7. Memilih Takdir
Seorang pria mengusap wajahnya kasar. Ia melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya, berharap seluruh beban pikirannya tidak lagi membelenggu dan mencekiknya. Namun semua itu sama sekali tidak merubah keadaan. Guratan-guratan kelelahan masih menghiasi wajahnya. Tidak hanya itu, ia juga tampak sangat frustasi. Pria itu mengambil sekaleng soda, lalu menghempaskan dirinya ke kursi empuk yang menghadap ke ranjangnya. Meneguk cepat soda yang berada di genggamannya sambil melihat sebuat potret di telepon genggamnya.
"Kian, apakah pria itu sebentar lagi juga akan mengalami kematian?" tanyaku.
Kian kembali membawaku ke perjalanan dimensi, dimana sekarang kami tengah berada di dalam kamar lelaki frustasi ini. Aku masih belum mengetahui tujuan kami kali ini. Mungkin kami masih harus mengumpulkan bukti lagi sebelum akhirnya benar-benar ke kantor polisi. Dan sekarang aku merasa khawatir, jika lelaki ini adalah salah satu korban selanjutnya.
"Aku tidak tahu. Aku bukan malaikat pencabut nyawa, Alika." Aku pun mendengus mendengar jawaban yang terlontar dari mulut Kian.
Aku mendekat kearah laki-laki itu, ingin mengetahui apa ynag sedang ia lakukan dengan ponsel genggamnya. Potret seorang wanita muncul di layar ponsel laki-laki itu. Melihat gambar itu, laki-laki itu kini mulai menangis.
"Sesil, kenapa kamu harus pergi secepat ini? Aku kangen kamu, Sil. Masih terlalu banyak rencana kita yang belum kita lakuin. Aku bener-bener nggak nyangka ada orang yang tega bunuh kamu dengan cara yang begitu keji. Aku pasti bakal usut tuntas kasus ini," racau lelaki itu.
Aku terperanjat melihat sosok yang disapa Sesil oleh pria di hadapanku ini. Korban pembunuhan yang hari ini membuatku tidak berkonsentarsi bekerja. Dapat kusimpulkan kalau pria dihadapanku ini adalah Bagas, kekasih Sesil. Aku menutup mulutku dengan kedua tanganku, perlahan melangkah mundur. Punggungku bersentuhan dengan dada bidang milik Kian, membuatku menghentikan langkahku.
Tak lama berselang, dering telepon genggam milik lelaki itu memecah keheningan di ruangan ini. Nada bicaranya menyiratkan kecemasam. Aku menjadi penasaran dengan lawan bicaranya di telepon. Ponsel yang berada di genggamannya hampir saja terlepas dan terjatuh, sepertinya ia baru saja mendengar berita buruk. Dan benar saja, dengan langkah terburu-buru ia menyambar jaket dan meninggalkan kami disini.
"Kita ikuti dia." Kian meraih tanganku untuk mengikuti pria itu.
Lama-lama aku menjadi terbiasa menjadi penguntit seperti ini. Seru, menegangkan dan penasaran disaat yang bersamaan. Aku ingin membantu Bagas mengungkap kasus kematian Sesil. Jika ini alasan Kian membawaku kemari, aku akan membantunya tanpa diperintah.
Bagas melajukan motornya dengan kecepatan diatas rata-rata. Beberapa kali ia hampir menabrak pengemudi lain. Aku bisa melihat Kian menjaga agar Bagas terhindar dari tabrakan. Sekarang aku mengerti beberapa tugas para malaikat. Dan aku mulai mengagumi salah seorang diantara mereka.
Bagas membelokkan motornya di halaman rumah sakit. Dengan terburu-buru ia segera memarkir motornya, kemudian berlari menyibak orang-orang yang berada didepannya. Semakin cepat ia berlari, lorong rumah sakit ini terasa semakin panjang, lalu lalang pasien serta perawat semakin memperlambat langkahnya. Berulang kali ia mengucap kata "permisi" agar ia tidak menabrak orang yang berada didepannya. Sesekali ia menengok ke tulisan yang terpampang di depan setiap ruangan. Bagas pun memelankan tempo berlarinya saat ia tengah sampai dikamar 313. Kulihat semua anggota keluarganya mengalihkan pandangan mereka kearah Bagas.
"Bagaimana keadaan ayah dan ibu?" tanyanya to the point kearah seorang ibu paruh baya.
"Ikhlaskan dia, nak. Ayah dan ibumu sudah menghadap Allah. Mari kita sama-sama mendoakan beliau." Perkataan itu membuat seluruh persendian Bagas melemas seketika. Tahu hal terburuk ini bisa terjadi kapan saja, tapi sepertinya ia masih belum siap. Ia masih belum ikhlas. Seperti dugaanku tadi, pasti akan ada korban selanjutnya.
Bagas membuka pintu ruangan 313, ingin melihat sosok yang begitu disayanginya untuk yang terakhir kali. Hatiku ngilu melihatnya. Belum selesai kefrustasian Bagas akibat kematian Sesil. Kini ia kembali dihadapkan pada kenyataan pahit yang lain.
"Kian, apa yang harus kita lakukan? Kita kesini bukan tanpa tujuan, kan?" Suaraku tercekat di tenggorokanku.
"Aku mau nunjukin sama kamu, ada orang-orang sedih nan malang diluar sana yang harus kita tolong. Karena kamu manusia terpilih, ini sudah menjadi tugasmu. Bantu dia," ujar Kian.
"Tapi bagaimana caranya? Aku koki, bukan detektif kaya Conan," ucapku.
"Aku bantu kamu untuk menyelesaikan kasus kematian orang-orang terdekat Bagas. Ini tugas kamu, aku hanya membantu kamu menyelesaikan tugas ini." Ucapan Kian itu membuka sambungan baru di otakku. Memikirkan bagaimana cara untuk menolong pria malang di depanku ini. Dahulu, saat kepergian kakek, aku benar-benar terpukul. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana diriku kalau aku berada di posisi Bagas sekarang. Kian benar, aku harus menolongnya. Aku tidak bisa hanya tinggal diam.
"Kita pulang. Aku tahu kamu capek." Kian menggenggam tangan kananku, mengajakku pulang. Kurasa ia benar, aku benar-benar lelah hari ini. Dan ucapannya barusan, sedikit mengobati rasa lelahku. Setidaknya aku tahu, aku masih berguna bagi orang lain.
"Terkadang aku heran, kenapa bisa jadi manusia terpilih itu. Bertemu dengan malaikat sepertimu. Aku merasa tak pantas, berlari menjauhi, tetapi semakin aku menolak, kau semakin mengejarku.
"Tiba-tiba hadir di jam makan siang dan membawaku kesini. Iya. Aku lelah, tapi sekarang, aku tahu, ada orang lain yang sangat membutuhkan bantuan."
"Sekarang kau masih ingin menolak takdir?" tanyanya.
"Jika takdir bisa membuatku untuk terus bersamamu, aku akan memilih takdir itu." aku tidak menyadari kalau sekarang aku sudah tidak berada di rumah sakit lagi, melainkan di restaurant, mengenakan apron-ku dan duduk di meja dimana tadi kami duduk.
"Silakan kembali bekerja, nanti aku akan menjemputmu."
"Ta-tapi, si putih..?"
"Itu bukan perkara sulit, Alika. Berkonsentrasilah pada pekerjaanmu. Aku akan segera kembali." Kian pun berlalu dari hadapanku. Aku mengerjap beberapa kali untuk mengembalikan konsentrasi. Kulihat jus melon yang tinggal separuh, kuambil gelas itu dan meneguk isinya.
"Alika, ada satu pesanan menunggumu." Azka meneriakiku dari dalam pantry. Aku pun bergegas menuju pantry untuk membantu teman-temanku menangani perut-perut kelaparan itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro