9. Mission Complete
WARNING!! Chapter ini mengandung keabsurd-an. Kritik dan saran kalian sangat diperlukan. Terima kasih :)
**
Orang yang duduk di sampingku tidak menunjukka gelagat aneh. Aku mencuri pandang melalui ekor mataku, penampilannya terlihat sangat normal, tidak ada yang perlu di curigai. Kutarik napas panjang, menghembuskannya perlahan, mencoba berpifir jernih.
"Apakah ia akan datang, Kevin?" tanya si kurus.
"Tentu saja, ia salah satu orang penting di film ini." Aku mengambil satu gerakan cepat untuk merekam pembicaraan mereka.
"Apa rencana kita akan berhasil? Kita sudah menghabisi Sesil dan orang tua Bagas, apa ini tidak keterlaluan kalau kita kembali mencari korban?" Steve selalu terlihat ragu dalam menjalankan aksinya. Kedua penjahat ini terlihat begitu rapi malam ini. Siapa sangka dibalik balutan kemeja yang mereka kenakan tersembunyi sebuah rahasia besar.
"Kita tidak boleh setengah-setengah. Bagas benar-benar telah merebut semua yang aku inginkan, dan lagi, aku telah membayarmu untuk ini, bersikaplah professional."
Deg!
Pernyataannya itu membuatku semakin takut dengan si kekar, yang baru kuketahui bernama Kevin. Pantas saja Sesil menolaknya, ia memiliki hati yang busuk. Kumatikan alat perekam di ponselku. Sudah tidak ada lagi pembicaraan berarti diantara mereka.
Jari-jariku mengetuk-ngetuk pahaku, memikirkan bagaimana cara mendapatkan sidik jari pelaku penbunuhan ini. Otakku kembali mengingatkan kalau Kian dapat membaca pikiranku, tentu ia tahu apa yang akan kulakukan. Akupun meminta pendapatnya dengan perantara kontak batin yang kami miliki. Hening. Aku masih tidak memiliki jawabannya.
Detik berikutnya Kian berbisik, "Jatuhkan ponselmu. Ia akan mengambilnya, dan aku akan mengambil ponselmu tanpa kita harus kehilangan sidik jarinya." Akupun menuruti perintah Kian, sengaja menjatuhkan ponsel genggamku di depan Steve yang duduk tepat di sampingku, berharap ia mau membantuku mengambilkan ponsel genggamku.
Dan benar saja, aku bisa melihat ponselku masuk ke dalam tasku tanpa harus kusentuh. Pria kurus disampingku sepertinya juga tidak menyadarinya. Ia seperti mematung saat ponselku melayang tanpa harus kusentuh.
Namun aku masih belum puas, aku juga ingin mendapatkan sidik jari Kevin, pelaku utama dari semua perbuatan tak berperikemanusian itu. Kulirik kaleng sodaku yang belum terbuka, mungkin ini bisa membantu, pikirku. Kujatuhkan kaleng soda itu hingga menggelinding di dekat kaki si kekar. Aku bersyukur karena kaleng ramping itu menggelinding di tempat yang tepat.
"Maaf, bisa kau ambilkan sodaku." Aku memberanikan diri untuk berbicara dengan pembunuh berdarah dingin itu. Bisa kurasakan ada getaran dalam nada bicaraku. Ada nada ketakutan yang tidak bisa kusembunyikan.
"Tentu saja, nona manis," ujarnya dengan seringainya yang seperti vampire.
Kian kembali menolongku untuk mengambil kaleng soda itu tanpa perlu kusentuh. Kurasa barang bukti kami sudah cukup. Aku harus bertindak cepat agar dua pembunuh ini tidak kembali menelan korban.
"Kau bisa menggunakan ponselku kalau kau ingin berfoto dengan idolamu," ujar Kian kembali berbisik di telingaku.
Aku menoleh ke arahnya menunjukkan kebingunganku, "Maksudmu?" Aku belum bisa mengalihkan berkonsentrasi pada aksiku barusan.
"Seperti yang sudah kukatakan di surat itu, kau telah bekerja keras, dan ini adalah hadiahnya." Aku mencerna setiap kalimat yang dilontarkan Kian, bersamaan dengan itu layar bioskop ini mulai mengeluarkan suara dan gambar yang menarik perhatianku.
Jika tadi aku lupa kalau Kian mengajakku untuk menonton film, kali ini aku lupa kalau keberadaanku di tempat ini tidak hanya untuk sekadar menonton, melainkan memiliki misi untuk diselesaikan. Adegan demi adegan dalam film ini begitu menguras emosiku. 90 menit terasa begitu singkat bagi sebuah cerita yang begitu epik. Pertujunkanlayar lebar ini diakhiri dengan tepuk tangan yang menggema di seantero teater. Aku tidak menyesal menyanggupi ajakan Kian ke sini. Sebuah pertunjukkan yang dikemas dengan begitu sempurna.
Setelah film itu berakhir, Kian menepati janjinya dengan meminjamiku ponselnya. Semuanya masih seperti mimpi. Nyatanya, jika kita mendahulukan orang lain, Tuhan juga akan menggerakkan semesta untuk mendahulukan kita. Terbukti saat Faradita menyanggupi ajakanku untuk berfoto bersama. Ia lebih memilihku dibandingkan penonton yang lain. Begitu juga dengan Bryan dan Mawar. Mereka terlihat begitu manis, ramah dan professional. Hari ini begitu istimewa, sangat istimewa. Aku lupa kapan terakhir kali menyenangkan diriku sendiri, dan hari ini, Kian membantuku untuk bersenang-senang.
My dreams do come true! Massive thank you, Kian!
"Lain kali, kau harus meluangkan waktu untuk dirimu sendiri. Dirimu berhak untuk itu." Kian berbisik di telingaku.
Dan Kian benar, aku selama ini terlalu acuh dengan diriku sendiri, diriku membutuhkan haknya. I am not a robot, dear my self, really sorry. Setelah ini aku tidak akan abai lagi. Promise."
"Tugas kita masih belum selesai, Alika," lanjut Kian.
Perhatianku kembali tertuju pada Kian, ia merangkul bahuku seakan berkata, "Sudahkan foto barengnya." Aku menelan salivaku. Kian selalu memberikan sensasi aneh pada tubuhku. Dan korneaku lebih tertarik untuk memandang Kian dibandingkan Bryan.
"Kita pulang sekarang?" tanyaku.
"Kita ke kantor polisi sekarang," ujar Kian mengoreksi ucapanku.
Akupun memandang lekat-lekat Faradita, Bryan dan Mawar, berharap ini bukan kali terakhir aku melihat mereka. Meskipun masih ingin berlama-lama menikmati euphoria ini, namun aku kembali teringat, ada misi yang harus selesai, tidak boleh ada korban lagi setelah ini. Dan lagi-lagi aku bersyukur karena malaikat seperti Kian memiliki ponsel genggam yang selalu mengabadikan setiap momen berhargaku.
**
Kantor polisi. Sebuah tempat yang sama sekali tidak ada dalam daftar kunjunganku. Sebuah tempat yang tetap ramai meskipun hari telah menunjukkan pukul 10.30 malam. Sepertinya baru saja terjadi sebuah kasus, para napi dengan seragam orange dan polisi tampak memenuhi halaman kantor polisi malam ini.
"Ayo masuk." Kian menggenggam tanganku, mengajak langkahku ke dalam gedung ini. Akupun menggenggam tangan Kian, meminta kekuatan darinya. Aku bisa. Aku tidak perlu takut.
Seorang polisi tegap dengan kumis menghiasi wajahnya menyambut kedatangan kami.
"Selamat malam, ada yang bisa kami bantu, nona?" Kulihat kumisnya naik turun saat berbicara.
"Saya ingin menyerahkan sebuah barang bukti," ucapku mantap.
"Barang bukti?" Polisi itu mengerutkan keningnya. Akupun menyerahkan beberapa video yang berhasil kami kumpulkan. Mulai dari misi pertama kami saat datang ke rumah tua ditengah hutan, pembunuhan Sesil dan orang tua Bagas, dan sidik jari kedua pelaku. Polisi berkumis ini tampak senang melihat barang bukti yang kusodorkan. Pasalnya, Steve dan Kevin telah lama menjadi incaran pihak yang berwajib.
"Dan ini sebilah pisau yang mereka gunakan untuk menghabisi korbannya." Entah dari mana Kian mendapatkan pisau itu. Aku sama sekali tidak melihatnya membawa pisau atau benda apapun. Kini benda itu telah berada di meja polisi.
"Terima kasih atas bantuan kalian. Bulan lalu kami telah menggrebek lokasi kejadian di tengah hutan. Pelaku juga telah berhasil kami amankan. Namun setelah 7 hari, kedua pelaku berhasil kabur dari sel tahanan. Kami terus melakukan pancarian namun belum membuahkan hasil. Mungkin sekitar hampir satu bulan kami kehilangan jejak mereka. Sekali lagi terima kasih, semoga mereka tidak bisa kabur lagi sekarang," ujar polisi itu setelah melihat videoku. Aku kembali teringat pada beberapa mobil polisi di tengah hutan saat perjalanan lintas dimensi tempo hari. Rupanya saat itu Steve dan Kevin sempat diringkus, namun keduanya berhasil kabur dari tahanan, semoga kali ini kedua tidak bisa kabur lagi.
Setelah urusan kami selesai kami pun bergegas pamit karena hari sudah lewat tengah malam. Jalanan sepi dan udara malam yang dingin menemani kami kala berkendara menggunakan si putih malam ini. Tidak hanya itu, lampu lalu lintas yang berwarna kuning menandakan kami harus tetap berhati-hati meskipun jalan raya sedang dalam keadaan sepi.
"Alika." Kian memanggilku saat kami dalam perjalanan pulang menuju kontrakanku.
"Mulai besok, aku akan mengantar jemputmu bekerja. Kau tidak perlu capek-capek lagi." Perkataan Kian itu sontak membuatku terkejut.
"Why? Aku sudah terbiasa dan bisa berangkat kerja sendiri," tanyaku.
"Mulai saat ini aku tidak akan membiarkanmu sendiri lagi, Alika." Jantungku terasa berhenti berdetak saat mendengar kalimat Kian barusan.
"Mau jadi tukang ojek nih?" tanyaku.
"Tukang ojek? Why not? Selama aku bisa jagain kamu, It's oke, Alika." Blush! Aku bisa merasakan permukaan kulitku menghangat, sudah bisa kupastikan kalau wajahku semerah kepiting rebus sekarang. Kian, pria ini benar-benar memprorak-porandakan pertahananku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro