, sedari tadi hatinya selalu beristigfar menyaksikan pemandangan yang sangat berbeda dengan asrama dulu.
Gadis dengan tinggi semampai itu mulai merasa jengah saat sadar bahwa ia dan Ghiffari menjadi pusat perhatian saat mereka mulai berjalan ke tengah lapangan. Ralat, barangkali hanya Kamila yang menjadi pusat perhatian banyak mata, karena Kamila satu-satunya siswi yang menggunakan jilbab di sana.
Diam-diam Ghiffari sedikit khawatir dengan keadaan adiknya saat ini. Ia takut bila Kamila terjerumus dalam pergaulan yang kurang baik. Ia takut bila nanti Kamila sepertinya. Namun, semoga Allah selalu menjaga gadis itu.
Saat mulai menginjak koridor lantai kelas, Kamila akhirnya bertanya. "Masih lama nggak, Kak?"
"Bentar lagi kok. Tinggal belok," sahut Ghiffari.
Dan tak lama dari itu mereka berbelok ke arah lain dan mendapati sebuah ruangan yang pada pintunya bertuliskan 'Ruang Kepala Sekolah'.
Tanpa pikir lama, Ghiffari langsung mengetuk pintu bersamaan dengan bel masuk yang berteriak nyaring. Ia melepas pegangan tangan adiknya untuk melihat arloji yang melingkar pas di pergelangan tangan kiri. Tepat pukul tujuh.
Seharusnya ia langsung masuk menghadapi pelajaran Matematika, tapi kakak mana yang tega meninggalkan adik di tempat yang belum pernah dikenal.
"Ck, lama banget, sih, Pak Kepsek." Ghiffari berdecak seraya mendumel saat tak ada tanda-tanda pintu akan terbuka.
Baru saja tangan kanannya terulur untuk kembali mengetuk pintu cokelat di depan, tetapi perlahan pintu terbuka dan menampilkan sosok laki-laki berperawakan lumayan gemuk, berkumis tebal, berseragam cokelat muda dengan sepatu pantopel berwarna hitam yang kini tersenyum melihat Ghiffari dan gadis di sebelahnya.
Ghiffari langsung menyalami tangan pak Ghani, selaku kepsek di sekolah lalu memegang pundak Kamila.
"Ini Kamila, Pak. Adik saya yang kemarin didaftarkan sama abi. Dan berkas-berkasnya ada sama dia," jelas Ghiffari dengan suara yang terdengar sopan.
Pak Ghani tersenyum seraya mengangguk, mengerti. Kebetulan Pak Ghani dan ayahnya adalah sepasang kolega yang cukup akrab karena sempat mengenyam di fakultas yang sama semasa kuliah dulu.
"Kamu boleh ke kelas, biar adikmu saya bawa ke kelas barunya," kata pak Ghani.
Ghiffari tersenyum lalu berbalik menuju kelasnya yang berada di lantai tiga. Setelah Ghiffari pergi, pak Ghani mengantar Kamila menuju kelas baru yang berada di lantai dua, kumpulan kelas sebelas.
Setelah sampai di lantai dua, pak Ghani berhenti di depan sebuah ruangan dengan pintu berwarna cokelat muda yang pada bagian atasnya bertengger sebuah tulisan "XI A Culture and Language". Perempuan itu dapat menyimpulkan bahwa kelas ini merupakan kelompok minoritas yang berada di sekolah.
Pak Ghani membuka pintu kelas tersebut dan memanggil seorang guru yang tengah mengajar bahasa Inggris. Kemudian muncul perempuan bertubuh tinggi serta langsing dengan menampilkan senyum tulus saat menatap Kamila.
"Bu Kiki, ini murid baru yang kemarin saya bicarakan. Saya nitip dia," tegas pak Ghani.
Bu Kiki tersenyum seraya mengangguk, lalu meraih pundak Kamila yang sekarang tersenyum ke arahnya.
"Baik, Pak."
Setelah pak Ghani berbalik untuk kembali ke ruangan, dengan sangat sopan bu Kiki mengajak Kamila masuk ke dalam ruang yang memiliki luas sekitar 7X7 itu. Diam-diam Kamila masih setia berzikir mengagungkan asma Allah berharap hatinya mendapat sebuah ketenangan.
Kamila tersenyum menampilkan kedua lesung pipitnya saat semula siswa dan siswi yang ribut, berubah menjadi diam setengah terkejut. Beberapa mata kaum adam tak lepas memandang wajah Kamila yang menurutnya ada candu.
"Baik, anak-anak hari ini kita kedatangan teman baru. Pindahan dari Ar-rahman Islamic Boarding School. Putri dari Pak Hasbi, donatur terbesar di sekolah kita," jelas bu Kiki.
"Wah calon ayah mertua," celetuk seorang siswa yang berada dalam ruangan itu.
"Adiknya Kak Ghiffari, dong." Salah seorang laki-laki yang duduk di sudut kelas berucap dengan keras.
Bu Kiki memegang kedua pundak Kamila dan memintanya untuk mengenalkan diri.
"Perkenalkan nama saya Kamila Syahra Al-Hasan. Saya pindahan dari Ar-Rahman Islamic Boarding School dan saya asli Bandung yang kemudian pindah ke sini, ke Jakarta," jelas Kamila tanpa ragu.
Detik berikutnya kelas berubah menjadi rama, entah apa yang diributkan. Beberapa kagum dengan dengan perempuan berjilbab di depannya. Kekaguman yang berasal dari sesuatu hal yang sulit didefiniskan.
Namun pandangan Kamila tak sengaja jatuh pada laki-laki yang fokus pada majmu' kamil nadzhom³ di tangannya. Bahkan sepertinya laki-laki itu tak tertarik dengan keramaian di sekitar.
"Kamila, kamu duduk di situ ya." Bu Kiki menunjuk ke arah bangku yang berada dibaris kedua dekat jendela. Gadis itu segera mengangguk lalu berjalan menuju bangku yang telah dihuni gadis berkepang seusianya.
Kamila mengenalkan diri. Gadis yang duduk di sebelahnya bernama Nana. Nana Arifin dengan mata sipit, kulit putih khas China yang dimiliki.
👣👣
Perempuan itu baru saja hendak ke luar kelas setelah bu Kiki mengucap salam perpisahan, tapi langkahnya terhenti saat Nana dan beberapa kawan yang belum sempat berkenalan tiba-tiba mendekat mengajak kenalan. Kamila menyalami mereka satu per satu dengan senang hati dan berusaha mengubah paradigmanya mengenai sekolah ini. Dari sini ia harap apa yang abi inginkan bisa tercapai.
"Lo mau ke mana, Mil?" tanya Nana.
Kamila yang sedari tadi sudah berdiri, menoleh ke arah Nana yang masih menulis sesuatu pada sebuah buku.
"Mau ngasih dompet ke Kak Fahri. Kayaknya dia lupa kalau dompetnya ada sama aku, Na," sahut Kamila.
"Emang lo tau kelas Kak Ghiffari?" tanya Nana retoris.
Kamila tersenyum lebar menampilkan barisan gigi putihnya yang rapi menandakan tidak tahu. Bola mata Nana berputar, lalu bangkit dari duduknya untuk mengantar Kamila menuju kelas Ghiffari yang lumayan jauh dari kelas mereka saat ini.
Kedua insan itu berjalan melewati koridor yang lumayan panjang, menajajaki satu kelas ke kelas lain hanya untuk mengembalikan dompet milik Ghiffari. Selama di jalan, Nana banyak cerita mengenai peraturan-peraturan sekolah yang tak Kamila ketahui dan beberapa keunikan SMA Bintang yang membuat Kamila sedikit mengernyit.
"Astagfirullah." Kamila memekik saat sebuah cairan berwarna cokelat mengenai rompi seragamnya.
Ia mengangkat ujung jilbab dan menatap nanar rompi yang kian kotor. Seseorang menabraknya dan tak sengaja menjatuhkan Milk shake cokelat ke rompi seragam gadis itu.
Siswa yang menabrak Kamila terkejut. Laki-laki bertubuh tinggi serta berambut gondrong kecokelatan, berdiri di depan Kamila yang mulai sibuk membersihkan rompi dengan tisu.
"Kenapa?" Seseorang berambut pirang terang yang baru saja datang—berdiri, di antara mereka lekas bertanya pada teman yang telah menabrak Kamila barusan.
"Gue nggak sengaja." Laki-laki bernama Davin itu berkata datar enggan minta maaf.
Cowok berambut pirang di sebelahnya melirik sinis Davin, "Minta maaf, Vin. Nggak boleh kayak gitu," tegur cowok ber-name tag Rafael Stewart itu.
"Wakilin aja kalau mau minta maaf," ketus Davin.
"Ya udah nanti masuk surganya juga diwakilin aja," kata Rafa.
Davin menarik salah satu bibir atasnya. "Ya udah gue minta maaf. Makanya kalau—"
"Maafin Davin ya. Dia nggak sengaja," sela Rafa. Yakin sekali kalau ucapan Davin tidak dipotong, mungkin akan semakin melebar seperti kepsek saat memberi amanat.
Nana yang sudah tahu popularitas mereka berdua, kali ini tak memedulikan Kamila yang masih setia membersihkan rompi. Gadis itu mendongak sebentar melihat siapa yang meminta maaf padanya, siswa dengan badge kelas XII yang menempel di lengan sebelah kiri dan pin ketua Osis yang menempel dibagian dada sebelah kiri.
"Iya nggak papa." Kamila menyahut pelan setelah kembali menunduk.
"Lo anak baru ya? Kenalin gue Rafael Stewart ketua Osis di sini." Rafa mengulurkan tangannya ke depan Kamila. Gadis itu menatap sekilas lalu tersenyum kecil seraya menarik tangan Nana untuk menghindari kakak kelasnya barusan.
Davin menatap sinis ke arah cewek yang belum diketahui namanya itu. "Sok banget," desis Davin.
"Kayaknya anak baru," gumam Rafa.
"Kurang normal. Kaku banget. Gue nggak suka," nyinyir Davin.
"Lo yang nabrak, lo yang ngomel," desis Rafa.
Sedangkan perempuan itu menggugurkan niatnya untuk bertemu Ghiffari. Ia belum kelar berdebat dengan rasa prihatin yang menimpa diri. Berkali-kali beristighfar agar Allah senantiasa menjaga dari sesuatu yang tak ia inginkan.
Disepanjang jalan, Nana mencerca sikap Kamila yang menolak Rafa dengan telak. Karena Nana tahu betul sikap dingin Rafa pada seluruh hawa di sekolah, tapi tidak pada Kamila. Namun temannya itu tak menghiraukan. Ia tetap mengagungkan nama-nama Allah dalam hatinya dan selalu mengharap perlindungan pada yang telah memberinya kehidupan.
👣👣
"Ini buku lo dari kepsek." Seorang laki-laki bersarung dan berpeci dengan seragam putih pendek tanpa rompi, baru saja meletakkan beberapa buku cetak ke atas meja Kamila.
Laki-laki itu memiliki rahang yang tegas, tubuh yang tinggi, hidung yang mancung, bibir merah serta berkumis tipis yang membuatnya terlihat sangat manis. Kamila tergugup saat mengingat bahwa laki-laki itu yang sedari awal lebih memilih majmu' kamil nadzhom daripada keributan di kelas.
"Makasih." Kamila menyahut seraya tersenyum kecil menampilkan dua lesung pipitnya yang manis.
"Dan ini baca, terus tanda tanganin sekarang!" Adam kembali menyerahkan sebuah kertas putih berukuran A4 ke depan Kamila.
Gadis itu membaca isi dalam kertas tersebut yang berisi tentang perjanjian untuk menjunjung tinggi sikap toleransi. Para siswa dan siswi tak boleh merendahkan agama lain terlebih mencaci dan memaki. Setelahnya, Kamila langsung menandatangani kertas itu dan diberikan pada Adam.
Adam langsung mengambil alih, sebelum akhirnya ia kembali berjalan ke depan kelas mengambil absen di atas meja guru dan membawa ke bangku.
Nana memukul pelan tangan Kamila lalu berbisik tentang laki-laki yang barusan menghampiri mereka. Namanya Muhammad Saif Adam. Laki-laki itu merupakan ketua kelas di sini dan menjadi kepercayaan bu Kiki selaku wali kelas. Karena ketegasannya dalam memimpin membuat bu Kiki sangat percaya pada Adam.
Tak hanya menjalankan peraturan sekolah saja, tetapi kerapkali setiap istirahat kedua saat Zuhur, Adam memerintah kawan seimannya untuk salat. Tak peduli meski banyak yang kesal dengan sikpanya, ia hanya ingin menegakkan salat jama'ah khusus kelasnya.
Kamila sedikit tertarik dengan cerita tentang Adam, pasalnya laki-laki itu sangat berbeda dengan beberapa kawan lainnya. Laki-laki itu terlihat begitu damai. Ada bagian dari diri Adam yang tak dimiliki oleh teman-teman lainnya.
Note 🐳 :
3. Majmu' kamil Nazhom adalah kitab kecil yang berisi syair bahasa arab (Dirasah Islamiyah)
Adam atau Rafa, nih? Wkwkw
Jangan lupa vote dan komen! 😁
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro